Cerita Pendek - Seperti lelap aku. Suara-suara itu adalah hantu. Mereka terlalu bising dan aku mencoba untuk tidak mendengar apa yang mereka ributkan. Selalu saja, meraka datang saat aku melepas penatku menjadi beraian impian yang punah sebelum fajar. Lalu saat sadarku bertautan, mereka lenyap, tak bertanggung jawab, menghadirkan insomnia yang berkepanjangan.
“Apa-apaan ini?” tanya suara bariton di ujung sana, disusul hantaman keras benda tumpul di meja.
“Kamu tidak terima? Iya, tidak terima? Memang kamu bisa apa?” Lengkingan suara lain bernada sopran menggertak parau. Ada kekesalan dan rasa tidak hormat yang menyembul jelas diantara kepingannya. Lalu bariton itu mulai mendesakkan cacian yang tak kalah pedas, disambut balasan yang setimpal untuk tiap-tiap diksi. Mereka meracau dan aku tak dapat lagi mendengar jelas.
Suara-suara itu hadir pertama kali saat aku menyenangi kupu-kupu dan bunga. Bentuknya bagus-bagus dan warnanya indah-indah. Saat melihat seekor kupu-kupu menyentuhkan sayapnya pada kelopak bunga, warna yang dimiliki keduanya berbaur hingga aku tak tahu mana yang lebih indah. Saat itu aku membayangkan bahwa kupu-kupu dapat membuat bunga terlihat lebih cantik, dan sebaliknya. Aku suka saja membiarkan pemandangan itu bergolak dibawah sinar matahari. Lalu aku semakin senang menghabiskan malam dengan membayangkan kupu-kupu dan bunga di tempat tidur, untuk bangun pagi-pagi keesokan harinya dan menyaksikan sendiri keduanya bercengkerama.
Tapi itu tak berlangsung lama. Ayah memotong bunga milik si kupu-kupu, dan tak lagi membiarkannya tumbuh. Aku berteriak dan menangis tersedu-sedu ketika tangkai yang telah terpotong itu tergeletak pasrah di tanah. Namun ayah justru semakin marah melihatku demikian, kemudian beliau menamparku. Aku terjatuh ke belakang. Rasanya sakit, namun tak sesakit perasaanku ketika tahu aku kehilangan bunga milik si kupu-kupu. Aku tahu, kehilangan si bunga, berarti kehilangan si kupu-kupu. Aku takut tak dapat lagi membayangkan keduanya bercengkerama ketika suara-suara itu mengangguku di tempat tidur dari kejauhan.
Dulu mereka tidak datang tiap malam, hanya kadang-kadang saja. Tetapi begitu mereka datang, selalu saja aku ketakutan, sangat takut! Takut yang tidak seperti kalau aku ditakuti teman-temanku akan wewe gombel, pocong, atau endhas glundung. Tapi rasa takut itu mengendap di otakku, menggerogotinya dari dalam, kemudian meninggalkan aku tanpa kehidupan. Seperti mimpi yang menyeramkan, tapi nyata, dan mimpi itu selalu ada di sana dan membuatku tak tenang.
Suara-suara itu begitu menusuk telingaku, betapapun lirihnya. Kalau sudah begitu, aku akan memejamkan mata erat-erat, bahkan menutupnya dengan bantal, lalu membayangkan bunga dan kupu-kupu. Pelan-pelan suara itu tak terdengar, dan aku tak lagi menjumpai suara suara itu keesokan harinya, dalam jangka waktu yang lumayan lama.
Dan ketika ayah memotong bunga itu, hatiku hancur. Bagaimana mereka akan menyelamatkan aku dari suara-suara itu? Aku tak dapat lagi memandangi mereka, dan bayangan mereka terkubur bersama waktu yang menghimpitku dengan surasuara yang makin sering hadir tiap malam.
