BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional) : Dalam catatan sejarah, Indonesia pernah mengalami masa keemasan di bidang pergulaan. Tercatat pada era sebelum Perang Dunia II (1930 – 1940) Indonesia, khususnya Pulau Jawa menjadi salah satu penghasil gula terbesar di dunia, segaligus sebagai pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba.
Puncak produksi dicapai pada tahun 1931, dengan produksi sebesar 3 juta ton, sekitar 2 juta ton di antaranya diekspor. Tingkat produktivitas mencapai 14,8 ton gula per hectare, dari produktivitas tebu sebesar 130 ton per hectare.
Kemajuan yang mengesankan itu dicapai, antara lain karena adanya teknologi yang efektif dan adanya peraturan dan undang-undang kolonial yang sangat mengekploitasi petani tebu.
Namun, Perang Dunia II menghancurkan segala-galanya. Masa keemasan Indonesia sebagai produsen sekaligus pengekspor gula di dunia pun pudar kemudian sirna. Perang yang berkecamuk menghancurkan banyak pabrik gula di Pulau Jawa. Pertanian tebu juga terlantar. Ini terjadi pada periode tahun 1950 – 1970).
Produktivitas dan produksi gula terus merosot. Produktivitas tebu turun menjadi sekitar 80 – 90 ton tebu per hectare.
Industri gula masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, dan tanaman tebu masih diusahakan di atas tanah-tanah sawah petani yang disewa oleh pabrik gula.
Indonesia menjadi negara pengimpor gula sejak tahun 1967 karena produksi gula di dalam negeri tidak dapat memenuhi konsumsi yang terus meningkat.
Setelah tahun 1970, Pemerintah RI memutuskan untuk mengembangkan industri gula ke luar Pulau Jawa.
Hal itu dipacu oleh impor gula yang makin besar karena makin meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional dan bertambahnya jumlah penduduk. Impor pada awal tahun 1970-an mencapai 300.000 – 400.000 ton, sehingga memerlukan devisa yang cukup besar.
Pada kurun waktu yang sama tingkat produktivitas (jumlah produksi per satuan luas) terus menurun karena berbagai sebab yang makin kompleks. Kalaupun secara nasional masih dijumpai kenaikan produksi secara total. Hal ini disebabkan oleh makin luasnya pertanaman tebu dan bukan oleh karena membaiknya tingkat produktivitas. Kesenjangan antara produksi dan konsumsi gula di dalam negeri terus membesar.
Pemerintah menyadari konsekuensi dari situasi pergulaan seperti ini, sehingga mencanangkan pengembangan industri gula ke luar Jawa untuk meningkatkan produksi gula nasional. Karena keterbatasan dana, Pemerintah mengundang pihak swasta untuk ikut melaksanakan pengembangan industri gula ini.
Ajakan Pemerintah ini pertama kali direspon oleh PT Gunung Madu Plantations (GMP) yang didirikan tahun 1975 dengan status PMA dan memilih Provinsi Lampung untuk pengembangan industri gula yang dimaksud.
Industri Gula di Lampung
Diawali dengan berdirinya PT GMP di Lampung Tengah pada tahun 1975, Lampung membuktikan bahwa perkebunan tebu tidak hanya dapat dikembangkan di Pulau Jawa. Memang banyak sekali kendala pada tahun 70-80an tersebut, karena minimnya infrastruktur, rendahnya tingkat kesuburan lahan dan sangat terbatasnya tenaga ahli maupun tenaga terampil yang dapat diandalkan. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Lampung Tengah, bahkan di wilayah kabupaten lainnya jauh lebih minim.
Tidak lama kemudian, setelah GMP mulai berhasil meningkatkan produktivitas, maka pemerintah pun ikut mengusahakan tebu di Lampung melalui BUMN PTPN VII yang mendirikan Pabrik Gula Bunga Mayang di Lampung Utara. Pihak swasta lebih bersemangat, dan berdirilah PT Gula Putih Mataram (Lampung Tengah), PT SIL dan PT ILP (Tulangbawang) serta PT Pemukasakti Manisindah (Lampung Utara/Way Kanan).
Perlahan tapi pasti, Lampung berhasil meningkatkan produksi gula mulai dari 17.000 ton pada tahun 1978 menjadi hampir 700.000 ton pada tahun 2005, yaitu sekitar 35%-40% dari produksi gula Indonesia. Dengan produksi seperti ini, Lampung kini berada pada urutan ke-2 penghasil gula setelah Jawa Timur.
Dengan adanya 6 perkebunan tebu dengan 5 pabrik gula (PT PSMI baru akan membangun pabrik), maka kontribusi terhadap perkembangan ekonomi di Lampung juga menjadi cukup besar. Tidak kurang dari 40.000 tenaga kerja dari berbagai tingkat keahlian telah dapat diserap, dan tidak kurang dari Rp500.000.000.000 sudah masuk ke kas negara dari sector pajak setiap tahunnya. Industri gula ini telah ikut memperbesar peredaran uang di Lampung maupun secara nasional dalam jumlah yang cukup berarti bagi perputaran kegiatan ekonomi.(amd)
Puncak produksi dicapai pada tahun 1931, dengan produksi sebesar 3 juta ton, sekitar 2 juta ton di antaranya diekspor. Tingkat produktivitas mencapai 14,8 ton gula per hectare, dari produktivitas tebu sebesar 130 ton per hectare.
