Fakta-Fakta Kemunafikan Polri dalam Mengasuskan Bibit dan Chandra

Pendahuluan

Erry Riyana Hardjapamekas, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2003-2007 meminta kepada polisi agar dirinya ditetapkan sebagai tersangka serta ditahan. Ia mengaku pernah melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan dua pimpinan KPK nonaktif, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. Permintaan itu telah disampaikannya melalui surat yang ditujukan kepada Kabareskrim Komjen Susno Duadji pada 30 Oktober 2009.

Menurut dia, sebagian besar pimpinan KPK termasuk mantan pimpinan pernah melakukan hal serupa yaitu mengeluarkan perintah pencekalan dan pencabutan pencekalan terkait proses penyelidikan dan penyidikan di KPK secara individual maupun kolektif. “Sehingga layak ditetapkan sebagai tersangka,” katanya. Jika polisi konsisten dengan kebijakan hukum, ia bersedia ditahan karena menjalankan tugas sebagai pimpinan sesuai UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. (Kompas)

Apa yang disampaikan oleh Pak Erry merupakan pernyataan yang tegas sekaligus sindiran tajam kepada Polri. Jika pimpinan KPK terdahulu pernah melakukan perbuatan yang serupa, mengapa mantan pimpinan KPK 2003-2007 tidak dijadikan tersangka dan ditahan?

Tindakan melakukan pencekalan, pencabutan pencekalan untuk proses penyidikan merupakan wewenang penuh oleh pimpinan KPK selama alasan cekal/cabut cekal harus dapat dipertanggungjawab secara hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia. Bahkan selama menjabat sebagai pimpinan KPK 2003-2007, Pak Erry dalam wawancara di Metro TV mengaku bahwa dirinya juga seperti mantan pimpinan KPK lainnya pernah membuat keputusan baik secara individual maupun kolektif (bersama 1, 2, 3 atau 4 pimpinan lainnnya). Hal ini terjadi karena tugas yang besar (banyak) dan mobilitas yang tinggi, maka untuk menghadirkan kelima pimpinan untuk setiap keputusan (dari kecil hingga besar) menjadi kendala besar. Ini menjadi persoalan dilematis atas definisi ‘kolektif’ seperti dalam UU KPK.

Saya katakan dilematis karena tugas yang diemban KPK sangatlah besar dan banyak. Kasus korupsi yang harus ditangani bertumpuk. Satu kasus demi satu kasus terus muncul, sedangkan penyelesaian kasus selalu menghadapi kendala untuk menghadirkan bukti valid sebanyak mungkin. Dengan adanya definisi “kolektif’ dalam UU 30/2002, maka secara langsung telah membatasi kewenangan pimpinan KPK agar tidak menggunakan sewenang-wenang demi kepentingan pribadi/golongan.

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (red: 1 ketua + 4 wakil) bekerja secara kolektif” – (Pasal 21 Ayat (5) UU 30 Tahun 2002 tentang KPK)

Atas Nama Penegakan Hukum?

Baik Chandra M Hamzah maupun Bibit Samad Rianto membuat keputusan secara individu dalam penetapan cekal dan cabut cekal masing-masing kepada Anggoro Widjaja dan Joko Tjandra. Menurut persepsi pihak kepolisian, Chandra dan Bibit telah melakukan pelanggaran penyalahgunaan. Meskipun alasan mencekal Anggoro Widjaja dalam kasus SKRT dan mencabut cekal Joko Tjandra dalam kasus Artalyta Suryani sudah tepat dalam ranah pemberantasan tindak pidana korupsi, namun pihak kepolisian merasa sangat berkeberatan dan merasa janggal. Sebagai penegak hukum, Polisi ingin menegakkan UU 30 Tahun 2002 tegak berdiri secara sempurna di muka bumi Indonesia tanpa kecuali.

Dari sisi ini, saya sangat salut dan menaruh hormat besar kepada Polri yang sudah begitu cermat, telaten dan tegas menegakan hukum sampai hal-hal terkecil, hal-hal mendetail pada UU 30 tahun 2002. Bahkan Polri juga ingin menegakkan UU 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor yakni Pasal 23 : “Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 6 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp. 300.000.000.“. Dengan matanya yang tajam, Polri menilai bahwa B&C melanggar pasal 421 KUHP : “Seorang pejabat yang dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.