Mula-mula aku menggigil. Aku memejamkan mata erat-erat, namun yang keluar justru air mata. Lalu aku mulai mereka-reka, membalik dari sekian ingatan bentuk dan warna bunga dan kupu-kupu. Ketika kutemukan, aku menciptakan ruang baru di ke-palaku untuk mereka berdua. Suatu ruang yang hampa, gelap, dan dingin. Hanya bentuk baku dan warna-warna yang menjadi kusam milik mereka yang mampu kulukiskan. Semula aku menangis karena aku tak dapat menghadirkannya dengan sempurna. Aku sedih sekali. Bunga dan kupu-kupu itu menjadi buruk dan tidak hidup, mengingatkanku pada film zombie yang kulihat bersama ayah ketika aku tidak bisa tidur dan ibu belum pulang. Waktu itu ayah kutanya, kemana ibu? Beliau mendengus dan berkata kasar; ‘ibumu tak tahu diri, kerja terus, keluarga tak diurus’. Aku tak mengerti. Aku ketakutan. Zombie-zombie yang ada di TV memakan manusia. ‘Pengecut!’ lagi-lagi ayah mendengus.
Dan bayangan zombie itu membentuk kerangka yang kupakai melukiskan bunga dan kupu-kupu. Begitu pucat dan menakutkan. Tak hentihentinya aku menangis, bermalam-malam, dan suara-suara itu semakin bising. Hingga aku lelah dan tertidur. Lalu ketika esok dan esoknya lagi aku membayangkan bunga dan kupu-kupu, bayangan yang kucipta semakin kabur dan la-ngu. Semakin pucat, tak berwarna, bahkan bunga itu terlihat seperti bangkai yang dihinggapi sesuatu mahluk dengan bentuk sayap yang tidak beraturan. Tercabik di sana-sini, dan kusam. Tetapi aku tak lagi menangis.
***
Rumahku penuh orang. Beberapa di antaranya berseragam sedang yang lain berjubel di pintu. Saling berebut mengintip ke dalam dan berbisikbisik. Aku melihatnya dengan senang. Takpernah ada banyak orang mengunjungi rumahku, dan mereka semua begitu berwarna. Tidak! Tidak seperti bunga dan kupu-kupu yang dulu ku tahu. Mereka seperti badut yang kulihat di tv, dan membuatku takut. Dulu. Sekarang aku tak takut apaapa lagi. Aku tak mau ayah menyebutku pengecut, sehingga menamparku dan aku akan kehilangan bunga dan kupu-kupu itu sekali lagi. Kali ini dari kepalaku, dengan bentuk dan warna yang sudah sama sekali berbeda. Tetapi yang penting aku masih memilikinya. Dan badut-badut bersuara lebah itu tak akan mampu membuatku takut, atau menangis. Mereka tak akan sanggup mengambil apa yang kini hanya boleh kumiliki sendiri
“Kau dengar aku?” Suara keras di telingaku datang tiba-tiba dari salah seorang yang berseragam. “Perhatikan aku, to-long!” Sungguh tak sopan, ia minta tolong tapi ia membentakku. Aku memandangnya. Dia bukan badut dan tak cukup pucat un-tuk menjadi zombie. Hm... ku kira aku masih harus mencari tahu, apa orang ini!
“Di mana kau malam itu?” Malam itu? Apa yang dia tanya-kan? Apakah dia meanyakan bunga dan kupu-kupu milikku yang selalu kutemui tiap malam? Oh tidak, janganjangan dia orang yang akan mengambil mereka dariku. Tak akan kubiarkan.
“Jangan diam saja! Katakan, dimana kau malam itu?” Orang berseragam ini sungguh tak sopan. Dia membentak-bentakku di hadapan orang banyak. Mungkin ia tak pernah diajarkan sopan santun. Tapi ia punya bentuk muka yang aneh. Hidungnya terlalu besar dan ia seakanakan mampu makan apa saja. Sejenis sapi mungkin. Ia pasti pemamah biak. Semakin kuperhatikan, ia semakin memaki. Tapi aku tak mendengar apa yang diucapkannya padaku. Mukanya terlalu aneh. Jadi, kupikir ia tak akan sanggup mengambil bunga dan kupu-kupu milikku.
