Ambalat: RI-Malaysia Berebut Minyak, yang Untung Tetap Korporasi Multinasional

Sekali lagi Ambalat jadi duri dalam daging hubungan RI-Malaysia, dua negara yang katanya serumpun itu. Bukan itu saja, isu Ambalat (selain kasus HAM di Myanmar tentu saja) juga menjadi ujian serius bagi masa depan ASEAN yang katanya, One Vision, One Identity, One Community. Apakah olok-olok ASEAN sebagai One Voice, One Blood, One Command lebih pantas menjadi slogan organisasi regional tersebut?...

Senin 25 Mei 2009 menjelang fajar, KRI Untung Suropati yang sedang berpatroli di wilayah Ambalat dikejutkan oleh kehadiran KD Yu - 3508 (kapal perang TLDM/AL Malaysia) jenis fast attack craft - gun) pada posisi 04.03.00 LU/118.01.70 BT baringan 135 jarak 8 mil laut halu 130 cepat 16. Didapati KD Yu telah memasuki wilayah perairan NKRI sejauh 12 mil laut. Setelah sempat terjadi adu argumen lewat radio, KRI Utung Suropati yang sudah dalam keadaan siap tempur akhirnya berhasil mengawal KD Yu keluar dari wilayah laut Indonesia.

Ambalat adalah blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut Sulawesi. Konflik atas Ambalat pertama kali muncul ke permukaan pada tahun 1979 ketika Malaysia membuat peta baru yang secara sepihak mengklaim kepemilikan Ambalat. Seperti peta yang sebelumnya dibuat Malaysia pada 1969 yang tidak diakui Indonesia dan Singapura, maka peta versi 1979 itu pun tidak diakui Indonesia. Dalam hukum internasional, sebuah peta wilayah yang tidak diakui pihak negara lain tidaklah valid. Patut dicatat, kemenangan klaim Malaysia atas Sipadan dan Ligitan di ICJ pada 2002 hanyalah atas alasan effective occupation.

Ambalat adalah persoalan yang sangat alot. Hingga tahun 2009, diplomasi dan negosiasi di antara kedua negara selalu menemui dead-lock. Ini karena Ambalat bukan hanya soal kedaulatan tetapi juga soal keamanan energi (energy security). Ambalat diyakini kaya akan minyak dan gas alam. Sebuah estimasi memperkirakan bahwa blok tersebut memiliki cadangan 350 juta barrel minyak. Kedua negara juga sudah menjajaki kerja sama produksi dengan memberikan konsesi hak pengelolaan kepada korporasi-korporasi multinasional. Malaysia dengan Shell, perusahaan migas patungan Inggris-Belanda sedangkan Indonesia sudah menjajikannya kepada ENI, perusahaan migas asal Italia. Karena tahu ini zona sengketa, kedua korporasi besar itu meminta kedua negara menyediakan keamanan bagi kelancaran proses eksplorasi yang rencana akan dimulai pada 2010. Alhasil, patut dipertanyakan apakah berbagai ketegangan demi ketegangan yang terjadi di antara AL kedua negara itu murni demi nasionalisme masing-masing atau demi kepentingan korporasi internasional?...

Belakangan Malaysia tampaknya sudah kehabisan argumen menghadapi Indonesia soal Ambalat ini. Klaim negeri itu berdasarkan peta 1979 tidak diakui oleh dunia internasional dan dasar hukumnya juga tidak berbasis pada pendekatan praktek hukum laut internasional yang lazim digunakan. Meskipun demikian, Malaysia anehnya tetapi tidak mau mengaku kalah. Negeri yang dikenal tukang klaim wilayah orang ini malah sepertinya berupaya membujuk Indonesia agar mencari win-win solution, maksudnya Indonesia agar berbelas kasihan membagi blok Ambalat untuk dieksplorasi bersama.

Namun lebih jauh daripada itu, klaim kuat Indonesia atas Ambalat ini harus juga disertai komitmen pemerintah untuk memanfaatkan kekayaan alam yang dikandungnya demi sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat bukan malah belum-belum sudah berjanji menyerahkannya kepada operator asing. Kandungan ekonomis minyak mentah dan gas alam yang dikandung Ambalat tentu akan lebih menguntungkan dan bernilai tambah jika dikelola oleh perusahaan migas milik negara.
◄ Newer Post Older Post ►