Jika kita melihat usaha ini, maka sungguh mulialah polisi itu. Sungguh mulialah pak Susno Duadji. Sungguh mulia pula Pak Bambang Hendarso Danuri, meskipun memberi keterangan tidak benar. Sungguh mulia pula pak Nanan Sukarna meskipun data yang disampaikan ke publik berbeda dengan realitas. Sungguh mulia juga tim Bareskrim Polri yang memberi pelajaran bagi B&C yang turut serta mempidana mantan Kapolri Rusdihardjo dalam kasus pungli kepada TKI&TKW di Kedubes RI Malaysia.

Fakta dan Keanehan

Fakta yang nyata adalah Bibit Samad Rianto melakukan pencabutan cekal pada Joko Tjandra karena sebelumnya KPK memperkirakan terjadi aliran USD 1 juta (Rp 10 miliar) dari Joko Tjandra kepada Arthalyta Suryani. Namun ternyata dana Rp 10 miliar dari Joko Tjandra, sang buronan koruptor ini mengalir ke Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (YKDK) milik Mars. (Purn) TNI Djoko Suyanto, Mantan Kapolri Jend (Purn) Sutanto, dan mantan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dan mantan Ketua KADIN MS Hidayat. Djoko Suyanto sendiri merupakan Wakil Ketua Kampanye SBY-Boediono, dan entah kebetulan atau tidak YKDK mulai beraktivitas (kegiatan sosial) di Januari 2009, tepat bersamaan dengan gencarnya iklan Demokrat-SBY pada periode sama hingga Juli 2009.

Entah kebetulan atau tidak, entah balas budi atau profesional, SBY memasukan keempat-empat petinggi yayasan YKDK dalam Kabinet SBY-Boediono 2009-2014. Djoko Suyanto diangkat menjadi Menko Polhukam, Sutanto diangkat menjadi Kepala BIN, Purnomo Y diangkat menjadi Menteri Pertahanan dan MS Hidayat diangkat menjadi Menteri Perindustrian. Lengkap sudah 4 menteri kita merupakan orang-orang yang bertanggungjawab pada pengelolaan aliran dana US 1 juta dolar dari Joko Tjandra, sang koruptor yang buron. Dan posisi menteri-menteri sangat strategis dalam ‘pertahanan’ secara politik, hukum maupun ‘keamanan’.

Dibalik itu, ada hal yang menjijikkan yakni Djoko Suyanto yang berusaha untuk tidak tahu bahwa ada aliran Rp 10 miliar (USD 1 juta) dari buronan korupsi Joko Tjandra. “Bukan pribadi, saya tak tahu menahu. Soal dana masuk ke yayasan saya tidak tahu, itu urusan yayasan,” kata Djoko Suyanto saat dihubungi VIVAnews, Kamis 1 Oktober 2009. Kalau cuman Rp 10.000 dan Anda tidak tahu, itu adalah hal wajar tapi ini Rp 10 miliar!!!

Berbeda dengan Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua KPK (non-aktif) Chandra M Hamzah justru melakukan pencekalan terhadap Anggoro Widjaja. Anggoro Widjaya merupakan Direktur PT Masaro Anggoro yang menjadi tersangka dalam kasus suap korupsi SKRT di berbagai instansi pemerintahan (dari Departemen Kehutanan hingga Kepolisian). Jika dalam kasus Joko Tjandra ada hal yang aneh, maka kasus Anggoro Widjaja sama anehnya.

Pada 22 Agustus 2008, Chandra M Hamzah atas nama KPK melayangkan surat cekal terhadap Anggoro Widjaja. Setelah penyusutan yang lebih lengkap selama hampir 10 bulan, akhirnya pada 19 Juni 2009, Anggoro Widjaja resmi menjadi tersangka kasus korupsi ‘kompleks’ (dari sebelumnya terlibat dalam SKRT, lalu terungkap kembali pada kasus lain yakni kasus penyuapan Tanjung Api-Api. Menambah bukti). Ketika masih berstatus tersangka, Pak Susno Duadji alih-alih menemui buronan KPK ini di Singapura pada tanggal 11 Juli 2009. Meskipun tindakan Susno Duadji ini salah, namun petingi Polri melalui Kadiv Humas Polri Nanan Sukarna justru melakukan pembelaan (dengan berkata benar). Nanan membela bahwa Susno tidak bersalah karena status Anggoro sebagai saksi Polri, padahal Anggoro baru dijadikan saksi Polri pada Agustus 2009. Satu kebohongan sekaligus kemunafikan Polri! Ini menjadi awal dari rangkaian fakta- fakta kemunafikan polri yang ingin saya ungkapkan! Mengapa pula Anggoro dan Anggodo tidak pula dijadikan tersangka telah ikut menyuap?