Kemajuan yang mengesankan itu dicapai, antara lain karena adanya teknologi yang efektif dan adanya peraturan dan undang-undang kolonial yang sangat mengekploitasi petani tebu.
Namun, Perang Dunia II menghancurkan segala-galanya. Masa keemasan Indonesia sebagai produsen sekaligus pengekspor gula di dunia pun pudar kemudian sirna. Perang yang berkecamuk menghancurkan banyak pabrik gula di Pulau Jawa. Pertanian tebu juga terlantar. Ini terjadi pada periode tahun 1950 – 1970).
Produktivitas dan produksi gula terus merosot. Produktivitas tebu turun menjadi sekitar 80 – 90 ton tebu per hectare.
Industri gula masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, dan tanaman tebu masih diusahakan di atas tanah-tanah sawah petani yang disewa oleh pabrik gula.
Indonesia menjadi negara pengimpor gula sejak tahun 1967 karena produksi gula di dalam negeri tidak dapat memenuhi konsumsi yang terus meningkat.
Setelah tahun 1970, Pemerintah RI memutuskan untuk mengembangkan industri gula ke luar Pulau Jawa.
Hal itu dipacu oleh impor gula yang makin besar karena makin meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional dan bertambahnya jumlah penduduk. Impor pada awal tahun 1970-an mencapai 300.000 – 400.000 ton, sehingga memerlukan devisa yang cukup besar.
Pada kurun waktu yang sama tingkat produktivitas (jumlah produksi per satuan luas) terus menurun karena berbagai sebab yang makin kompleks. Kalaupun secara nasional masih dijumpai kenaikan produksi secara total. Hal ini disebabkan oleh makin luasnya pertanaman tebu dan bukan oleh karena membaiknya tingkat produktivitas. Kesenjangan antara produksi dan konsumsi gula di dalam negeri terus membesar.
Pemerintah menyadari konsekuensi dari situasi pergulaan seperti ini, sehingga mencanangkan pengembangan industri gula ke luar Jawa untuk meningkatkan produksi gula nasional. Karena keterbatasan dana, Pemerintah mengundang pihak swasta untuk ikut melaksanakan pengembangan industri gula ini.
Ajakan Pemerintah ini pertama kali direspon oleh PT Gunung Madu Plantations (GMP) yang didirikan tahun 1975 dengan status PMA dan memilih Provinsi Lampung untuk pengembangan industri gula yang dimaksud.
Industri Gula di Lampung
Diawali dengan berdirinya PT GMP di Lampung Tengah pada tahun 1975, Lampung membuktikan bahwa perkebunan tebu tidak hanya dapat dikembangkan di Pulau Jawa. Memang banyak sekali kendala pada tahun 70-80an tersebut, karena minimnya infrastruktur, rendahnya tingkat kesuburan lahan dan sangat terbatasnya tenaga ahli maupun tenaga terampil yang dapat diandalkan. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Lampung Tengah, bahkan di wilayah kabupaten lainnya jauh lebih minim.
Tidak lama kemudian, setelah GMP mulai berhasil meningkatkan produktivitas, maka pemerintah pun ikut mengusahakan tebu di Lampung melalui BUMN PTPN VII yang mendirikan Pabrik Gula Bunga Mayang di Lampung Utara. Pihak swasta lebih bersemangat, dan berdirilah PT Gula Putih Mataram (Lampung Tengah), PT SIL dan PT ILP (Tulangbawang) serta PT Pemukasakti Manisindah (Lampung Utara/Way Kanan).
Perlahan tapi pasti, Lampung berhasil meningkatkan produksi gula mulai dari 17.000 ton pada tahun 1978 menjadi hampir 700.000 ton pada tahun 2005, yaitu sekitar 35%-40% dari produksi gula Indonesia. Dengan produksi seperti ini, Lampung kini berada pada urutan ke-2 penghasil gula setelah Jawa Timur.
Dengan adanya 6 perkebunan tebu dengan 5 pabrik gula (PT PSMI baru akan membangun pabrik), maka kontribusi terhadap perkembangan ekonomi di Lampung juga menjadi cukup besar. Tidak kurang dari 40.000 tenaga kerja dari berbagai tingkat keahlian telah dapat diserap, dan tidak kurang dari Rp500.000.000.000 sudah masuk ke kas negara dari sector pajak setiap tahunnya. Industri gula ini telah ikut memperbesar peredaran uang di Lampung maupun secara nasional dalam jumlah yang cukup berarti bagi perputaran kegiatan ekonomi.(amd)