Mantra tinggal mantra; citra tinggal citra, tetapi fakta mengungkapkan dirinya apa adanya. Mungkin sudah banyak orang yang lupa tentang dugaan politik uang yang dilakukan oleh caleg DPR RI dari PD Edi Baskkoro Yudhoyono (EBY), yang juga putra bungsu Presiden SBY, di Dapil Jawa Timur VII. Kasus ini menguap begitu saja dan tidak sempat melalui proses pembuktian yang semestinya ketika Kapolda Jatim Anton Bahrul Alam (luar biasa!!! Kapolda langsung turun tangan meski sebenarnya kasus seperti ini masih bisa ditangani seorang kapolres) dengan "tergesa-gesa" menggelar jumpa pers dengan maksud membersihkan nama EBY. Tak cuma itu polisi juga menjerat para pelapor dugaan tersebut plus beberapa media massa yang memuat berita tentangnya, dengan pasal pencemaran nama baik dan penistaan presiden. Kisah "sirkus" kepolisian di atas jelas mencuatkan dugaan lain bahwa kekuasaan ikut campur tangan dalam persoalan hukum ini.
Jika kasus EBY di atas tidak sempat dibuktikan secara hukum kebenarannya, maka beberapa fakta berikut ini begitu terang-benderang.
1. Fakta bahwa Ahmad Mubarok, Wakil Ketua Umum PD, masih berstatus sebagai PNS. Fakta ini terungkap saat Sekjen PD, Marzuki Alie menyampaikan alasan mengapa Mubarok--yang terkenal karena pernyataannya bahwa Golkar hanya akan meraih 2,5% suara--dicopot dari Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono:
"Kalau Pak Mubarok itu kan masih PNS, jadi karena takut melanggar jadi kita tidak masukan tapi hanya mendampingi dari luar saja,” ungkap Marzuki Alie pada 10 Juni 2009 (comment: lho kalau status sebagai wakil ketum gimana dong!!!).Dengan begitu, sejatinya Mubarok dan Partai Demokrat telah melanggar dan tidak menghormati Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang PNS:
“Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana di maksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.“Sementara pada saat yang sama, SBY, sebagai presiden (bosnya PNS) dan Ketua Dewan Pembina PD harus bertanggung jawab karena membiarkan pelanggaran undang-undang ini terjadi.
Lalu apa jawaban PD? Marzuki Alie dengan entengnya menjawab:
“Persoalan PNS menjadi pengurus parpol itu kan Undang-Undang PNS yang melarang. Kalau Undang-Undang Parpol tidak ada larangan itu. Artinya Demokrat sebagai parpol mengacu pada Undang-Undang Parpol. Kalau soal Mubarok langgar UU PNS itu urusan pribadinya.” lanjut Marzuki Alie pada 10 Juni 2009.Politisi memang harus pandai retorika. Tapi retorika tanpa logika cuma "tong kosong nyaring bunyinya". Sebuah UU bagaimanapun mengikat seluruh warga negara tanpa terkecuali. Jika parpol tidak terikat dengan UU PNS, maka itu sama artinya dengan mengatakan bahwa parpol sebagai badan hukum tidak terikat oleh aturan perundang-undangan lain di luar UU tentang parpol. Lebih jauh, seorang Marzuki Alie semestinya lebih cermat membaca UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pasal 13 dan Pasal 40 UU Parpol menyatakan dengan tegas bahwa parpol berkewajiban melaksanakan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan serta dilarang melakukan kegiatan (termasuk memilih wakil ketum dari seorang PNS) yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan:
Partai Politik berkewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan... (Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol)
Partai Politik dilarang:Menyangkut kasus ini, Achmad Mubarok menyangkal bahwa ia masih menjadi anggota PNS. Mubarok sendiri berkilah sudah pensiun dari status PNS. Ketika ditanya kapan akhir masa tugas sebagai abdi negara, ia tidak menjawab tegas. “Saya sudah pensiun,” ujarnya singkat sebelum mengakhiri percakapan melalui telepon.
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan... (Pasal 40 ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol)
Namun ini tidak cukup. Mubarok mesti menegaskan sejak kapan dia pensiun dari PNS, karena kita tahu Mubarok sudah lama menjadi pengurus PD sebagai wakil ketum, dan hingga kini pun namanya masih tercantum di jajaran fungsionaris DPP PD. Lagi pula, jika sudah pensiun, mengapa pula posisinya sebagai PNS justru menjadi alasan pencopotannya dari tim kampanye SBY-Boediono?
2. Fakta bahwa sebagian tim sukses atau tim relawan pendukung SBY-Boediono adalah para pejabat BUMN, terutama mereka yang duduk sebagai komisaris. Ini jelas melanggar Pasal 41 ayat 2 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Dan Pasal 45 UU yang sama mengategorikan pelanggaran tersebut sebagai tindak pidana.
Begitu fakta ini diungkap oleh media dan Bawaslu, ramai-ramai para komisaris itu memilih mundur dari tim kampanye atau dari BUMN yang mereka tempati. Mantan Kapolri Sutanto Komisaris Utama Pertamin yang nyambi sebagai Ketua Gerakan Pro SBY memilih mundur dari organisasi relawan itu dan tetap di Pertamina. Langkah yang sama ditempuh Umar Said yang juga komisaris Pertamina. Sementara Raden Pardede, Komisaris Utama PT. Perusahaan Pengelola Aset, memilih mundur dari BUMN tersebut tetap menjadi anggota tim sukses SBY.
Tindakan "ramai-ramai mundur" ini patut dihargai, tetapi soalnya bukankah sudah terjadi pelanggaran terhadap UU ketika nama-nama mereka tercantum dalam tim sukses SBY atau ketika mereka "tanpa tahu malu" bergiat mengampanyekan SBY lewat organisasai relawan atau apa pun namanya, padahal mereka adalah pejabat BUMN.
Alasan bahwa mereka tidak tahu ada UU seperti itu atau bahwa tim relawan bukan tim sukses lagi-lagi cuma retorika yang kali ini tanpa etika, atau fatsun berpolitik. Lebih jauh, Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow berpendapat bahwa ada rentang waktu antara penyampaian daftar tim kampanye ke Komisi Pemilihan Umum dan waktu mundurnya pejabat itu dari tim sukses atau jabatannya. "Satu hari saja bisa digunakan untuk menyalahgunakan jabatan," katanya. (Nusantara News contibuted to this post)