Menilik sebentar kebelakang. Jauh-jauh hari, Ketua MK Mahfud MD atas nama pribadi (bukan a.n lembaga!) lebih melihat bahwa salah atau benarnya prosedur yang dilakukan B&C dalam konteks pengeluaran keputusan cekal dan cabut cekal lebih tepat dibawa ke pengadilan tata negara, bukan pidana. Bisa dikatakan bahwa 90% tindakan yang dilakukan B&C dalam cekal dan cabut cekal pada Joko T dan Anggoro W sudah tepat. Meski kesalahan tetap ada, namun konteknya bukanlah pidana, tapi lebih pada perdata. Sampai saat ini, bukti-bukti dan saksi yang selama ini menjadi andalan polisi telah menyatakan B&C tidak melakukan pemerasan, tidak pula menerima suap.

Sampai uraian disini, maka kita bisa memaklumi bahwa tindakan polisi untuk menetapkan B&C sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang atas nama ‘penegak hukum’ tingkat tinggi. Kepolisian sudah memiliki waktu yang begitu banyak dan lenggang untuk menegakkan hukum di negeri ini sehingga bisa begitu semangat dan giat mencari kesalahan para petinggi KPK yang salah prosedural.

Kemunafikan-Kemunafikan Atas Nama Penegakan Hukum

Pihak Bareskrim Polri yang bisa begitu semangat mencari seluk beluk kesalahan dalam bentuk apapun yang dilakukan pimpinan KPK merupakan prestasi besar. Atas inisiatif sendiri, Bareskrim Polri meminta Antasari untuk melaporkan rekannya yang diduga melakukan suap, lalu berubah statusnya menjadi dugaan penyalahgunaan wewenang. Ini merupakan semangat luar biasa dari Bareskrim Polri yang pantang menyerah untuk menindak petinggi KPK yang ‘nakal’.

Atas dasar penegakan hukum yang sempurna, saya akan mendukung penuh tindakan polri menyelidiki dan menahan Bibit dan Chandra ini asal dengan satu catatan. Apa itu?
Jika Polri telah melakukan hal yang sama terhadap kasus-kasus yang kasat mata, yang dampaknya lebih besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebut saja kasus Lumpur Lapindo, Pembalakan Liar Hutan Riau, Tindak Pidana Pilkada Jawa Timur, Pungli atas Penjualan CD/DVD Bajakan, Perjudian hingga pidana dana kampanye Pilpres 2009 silam. Apakah Polri sudah begitu gentol mencari bukti kesalahan sedetil kasus B&C?

Jika kita telusuri pemberitaan media dan mencari fakta-fakta lapangan atas kasus-kasus seperti saya sebutkan diatas, lalu kita bandingkan dengan kasus B&C, maka hanya ada satu kata yang tepat untuk Polri khususnya Bareskrim Polri : MUNAFIK!. Bareskrim Polri telah terlalu munafik mengasuskan Bibit dan Chandra. Polri mencari kesalahan yang detil dan abu-abu untuk B&C, sementara kasus-kasus besar yang merugikan negara dan bangsa yang besar dan sangat kasat mata tidak ditindak dan follow up segentol kasus B&C. Ha….Kuman di seberang laut nampak, gajah di kelopak mata tidak nampak, peribahasa yang tepat untuk disandangkan kepada segelintir petinggi polri yang terlalu bernafsu dan terlihat munafik.

Untuk menghemat waktu dan membatasi panjang artikel, saya hanya membuat 1 fakta komprehensif kemunafikan Polri yang tidak berusaha mencari fakta-fakta dan bukti kasus-kasus besar serta beberapa fakta tambahan non-komprehensif.

Bareskrim Polri Munafik, Tidak Menindaklanjuti Pelanggaran Pidana Dana Kampanye Pilpres 2009

Dalam UU 42 Tahun 2009 tentang Pilpres 2009, secara jelas menggariskan apa dan bagaimana dana kampanye pasangan calon presiden-wakil presiden dapat diterima, digunakan dan dipertanggungjawabkan. Dalam pasal 96 melarang sumbangan dana kampanye dari perorangan melebihi Rp 1 miliar (ayat 1) dan tidak boleh melebihi Rp 5 miliar dari kelompok, perusahaan, atau badan usaha non-pemerintah (pasal 2). Untuk pasal 96 ini, pasangan SBY-Boediono dapat dijadikan tersangka karena menerima dana kampanye dari perusahaan afiliasi menyumbang sebesar Rp 8.5 miliar (lebih dari Rp 5 miliar seperti diatur UU) dengan rincian PT Northstar Pasific Investasi (Rp 1 miliar) + PT Northstar Pasific Capital (Rp 1 miliar), PT Sumber Alfaria Trijaya (Rp 3,5 miliar), dan PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Rp 3 miliar).

