JAKARTA (Berita Nasional) : Sistem komputerisasi terpadu Tenaga Kerja ke Luar Negeri (SISKOTKLN) dalam operasionalisasinya ternyata sangat memberatkan TKI. SISKOTKLN juga tidak sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 2004, tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri yang efisien, murah, mudah dan cepat serta Inpres 6/2006 tentang Reformasi Sistem.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Rakyat Nusantara (PRN) Umar Ali MS kepada pers di Jakarta, Sabtu (5/1). Menurut Umar, PRN adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang konsen memperhatikan permasalahan para TKI.
Umar menjelaskan, SISKOTKLN dibentuk Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (saat itu dipimpin Jacob Nuwawea) dengan surat keputusan Nomor. KEP.211A MEN/2003. Menakertrans (saat itu) menunjuk secara langsung PT Anugrah Karya Utama Persada (AKUP) untuk membangun, mengelola dan mengoperasionalkan SISKOTKLN.
Anehnya, Surat Edaran Dirjen PPTKLN Denakertrans Nomor B 1837/DP2TKLN/ VI/ 2004 menjelaskan, tidak ada pungutan administrasi untuk penerapan SISKOTKLN. Selanjutnya dalam Surat Perjanjian kerja sama Nomor. 2821/PPTKLN/I/ 2003, mengenai operasionalisasi SISKOTKLN, tidak tercantum satu pasal pun perintah untuk melakukan pungutan kepada seluruh stakeholder terkait pelayanan, penempatan dan
perlindungan TKI.
Umar berpendapat, SISKOTKLN yang kini operasionalisasinya menjadi otoritas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), sangat membebani TKI.. Sebab sistem ini hanya memanjangkan birokrasi. Padahal kontribusi TKI kepada pemerintah cukup besar melalui dua pos penerimaan yakni devisa dan dana
pembinaan sebesar 15 dólar AS yang sudah berjalan 25 Tahun.
PT AKUP yang efektif mengelola SISKOTKLN sejak 6 September 2004 secara sepihak telah mengutip dana dari Balai Latihan Kerja (BLK) Sarana Kesehatan (Sarkes), Lembaga Uji Kterampilan (LUK), perusahaan asuransi, dan PJTKI yang pada akhirnya bermuara sebagai beban tambahan TKI. Dana itu dipungut sebagai biaya operasional jaringan online komputerisasi data TKI.
PT AKUP secara sepihak memblokir/tidak menyerahkan kepada pemerintah
setiap data TKI yang masuk SISKOTKLN dari stakeholder yang belum/tidak membayar. Hal ini berdampak pada terhentinya proses TKI karena pemerintah tidak bisa mengeluarkan rekomendasi proses lanjutan. Di mata Umar, ini berarti, pemerintah dan PT AKUP menghambat proses penempatan TKI.
Umar menilai, sejak diefektifkan 6 September 2004, PT AKUP telah menerima pungutan sekitar Rp17 miliar. Rinciannya, dari BLK, LUK dan PAP sebesar Rp. 13.500,- per TKI x 25.000 TKI per bulan X 40 bulan operasional mencapai Rp. 13.500.000.000,-. Sementara pungutan yang diterima dari Sarkes sebesar Rp. 7000,- per TKI X 25.000 TKI per bulan X 20 bulan mencapai Rp. 3.500.000.000. Ini belum termasuk pembayaran dari stakeholder yang baru masuk dibawah BNP2TK, seperti asuransi.
Pada akhir keterangannya, Umar meminta Presiden mempelajari dan mengkaji kembali keberadaan SISKOTKLN yang jadi wadah untuk melakukan "pungutan liar" pada para TKI. (rilis)
Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Rakyat Nusantara (PRN) Umar Ali MS kepada pers di Jakarta, Sabtu (5/1). Menurut Umar, PRN adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang konsen memperhatikan permasalahan para TKI.
Umar menjelaskan, SISKOTKLN dibentuk Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (saat itu dipimpin Jacob Nuwawea) dengan surat keputusan Nomor. KEP.211A MEN/2003. Menakertrans (saat itu) menunjuk secara langsung PT Anugrah Karya Utama Persada (AKUP) untuk membangun, mengelola dan mengoperasionalkan SISKOTKLN.
Anehnya, Surat Edaran Dirjen PPTKLN Denakertrans Nomor B 1837/DP2TKLN/ VI/ 2004 menjelaskan, tidak ada pungutan administrasi untuk penerapan SISKOTKLN. Selanjutnya dalam Surat Perjanjian kerja sama Nomor. 2821/PPTKLN/I/ 2003, mengenai operasionalisasi SISKOTKLN, tidak tercantum satu pasal pun perintah untuk melakukan pungutan kepada seluruh stakeholder terkait pelayanan, penempatan dan
perlindungan TKI.
Umar berpendapat, SISKOTKLN yang kini operasionalisasinya menjadi otoritas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), sangat membebani TKI.. Sebab sistem ini hanya memanjangkan birokrasi. Padahal kontribusi TKI kepada pemerintah cukup besar melalui dua pos penerimaan yakni devisa dan dana
pembinaan sebesar 15 dólar AS yang sudah berjalan 25 Tahun.
PT AKUP yang efektif mengelola SISKOTKLN sejak 6 September 2004 secara sepihak telah mengutip dana dari Balai Latihan Kerja (BLK) Sarana Kesehatan (Sarkes), Lembaga Uji Kterampilan (LUK), perusahaan asuransi, dan PJTKI yang pada akhirnya bermuara sebagai beban tambahan TKI. Dana itu dipungut sebagai biaya operasional jaringan online komputerisasi data TKI.
PT AKUP secara sepihak memblokir/tidak menyerahkan kepada pemerintah
setiap data TKI yang masuk SISKOTKLN dari stakeholder yang belum/tidak membayar. Hal ini berdampak pada terhentinya proses TKI karena pemerintah tidak bisa mengeluarkan rekomendasi proses lanjutan. Di mata Umar, ini berarti, pemerintah dan PT AKUP menghambat proses penempatan TKI.
Umar menilai, sejak diefektifkan 6 September 2004, PT AKUP telah menerima pungutan sekitar Rp17 miliar. Rinciannya, dari BLK, LUK dan PAP sebesar Rp. 13.500,- per TKI x 25.000 TKI per bulan X 40 bulan operasional mencapai Rp. 13.500.000.000,-. Sementara pungutan yang diterima dari Sarkes sebesar Rp. 7000,- per TKI X 25.000 TKI per bulan X 20 bulan mencapai Rp. 3.500.000.000. Ini belum termasuk pembayaran dari stakeholder yang baru masuk dibawah BNP2TK, seperti asuransi.
Pada akhir keterangannya, Umar meminta Presiden mempelajari dan mengkaji kembali keberadaan SISKOTKLN yang jadi wadah untuk melakukan "pungutan liar" pada para TKI. (rilis)