What's Wrong with The Early Childhood Education in Indonesia?" Begitu judul acara seminar kecil bersama Profesor Sandralyn Byrnes dari Royal Tots Academy yang digelar saat event Giggle Playgroup Day 2011, gelaran Miniapolis & Giggle Management, Jumat, 11 Februari 2011.
Apa yang salah dengan pendidikan anak usia dini di Indonesia? Saat ini sudah ada begitu banyak lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini yang berdiri di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Mulai dari yang bersertifikasi internasional, berlatar agama, hingga lainnya. Begitu banyaknya penawaran dan embel-embel tersebut, tak heran orangtua kebingungan harus memilih yang mana yang tepat untuk anak.
Selama 7 tahun meriset dan mencari tahu mengenai proses pendidikan anak usia dini di Indonesia, Byrnes menemukan beberapa hal yang mengganjal. "Pertama, pendidikan anak usia dini tidak memiliki kurikulum yang universal," ungkap Byrnes yang merupakan kepala sekolah Royal Tots Academy, Kuningan, Jakarta. Tidak adanya standar universal membuat begitu banyak sekolah untuk anak usia dini yang bermunculan. "Belum ada yang membuat batasan, di usia anak sekian, ia harus sudah bisa melakukan apa saja. Jadi, beda sekolah, beda standar. Padahal tak sedikit yang menggunakan embel-embel 'internasional'. Embel-embel tersebut ternyata tidak menjadi jaminan kualitasnya," papar Byrnes yang diberi gelar sebagai Australia's & International Teacher of the Year.
"Namun, pada umumnya, kita semua tahu bahwa pendidikan anak usia dini itu penting, karena di usia inilah anak membentuk pendidikan yang paling bagus. Di usia inilah anak-anak harus membentuk kesiapan dirinya menghadapi masa sekolah dan masa depan. Investasi terbaik yang bisa Anda berikan untuk anak-anak adalah persiapan pendidikan mereka di usia dini," terang Byrnes yang berasal dari Australia ini.
Lebih lanjut, Byrnes mengungkapkan salah satu hal yang membuatnya kecewa adalah sering terjadi power struggle (tarik-ulur kekuatan) antara anak dengan gurunya. Ini bisa menjadi indikasi bahwa kurikulum atau cara guru mengajar membuat anak tidak merasa kerasan. Seharusnya sumber daya pengajar memiliki pengetahuan bagaimana cara menghadapi anak-anak, karena setiap anak berbeda.
Menurut Byrnes, beberapa lembaga pendidikan usia dini yang ia datangi di Indonesia tidak konsisten. Bahkan, beberapa sekolah anak usia dini yang ia temui memperbolehkan pengasuhnya ikut ke dalam kelas. "Buat saya, pengasuh mengambil alih otoritas orangtua. Saya tidak menyarankan pengasuh ke dalam ruang kelas. Ada alasannya. Anak-anak harus belajar mandiri. Saya pernah melihat dalam kelas ada seorang anak yang selalu dipangku pengasuhnya. Begitu guru mengajaknya belajar, ia malah memeluk pengasuh dan menolak diajak guru. Artinya, mereka tidak berani melakukan sesuatu. Anak-anak usia dini seharusnya pengambil risiko," terang Byrnes.
Byrnes mengungkap kembali bahwa saat ini pendidikan anak usia dini di Indonesia belum merata, bahkan sertifikasinya pun tidak menjadi jaminan. "Jika Anda mau pendidikan yang terbaik untuk anak-anak, maka pencarian sekolah pendidikan anak usia dini menjadi pekerjaan rumah terpenting para orangtua. Cari dengan hati-hati, jangan tergesa-gesa," sarannya.
Perlu diketahui lagi, ungkap Byrnes, pendidikan anak usia dini di Indonesia tidak sama, karena tidak disubsidi pemerintah seperti kebanyakan negara lain. "Karena itu, lihatlah uang sekolah untuk anak di usia dini sebagai investasi. Ketahuilah bahwa proses pendidikan anak tidak dimulai dari sekolah dasar, tetapi dari 18 bulan," ungkap Byrnes
Yang jadi masalah di lembaga pendidikan anak usia dini di Indonesia, tegas Byrnes, adalah kurangnya pelatihan guru-guru agar terus menjadi lebih baik, tak adanya kerjasama antara sekolah dengan orangtua, dan kurang kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini lainnya.
Sumber: http://female.kompas.com/
Artikel ini kami kutip agar menjadi refleksi bagi para pembaca Resourceful-Parenting