Meski datanya sudah jelas, namun polri seperti mati ditelan bumi. Tidak bergeming, tidak ada usaha mencari bukti kesalahan. Tidak ada usaha menyelidiki kasus yang besar ini. Ini bukti kemunafikan polri yang lain, padahal bagi yang melanggar pasal 96 (2) secara jelas akan mendapat sanksi pidana 6-12 bulan dan denda Rp 1 miliar – Rp 5 miliar seperti ditegaskan dalam Pasal 220 UU 42/2008.

Pasal 103 (1) : Pasangan Calon dilarang menerima sumbangan pihak lain yang berasal dari:
a. pihak asing;
b. penyumbang yang tidak benar atau tidak jelas identitasnya (NPWP);
c………….

Pasal 103 (2) Pelaksana Kampanye yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU dan menyerahkan sumbangan tersebut ke kas negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa Kampanye berakhir.

Sanksi Pasal 103 (1) dan 103(2 diatur Pasal 222 (1) dan 222 (2) : pidana 1-4 tahun dan denda 3 kali dari dana yang diperoleh.

Siapa yang melanggar?

Dalam penjelasan UU 42/2008 pasal 103 (1), yang dimaksud dengan “pihak asing” meliputi negara asing, lembaga swasta asing termasuk perusahaan swasta yang ada di Indonesia dengan sebahagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing, lembaga swadaya masyarakat asing, dan/atau warga negara asing.

Bila pasal 96 hanya menimpa pada pasangan SBY-Boediono, namun pada pasal 103 semua calon diduga melanggar. Secara tertulis dan laporan komprehensif, Bawaslu sebagai Badan resmi Pengawas Pemilu melaporakn ketiga pasang capres-cawapres kepada instansi polisi untuk diproses. Namun, dasar MUNAFIK, Bareskrim Polri justru men SP3 kasus pelanggaran dana kampanye ini. Salah satu alasan logis mengapa Bareskrim tidak nemindaklanjuti kasus ini karena kasus ini membawa nama penguasa, terutama nama bos-nya SBY-Boediono, disamping Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto.

Bagi mereka yang peka dengan penegakkan hukum yang jelas-jelas kasat mata, maka ketika mereka membaca berita di bawah ini, lalu bandingkan dengan usaha Bareskrim Polri yang berusaha mencari kesalahan pimpinan KPK, maka saya berani mengatakan “Bareskrim Polri MUNAFIK

Bareskrim Mabes Polri menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terkait dugaan pelanggaran dana kampanye atas laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Penghentikan perkara penyidikan menimbulkan kecurigaan, lantaran tanpa ada keterangan jelas dari Bareskrim. Hal itu menyebabkan, Bawaslu kecewa dengan kinerja Kepolisian.

Dalam surat yang ditandatangani Direktur I Keamanan Transnasional Badan Reserse Kriminal Brigadir Jenderal Bachtiar Tambunan itu, kata Tio, tak disebutkan alasan penghentian penyidikan. Surat itu hanya menyebutkan, “Penyidikan dihentikan sejak 2 Oktober 2009 demi hukum,” katanya. (surya)

  1. Megawati-Prabowo : menerima sumbangan dari PT Kertas Nusantara yang 70 persen sahamnya dimiliki oleh pihak asing.
  2. SBY-Boediono : Wakil Ketua dan Bendahara Tim Kampanye SBY-Boediono, yaitu Djoko Suyanto (sekarang jadi Menko Polhukam!) dan Garibaldi Thohir. Djoko dan Garibaldi bertanggung jawab atas revisi perubahan laporan dana kampanye. Dalam laporan pertama, tim kampanye (SBY-Boediono) mengakui menerima sumbangan dari PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional yang sebagian besar sahamnya juga dimiliki asing. Tapi, belakangan nama BTPN tak muncul dalam laporan yang diserahkan ke kantor akuntan publik.
  3. JK-Wiranto : Ketua dan Bendahara Tim Kampanye JK-Wiranto, yaitu Fahmi Idris dan Solichin Kalla bertanggung jawab atas penerimaan yang tak dicatat dalam laporan dana kampanye Jusuf Kalla-Wiranto.

Sebagai rakyat biasa, saya sangat kecewa. Anda bisa melihat begitu jelas bahwa kasus Prita tidak lebih besar dari kasus pidana miliaran rupiah. Bukti kasus pelanggaran dana kampanye tidak seabu-abu kasus B&C. Apakah hukum hanya suatu permainan? Apakah dua pimpinan KPK sengaja harus ‘dimatikan’ agar mereka tidak menyentuh kasus dana kampanye??? Ataukah ini shock therapy agar KPK nantinya menjadi lemah dalam penyidikan dan penuntutan kasus dana bailout 6.7 Triliun Bank Century?

