Erdogan (guardian) |
SAMBUTLAH sang pemimpin baru dunia Islam, Recep Tayyip Erdogan! Ya, jutaan Muslim di seluruh dunia menyambut gembira kembalinya Turki ke identitas geopolitik alamiahnya.
Turki di bawah AKP pimpinan Erdogan meningkatkan hubungan dengan Iran, Suriah, dan Irak. Dalam pertemuan World Economic Forum 2009 di Davos, Swiss, Erdogan bahkan melakukan “walk out” setelah beradu mulut dengan Presiden Israel Shimon Peres soal agresi atas Gaza. Erdogan pun disambut bak pahlawan. Dunia Muslim berharap Turki muncul sebagai kekuatan baru untuk mengembalikan keseimbangan geopolitik di kawasan.
Namun kemudian, menyusul perkembangan “Musim Semi” Arab, langkah Erdogan terjebak dalam labirin kontradiksi. Di satu sisi, dia ingin tampil sebagai pemimpin moderat dunia Muslim. Tapi di sisi lain, hasrat melayani kepentingan Amerika Serikat masih amat besar.
Adalah benar rezim Bashar Assad di Damaskus sama totaliternya dengan rezim lain di dunia Arab. Namun, Erdogan bereaksi berlebihan. Ankara mendukung gerakan Barat menggulingkan Assad secara membabi-buta. Ankara resmi menampung pemberontak Suriah bersenjata. Betapa pun buruknya rezim Assad, Suriah tetaplah negara berdaulat. Intervensi Turki dalam urusan internal Suriah bukanlah sikap tetangga yang baik.
Ankara pun secara reguler mengeluarkan ancaman terhadap Damaskus. Saat bertemu Presiden Barack Obama di Washington, 21 September, Erdogan memastikan bahwa negaranya akan berkoordinasi dengan AS dalam menerapkan sanksi atas Suriah.
Erdogan bersuara lantang membela demokrasi dan hak asasi di Suriah. Tapi adakah terdengar dari mulutnya pembelaan terhadap para demonstran damai (tak bersenjata) yang menuntut demokrasi dan kebebasan di Yaman? Adakah Erdogan bersuara keras terhadap Arab Saudi yang mengirim pasukan ke Bahrain untuk memberangus pemrotes damai?
Apakah kekejaman rezim di Sanaa, Riyadh, dan Manama tidak berarti apa-apa bagi “sang pembela demokrasi” Erdogan? Adakah Muslim yang menghadapi pembunuhan di sana tak layak mendapatkan sepatah kata pun dari Erdogan? Adakah Erdogan bungkam karena Manama melabuhkan Armada Kelima Angkatan Laut AS? Adakah Erdogan diam seribu bahasa karena Yaman akan menjadi tuan rumah bagi pangkalan udara militer AS di Socotra?
Kontradiksi terus berlanjut. Ya, Ankara memang menurunkan derajat hubungan diplomatik dengan Tel Aviv. Namun pada saat hampir bersamaan, Erdogan menandatangani kesepakatan penempatan radar AS di tanah Turki. Radar ini menjadi bagian dari perisai rudal AS. Tujuan utamanya melindungi Israel dari potensi serangan Iran.
Memang benar Erdogan bersikeras bahwa kesepakatan itu bukan untuk memojokan Teheran. Tapi apa bedanya? Langsung atau tidak, Ankara telah menari dalam irama genderang perang Washington. Sebab, bagaimanapun, radar itu akan diarahkan untuk melawan Iran. Menhan AS Leon Panetta, dalam pertemuan NATO pada 6 September, secara tegas mengatakan radar di Turki ditujukan untuk membendung potensi rudal Iran ke arah Israel. Dengan demikian, secara tak langsung, Erdogan menjadi pelindung Israel.
Pada Mei 2010, Turki juga menunjukkan sikap politik yang menguntungkan Israel. Ankara tidak memveto proposal keanggotaan Israel dalam Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Eropa OECD. Padahal, ratusan permintaan dari organisasi hak asasi manusia mendesak Turki untuk memveto Israel.
Mantan PM Turki Almarhum Necmettin Erbakan mengkritik keras langkah pemerintah Erdogan tersebut. Dalam wawancara dengan suratkabar Todays Zaman, 6 Desember 2010, Erbakan yang digulingkan militer menyebut langkah itu munafik.
“Apa yang menyebabkan AKP menyediakan ‘tiket masuk’ kepada Israel ke dalam OECD? Mengapa pemerintahan ini menyetujui kontrak pertahanan miliaran dolar dengan Israel? Dia (Erdogan) mengatakan ‘satu menit’ kepada (Shimon) Peres selama Davos, tetapi melakukan bisnis seperti biasa dengan negara Yahudi itu. Ini kemunafikan,” kata Erbakan.
Sebagai catatan, seperti dikutip suratkabar Hurriyet, 5 Oktober 2010, ekspor Turki ke Israel meningkat 30 persen. Israel juga memasok pesawat tanpa awak kepada Turki. Semua itu berjalan nyaman di tengah retorika anti-Israel Erdogan.
Lebih menyedihkan lagi, tatkala pertemuan OECD digelar di Yerusalem Timur, Turki mengutus delegasi. Padahal, sejumlah negara Eropa seperti Inggris dan Spanyol menolak hadir. Kedua negara itu memandang Yerusalem Timur bukan wilayah Israel.
Quo vadis Erdogan? (Jemala)