Judul di atas merupakan judul berita Harian Kompas edisi Jumat (14 Oktober 2011) di halaman 36. Membaca berita tentang pangan negara kita hati jadi sedih dan kecewa, karena ternyata penjajah ekonomi telah sampai ke dapur dan tempat tidur kita. Kedaulatan ekonomi kita telah dirampas orang asing.
Hampir semua produk pangan utama kita adalah hasil impor. Harga=harga komoditas impor ini dibawah harga produk petani kita. Hal ini mengakibatkan petani menjerit karena harga komoditas hasil panennya jatuh dan biaya produksi tidak tertutupi.
Dituliskan di berita tersebut bahwa politik pangan yang ditegaskan pada koridor ketahanan pangan berbasiskan impor telah menyebabkan Indonesia salah berkiblat. Di dunia, orang sudah berbicara kedaulatan pangan yang jauh lebih paripurna ketimbang ketahanan pangan.
Dengan kedaulatan pangan, Indonesia tidak akan terpuaskan hanya dengan ketersediaan, keterjangkauan, kemerataan, dan keamanan pangan. Kedaulatan juga mengandung urusan demokrasi, partisipasi, hak menentukan, dan tata niaga.
Ironisnya, meskipun ketahanan pangan sudah ditegaskan sebagai tujuan utama di sektor pertanian, krisis pangan justru terus terjadi pada empat komoditas penting, yakni gula, kedelai, terigu, dan beras. Importasi gula sudah mendekati 40 persen dari produksi gula nasional. Masalah muncul ketika gula petani tidak terserap pasar dan ditekan penurunan harga akibat bocornya gula rafinasi impor ke pasar gula konsumsi.
Guru Besar Sosial-Ekonomi Agroindustri Universitas Gadjah Mada Mochammad Maksum Machfoedz, dalam diskusi terbatas Kompas dan Oxfam, menuturkan, setelah krisis gula, krisis kedelai juga muncul pada 2008, yakni ketika impor kedelai dibuka lebar. Produksi nasional yang sempat memuncak tahun 1995 sebesar 1,5 juta ton terus melorot ke level 808.000 ton pada 2005, lalu 748.000 ton (2006), dan 608.000 ton pada tahun 2007.
“Kedelai 2009 ternyata produksinya hanya 780.000 ton. Yang lebih mengejutkan, angka ramalan 11 Badan Pusat Statistik menyebutkan, produksi kedelai 2010 drop hanya 454.850 ton. Hebatnya Indonesia optimis dengan swasembada kedelai tahun 2014.” Tutur Prof. Maksum.
Mengenai terigu, kebijakan pemerintah justru membahayakan program pengalihan konsumsi dari beras ke tepung ubi. Kemudahan importasi tepung terigu telah menyebabkan industry berbasis penepungan ubi kayu (modified cassava flour/mocaf) menjadi selalu merugi karena terigu terlampau murah.
Ketika harga terigu semakin mahal menjelang eskalasi harga pangan dunia, secara ekonomis tepung ubi kayu sangat laik diproduksi tahun 2007. Kelayakan itu sempat mendorong beberapa daerah, seperti Kabupaten Trenggalek, berusaha melakukan investasi dengan menambah nilai tambah dan kesejahteraan petani singkong. Tadinya, dengan mengembangkan Mocaf Indonesia bisa mensubstitusi sebagian dari konsumsi tepung terigu yang membebani neraca pangan.
“Sayangnya, Kabinet Indonesia Bersatu jilid II melihatnya berbeda. Pada Februari 2008, terigu dinilai terlalu mahal sehingga bea masuknya dihapus. Karena belum cukup menurunkan harga, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) pun dihapuskan. Maka, sempurnalah pembunuhan atas Mocaf itu,” kata Prof. Maksum.
Bernafsu Ekspor
Ketidak-konsistenan juga terjadi pada perberasan. Ketika harga beras di pasar dunia melonjak ke level 700 dolar AS per-ton bahkan sempat menyentuh 1.000 dolar AS per-ton pada Maret-Mei 2008, pihak-pihak yang mendorong impor beras tiba-tiba saja sangat bernafsu untuk mengekspor.
“Mereka yang pada bulan Februari 2008 membuat kebijakan untuk memudahkan impor beras dan membangun legitimasi bahwa Indonesia defisit berat dan butuh mengimpor beras tiba-tiba digantikan kampanye ekspor,” papar Machfoedz.
Lalu pada Maret 2010, Pemerintah mencanangkan swasembada pada 5 produk pangan utama, yakni beras, gula, kedelai, jagung, dan daging sapi. Ini terasa sangat politis karena daging sapi misalnya, sudah tiga tahun tertunda pencapaian swasembadanya, yakni 2000, 2005, 2010, dan nanti ditetapkan lagi 2014.
Pengamat pangan dari Ecosoc Right, Sri Palupi, mengatakan, kunci sukses yang harus dilakukan pemerintah agar tidak keliru membuat kebijakan di bidang pangan adalah turun sendiri ke lapangan, yakni dengan mengunjungi petani dan mendengar keluhannya.
“Data harus berpijak situasi riil dan masalah riil di lapangan. Dengan situasi petani dan lahan sangat ini, semua factor menunjukkan kita harus waspada karena situasinya sangat negatif,” tuturnya.