Where is my vote? Tertulis dalam bahasa Inggris, para penggerak protes tampaknya sadar benar kepada siapa mereka hendak bicara: bukan pemerintah atau rakyat Iran tapi media Barat.
Death to the dictator, death to Ahmadinejad. Siapa pun rakyat Iran atau orang-orang Barat yang paham sedikit soal sistem kekuasaan di negara Persia itu tahu benar bahwa seorang presiden di Iran adalah figur publik dengan kekuasaan terbatas. Bahkan sang pemimpin tertinggi, Ayatullah Ali Khamenei, bukanlah seorang diktator: dia ditunjuk oleh sebuah lembaga negara yang juga memiliki wewenang untuk menggantinya.
Itu belum seberapa jika kita mengamati 7 tuntutan yang disebarluaskan lewat twitter: [1] singkirkan Khamenei dari posisi pemimpin tertinggi sebab dia tidak memenuhi kualifikasi keadilan; [2] singkirkan Ahmadinejad dari posisi presiden karena ia meraihnya secara ilegal; [3] angkat Ayatullah Hossein Ali Montazeri sebagai pemimpin tertinggi hingga sebuah komisi review untuk ghanooneh asasi (konstitusi) dibentuk; [4] sahkan Mir Hossein Mousavi sebagai presiden; [5] reformasi konstitusi; [6] bebaskan semua tahanan politik tanpa syarat; [7] bubarkan organisasi-organisasi rahasia seperti gasht ershad (polisi moral).
Bagaimana kita menjelaskan sebuah tuntutan yang pada mulanya berniat "mengoreksi ketidakwajaran pemilu" kemudian berubah menjadi tuntutan bagi penggantian pemimpin tertinggi serta perubahan konstitusi? Ataukah justru yang terakhir merupakan tujuan sesungguhnya dari hura-hara ini?
Sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, ada baiknya pula kita mencermati beberapa hal fakta berikut:
Fakta pertama, ternyata apa yang dikomplainkan kubu Mousavi kepada 12 anggota Dewan Garda--seperti ditulis Kaveh L. Afrasiabi (mantan anggota tim negosiasi nuklir di bawah pemerintahan Khatami)--alih-alih akan menjelaskan kepada kita apa yang sebenarnya mereka maksudkan dengan "kecurangan pemilu, malah semata berkaitan dengan perilaku-perilaku pra-pemilu yang tidak menjurus kepada apa yang dituduhkan:
- klaim bahwa Ahmadinejad menggunakan fasilitas-fasilitas transportasi milik negara untuk berkampanye ke seluruh negeri bukan bukti adanya kecurangan pemilu. Hampir setiap kandidat incumbent di seluruh negara demokrasi juga melakukan hal yang sama, termasuk juga Mohammad Khatami, salah satu pendukung utama Mousavi.
- komplain bahwa Ahmadinejad memiliki akses yang tidak proporsional kepada media pemerintah. Ini mungkin kebiasaan buruk, bukan cuma di Iran tapi di banyak negara. Namun pada tahun inilah, pertama kali diadakan debat televisi sebanyak 6 kali dimana setiap kandidat, termasuk Mousavi, mendapatkan tempat di media pemerintah secara gratis untuk menyampaikan visi dan misinya (kesempatan istimewa yang tak akan diperoleh kandidat-kandidat minor presiden AS, seperti Ralph Nader atau Cynthia McKinney).
- keluhan tentang adanya sebuah bentuk kekurangan pemilu di beberapa tempat yang mengakibatkan "keterlambatan selama beberapa jam". Ini komplain yang lebih bermakna, tetapi sulit untuk menjurus kepada kecurangan, terutama ketika partisipasi pemilih mencatat rekor tertinggi sekitar 85% dari 46 juta pemilih yang memenuhi syarat.
- komplain bahwa di beberapa daerah jumlah suara yang dihitung lebih tinggi daripada jumlah pemilih terdaftar. Tetapi Mousavi abai untuk menyatakan bahwa di sebagian daerah itu, seperti Yazd, ia justru menerima suara yang lebih banyak daripada Ahmadinejad.
- komplain bahwa beberapa saksinya tidak diakreditasi oleh Departemen Dalam Negeri sehingga tidak dapat secara independen memonitor pemilu. Namun faktanya, beberapa ribu saksi yang mewakili berbagai kandidat telah diakreditasi dan di antaranya menyertakan ratusan mata dan telinga pendukung Mousavi. (well, tampaknya kubu Mousavi harus bekerja lebih keras daripada sekedar mengeluhkan "remeh-temeh" seperti untuk menuntut diulangnya pemilu).
