Membaca (dengan benar) hasil pemilu Lebanon 2009

"Kemenangan kubu pro-Barat atas kubu pro-Iran", demikian kira-kira bunyi headline media arus utama dunia tentang hasil pemilu legislatif di Lebanon 7 Juni 2009. Bahkan kolumnis The New York Times, Thomas L. Friedman, menyebutnya sebagai “kemenangan Barack Obama atas Mahmoud Ahmadinejad.

Memang kubu pemerintah Aliansi 14 Maret meraih 71 kursi dari 128 kursi parlemen sedangkan kubu oposisi Aliansi 8 Maret (dimana Hizbullah ada di dalamnya) mendapatkan 57 kursi. Namun demikian, setidaknya ada dua hal penting yang luput dalam laporan media tersebut serta yang tampaknya sengaja diabaikan banyak analis internasional, termasuk Friedman.

Pertama, dikatakan bahwa mayoritas pemilih Lebanon—baik itu Muslim, Kristen, dan Druze—memilih untuk Aliansi 14 Maret yang dipimpin Saad Hariri, putra mantan PM Rafik Hariri yang terbunuh. Padahal, mayoritas suara pemilih (popular vote) justru jatuh ke tangan Aliansi 8 Maret. Dari lebih 1,5 juta pemilih yang menggunakan hak pilih, kubu oposisi mendapatkan 839.371 suara (55%) sementara kubu pemerintah memperoleh 693.931 suara (45%). Mayoritas pemilih Lebnon ternyata justru tidak memilih untuk Aliansi 14 Maret.

Mengapa keunggulan Aliansi 8 Maret dengan margin 10% dalam popular vote tidak berbuah keunggulan dalam perolehan jumlah kursi di parlemen?

Jawabannya, karena Lebanon menganut sistem pemilu konfesional. Kursi di parlemen dialokasikan berdasarkan garis sektarian. Perjanjian Taif, yang ditandatangani pada 1989, menetapkan bahwa Kristen dan Muslim sama-sama mendapatkan 64 kursi. Dari 64 kursi yang dimiliki Muslim, Sunni dan Syiah berbagai 27 kursi.

Akibatnya, harga satu kursi sebuah komunitas agama tertentu menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga satu kursi komunitas lainnya. Sebagai contoh, harga kursi untuk seorang calon Kristen Maronit lebih murah daripada harga satu kursi untuk seorang calon Muslim karena populasi Kristen hanya sepertiga dari populasi Lebanon. Demikian pula, seorang calon Syiah, misalnya, membutuhkan suara lebih banyak untuk terpilih dibandingkan calon dari kelompok Sunni karena populasi Syiah mencakup 60% dari keseluruhan populasi Muslim di Lebanon.

Begitulah Lebanon. Menggugat sistem pemilihan seperti itu sama artinya dengan mempertanyakan Perjanjian Taif yang mengakhiri 15 tahun konflik sipil di negeri sedar ini.

Kedua, dikatakan bahwa mayoritas warga Kristen tidak memilih Tayyar al-Wathani al-Hurr (Gerakan Patriotik Merdeka—GPM) yang dipimpin Michel Aoun. Asumsi seperti ini disampaikan untuk mendukung kesimpulan bahwa mayoritas warga Kristen Maronit menolak pandangan Aoun bahwa Hizbullah adalah patner terbaik dalam melindungi kepentingan minoritas Maronit, bukan Amerika atau Barat.

Fakta justru menunjukkan kenyataan sebaliknya. GPM sendiri meraih 19 kursi, atau unggul dari jumlah kursi gabungan dua partai berbasis massa Maronit lainnya yang tergabung dalam Aliansi 14 Maret, yakni Partai Phalangis pimpinan Amin Gemayel (5 kursi) dan al-Quwwat al-Lubnaniyyah (Kekuatan Lebanon) pimpinan Samir Geagea (5 kursi). Artinya, mayoritas Kristen Maronit justru tidak memilih melawan Aoun. Dengan kata lain, Aoun adalah pemimpin de facto komunitas Maronit, bukan Gemayel atau Geagea.

Kesimpulannya, kubu oposisi Aliansi 8 Maret memenangkan suara mayoritas pemilih: suara mayoritas warga Syiah sebagai komunitas agama terbesar di Lebanon dan suara mayoritas warga Kristen Maronit.

◄ Newer Post Older Post ►