BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Pembekuan pengurus partai di Lampung tidak terlepas dari tarik-menarik kepentingan pilkada. Pengartekeran juga wujud ketidakpercayaan pusat dan kontrol efektif pada pengurus daerah yang terlibat politik uang.
Penarikan wewenang pengurus wilayah partai di Lampung terjadi di PPP, PKB, dan Partai Demokrat. Wewenang Ketua DPD Partai Demokrat Lampung Thomas Azis Riska ditarik medio 2007 dan kepemimpinannya digantikan Plt. Ketua Peter Tji'din. Ketua DPW PPP Lampung Darwis Sani Merawi dibekukan 5 Oktober 2007 karena ditengarai DPP terlibat politik yang pilkada. Kemudian, kepemimpinan Ketua DPW PKB Lampung Musa Zainuddin dibekukan DPP berdasar pada keputusan rapat pleno 29 Februari 2008.
Dalam pandangan pengamat politik Unila Hertanto, pengambilalihan wewenang itu cerminan tarik-menarik kewenangan menetapkan calon gubernur dan calon bupati. Parpol yang sistem pengambilan keputusannya sentralistik merasa terganggu oleh struktur di daerah yang ingin punya peran lebih.
Pusat yang sentralistik, kata Dekan FISIP Unila ini saat dihubungi kemarin (10-4), terganggu oleh daerah yang ingin berperan menetapkan calon kepala daerah. Akhirnya, muncul konflik karena intervensi pusat terus digugat daerah. "Intinya rebutan selain juga terkait uang perahu," ujarnya.
Fenomena karteker juga terkait ketidakpercayaan pusat pada daerah. "Ini juga kontrol efektif bagi pengurus di daerah yang 'nakal'. Bisa saja ada pengurus daerah yang terlalu 'kasar' politik uangnya. Ada juga yang terkait dengan konflik," kata Hertanto.
Ke depan, Hertanto menyatakan turut campur pusat ke daerah harus berimbang. "Mesti ada kewenangan tertentu yang diberikan pada daerah seperti negosiasi koalisi dengan partai lain terkait calon gubernur."
Dihubungi terpisah, dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila Ari Darmastuti menyatakan parpol di Indonesia masih bersifat informal sentralistik. "Keputusan masih ditentukan perorangan atau tokoh, bukan melalui rapat atau musyawarah. Mereka juga terpusat, bukan membagi wewenang ke daerah-daerah."
Dengan begitu, lanjutnya, wajar bila di Lampung banyak marak fenomena karteker. "Di negara-negara maju, sistemnya sudah formal desentralistik. Mereka menentukan keputusan melalui rapat, musyawarah, serta membagi wewenang ke daerah-daerah," jelas Ari.
Di Indonesia pun Ari menilai harus mulai berkembang seperti di negara-negara maju. Pengambilalihan pengurus daerah oleh pusat melalui karteker harus berdasarkan syarat-syarat tertentu misalnya melanggar AD/ART atau persoalan moral seperti perselingkuhan, politik uang, dan korupsi.
Kasus PPP
Penarikan wewenang juga memunculkan masalah berkepanjangan. Kasus di DPW PPP Lampung sampai sekarang belum selesai. Untuk ketiga kali, musyawarah wilayah luar biasa (muswilub) gagal menyepakati keputusan.
Terakhir, pengurus DPW yang disodorkan formatur pada forum yang berlangsung Selasa (8-4) malam di kantor DPP PPP ditolak karteker. Formatur menetapkan M. Sofjan Jecoeb sebagai ketua, dan tiga ketua DPC sebagai wakil ketua mendampingi Sofjan.
Meskipun formatur menyatakan penetapan Sofjan Jacoeb tidak menyalahi AD/ART, Plt. Ketua PPP Lampung Emron Pangkapi dengan tegas menyatakan hal tersebut melanggar.Selain AD/ART, Emron menyatakan beberapa syarat menjadi pimpinan, baik DPP, DPW, maupun DPC, merujuk pada hasil Mukatamar VI 30 Januari--4 Februari 2007 lalu seperti Pasal 5 Ayat (C) dan Pasal 6 Ayat (2). "Semangat yang dibangun adalah mengantisipasi pendatang baru tidak bisa langsung jadi pemimpin," kata Emron yang dibenarkan Plt. Sekretaris PPP Lampung Teuku Taufiqulhadi. (sumber: Lampung Post)