Kasus pidana dana kampanye Pilpres 2009 yang tidak ditindaklanjuti oleh Bareskrim Polri hanyalah salah satu contoh dari sekian contoh kemunafikan polri dalam memroses hukum yang diskriminatif. Ketika berhubungan kasus para penguasa dan ‘majikannya’, polri hanya bersembunyi dan berkilah ‘tidak ada bukti lanjutan’, dan “batal demi hukum”. Ketika ada pihak yang berjuang untuk membasmi koruptor, justru Bareskrim Polri membantai mereka-mereka.

Selain kasus pelanggaran dana pilpres 2009, ada sejumlah kasus dimana Polri justru tidak berusaha maksimal mencari bukti memidanakan kasus yang sangat kasat mata. Sebut saja kasus Pembalakan Liar di Riau. Ketika Irjen Sutjiptadi, Polisi Pemberani “Sang Visioner” sang Kapolda Riau yang dikenal anti pembalakan liar menjabat, justru ia ditekan oleh pembantu SBY yakni Menhut MS Kaban. Hal ini terjadi karena Irjen Sutjiptadi begitu gentol memroses dan menyelidiki para pelaku (dari pejabat, aparat/polri hingga pengusaha) yang ikut terlibat dalam kasus illegal logging di Riau. Bukan didukung atau diapresiasi, justru Kapolri dengan hitungan bulan memecat (istilah halus: mutasi) beliau dari kursi Kapolda Riau setelah MS Kaban meminta Kapolri untuk memecat. MS Kaban gerah karena Irjen Sutjiptadi telah mengendus keterlibatan pejabat tinggi yang terlibat dalam illegal logging di Riau. Mereka diantaranya adalah Menhut MS Kaban dan Gubernur Riau Rusli Zainal. Apakah mata polri buta atas pembalakan liar di Riau??

Kasus yang serupa menimpa Irjen Polisi Herman SS (Eks. Kapolda Jatim) yang begitu semangat memroses kasus pelanggaran pidana kampanye di Jawa Timur yang membawa klien penguasa. Salah satu kasus yang menjadi perhatian besar masyarakat adalah pengelembungan suara sistematis pilkada Jatim. Meskipun Irjen Pol Herman SS langsung menemukan bukti anak-anak dibawah umur ikut mencoblos pasangan gubernur dari partai penguasa, tetap saja pengganti Irjen Pol Herman SS mengatakan tidak ada bukti. Kasus ini kandas ditangan penguasa. Segelintir petinggi Polri yang berdedikasi akhirnya kandas mengabdi ketika diintervensi oleh petinggi Polri di pusat. Kasus-kasus besar seperti pembalakan liar bukan dicari buktinya, justru orang yang berusaha mencari bukti akhirnya dimutasi. Suatu prestasi yang tidak akan terlupakan!

Kemunafikan Bareskrim Polri semakin menguak taktala kita menemukan cerita lucu polri yang tidak bisa mencari bukti mamadai tindak pidana kasus Lumpur Lapindo. Padahal, pelanggaran SOP dalam pengeboran sudah menjadi salah satu langkah awal polisi untuk memroses kasus hukum. Dan yang pasti, negara telah dirugikan hingga Rp 795 miliar rupiah. Tapi yah begitulah…kroni penguasa.

Selama penegakan hukum dilakukan secara diskriminatif, selama hanya memroses kasus hukum B&C yang abu-abu, sementara kasus dana kampanye Pilpres yang kasat mata tidak ditindaklanjuti, maka kata MUNAFIK pantas dialamatkan kepada pejabat Polri yang sok menegak hukum, terutama pejabat di Bareskrim Polri yang didukung Kapolri beserta jajarannya.

Terus Bertahan dan Berjuang Pak Bibit dan Chandra!
Biar Anda tidak ditahan agar tidak melakuan konferensi pers, Biarlah kami yang membentuk opini masyarakat dan membongkar fakta kemunafikan orang yang berusaha mencari kesalahan ‘aneh’ Anda’.

Jika para tokoh nasional menjamin diri mereka untuk pak B&C, maka saya hanya bisa menjamin bahwa saya bertanggung jawab pada kritik keras saya pada tulisan ini.

Salam Perjuangan,
ech-wan, 31 Oktober 2009

Catatan : Referensi dan sumber tulisan dapat Anda telusuri dari kalimat berwarna biru (seperti tanggal)

◄ Newer Post Older Post ►