- menggunakan pemilu presiden untuk mempertahankan status quo elit-elit korup; apakah boneka mereka Mousavi dinyatakan sebagai pemenang, dan mereka bisa menggunakan posisinya untuk melanjutkan agenda-agenda mereka atau dia kalah dan mereka bisa berteriak tentang pemilu yang dicuri (opsi terakhir terlihat mudah karena faktanya di sebuah negara besar seperti Iran, beberapa ketidakwajaran akan selalu terjadi).
- menggunakan pemilu presiden, sebuah posisi dengan kekuasaan terbatas, guna memicu sebuah krisis yang memberi mereka kendali atas posisi yang lebih berkuasa, pemimpin tertinggi.
Pertanyaan selanjutnya, adakah kubu Mousavi ini diinfiltrasi oleh kepentingan-kepentingan imperium AS-Israel? Fakta berikut akan menjawabnya:
Fakta kedua, jurnalis dan penulis neokonservatif Kenneth Timmerman menulis satu hari sebelum pemilu di Iran bahwa ada pembicaraan tentang "revolusi hijau" (hijau merujuk kepada warna kubu Mousavi) di Teheran. Bagaimana Timmerman tahu kecuali itu adalah sesuatu yang telah direncanakan? Mengapa harus ada "revolusi hijau" yang disiapkan sebelum pemilu, terutama jika Mousavi dan pendukungnya yakin akan kemenangan seperti yang mereka klaim? Ini pastinya terlihat seperti bukti bahwa AS terlibat dalam protes ini.
Timmerman lebih jauh menulis bahwa "The National Endowment for Democracy" telah mengeluarkan jutaan dolar untuk mempromosikan "revolusi warna" (istilah yang merujuk pada revolusi sokongan AS di berbagai negara Eropa Timur). . . Sebagian dari uang itu tampaknya jatuh ke tangan kelompok pro-Mousavi yang mempunyai hubungan dengan LSM-LSM di luar Iran yang didanai The National Endowment for Democracy (NED). LSM Timmerman sendiri, yakni Foundation for Democracy, adalah organisasi yang dibentuk pada 1995 dengan dana hibah dari NED, untuk mempromosikan demokrasi dan HAM standar internasional di Iran.
Jangan salah, meski pemerintah Obama berhaluan neoliberal tetapi arus "neokonservatisme" di pemerintahannya kini sangat jelas diwakili oleh Wapres Joe Biden dan Menlu Madam Clinton.
Lalu apa sasaran AS-Israel menunggangi kubu pro Mousavi. Mereka tidak ingin muluk-muluk. Mereka--setidaknya seperti dinyatakan Kepala Dinas Rahasia Israel (Mossad)-- tahu bahwa protes hari-hari ini tidak akan berlangsung lama; atau bahwa "revolusi" kaum Gucci tak akan mampu menjatuhkan Khamenei dan mengubah konstitusi Republik Islam.
Paul Craig Roberts, bekas asisten Menteri Keuangan AS pada era Ronald Reagan, menulis apa sejatinya tujuan AS dalam kisruh di Iran, "Sebagai orang yang telah melihat semuanya dari dalam pemerintah AS, saya percaya bahwa tujuan pemerintah AS memanipulasi (laporan-laporan) media...adalah untuk mendiskreditkan pemerintah Iran dengan menampilkan pemerintah Iran sebagai penindas rakyat Iran dan penghalang kehendak mereka. Inilah bagaimana pemerintah AS menyiapkan Iran untuk sebuah serangan militer. Dengan bantuan Moussavi, pemerintah AS menciptakan satu lagi "orang-orang tertindas", seperti rakyat Irak di bawah Saddam Hussein, yang membutuhkan Amerika untuk membebaskan mereka...."
Siapa pun yang tampil sebagai pemenang dalam pergulatan ini, AS dan Israel sudah menangguk untung: yakni citra bahwa Republik Islam Iran yang didirikan atas kehendak rakyat (melalui referendum) kini sudah tidak lagi merepresentasikan kehendak rakyat mereka.
Alhasil, di permukaan akan tampak bahwa AS-Israel lebih senang jika Ahmadinejad terpilih kembali. Namun, itu bukan karena Ahmadinejad adalah sasaran empuk untuk diserang dan didemonisasi tetapi karena mereka tahu kemenangan Ahamdinejad akan memicu krisis yang dipicu oleh "revolusi kaum Gucci" yang telah direncanakan.