Akhirnya, ketika ia mulai terlihat lelah, seseorang berkata padanya, “bawa saja ia ke psikiater! Mungkin ia bahkan tak tahu bahwa ibunya yang pelacur itu telah dibunuh ayahnya.”
Oleh : hildaCHANDRA April 30th, 2002, 24.00
“Apa-apaan ini?” tanya suara bariton di ujung sana, disusul hantaman keras benda tumpul di meja.
“Kamu tidak terima? Iya, tidak terima? Memang kamu bisa apa?” Lengkingan suara lain bernada sopran menggertak parau. Ada kekesalan dan rasa tidak hormat yang menyembul jelas diantara kepingannya. Lalu bariton itu mulai mendesakkan cacian yang tak kalah pedas, disambut balasan yang setimpal untuk tiap-tiap diksi. Mereka meracau dan aku tak dapat lagi mendengar jelas.
Suara-suara itu hadir pertama kali saat aku menyenangi kupu-kupu dan bunga. Bentuknya bagus-bagus dan warnanya indah-indah. Saat melihat seekor kupu-kupu menyentuhkan sayapnya pada kelopak bunga, warna yang dimiliki keduanya berbaur hingga aku tak tahu mana yang lebih indah. Saat itu aku membayangkan bahwa kupu-kupu dapat membuat bunga terlihat lebih cantik, dan sebaliknya. Aku suka saja membiarkan pemandangan itu bergolak dibawah sinar matahari. Lalu aku semakin senang menghabiskan malam dengan membayangkan kupu-kupu dan bunga di tempat tidur, untuk bangun pagi-pagi keesokan harinya dan menyaksikan sendiri keduanya bercengkerama.
Tapi itu tak berlangsung lama. Ayah memotong bunga milik si kupu-kupu, dan tak lagi membiarkannya tumbuh. Aku berteriak dan menangis tersedu-sedu ketika tangkai yang telah terpotong itu tergeletak pasrah di tanah. Namun ayah justru semakin marah melihatku demikian, kemudian beliau menamparku. Aku terjatuh ke belakang. Rasanya sakit, namun tak sesakit perasaanku ketika tahu aku kehilangan bunga milik si kupu-kupu. Aku tahu, kehilangan si bunga, berarti kehilangan si kupu-kupu. Aku takut tak dapat lagi membayangkan keduanya bercengkerama ketika suara-suara itu mengangguku di tempat tidur dari kejauhan.
Dulu mereka tidak datang tiap malam, hanya kadang-kadang saja. Tetapi begitu mereka datang, selalu saja aku ketakutan, sangat takut! Takut yang tidak seperti kalau aku ditakuti teman-temanku akan wewe gombel, pocong, atau endhas glundung. Tapi rasa takut itu mengendap di otakku, menggerogotinya dari dalam, kemudian meninggalkan aku tanpa kehidupan. Seperti mimpi yang menyeramkan, tapi nyata, dan mimpi itu selalu ada di sana dan membuatku tak tenang.
Suara-suara itu begitu menusuk telingaku, betapapun lirihnya. Kalau sudah begitu, aku akan memejamkan mata erat-erat, bahkan menutupnya dengan bantal, lalu membayangkan bunga dan kupu-kupu. Pelan-pelan suara itu tak terdengar, dan aku tak lagi menjumpai suara suara itu keesokan harinya, dalam jangka waktu yang lumayan lama.
Dan ketika ayah memotong bunga itu, hatiku hancur. Bagaimana mereka akan menyelamatkan aku dari suara-suara itu? Aku tak dapat lagi memandangi mereka, dan bayangan mereka terkubur bersama waktu yang menghimpitku dengan surasuara yang makin sering hadir tiap malam.
Mula-mula aku menggigil. Aku memejamkan mata erat-erat, namun yang keluar justru air mata. Lalu aku mulai mereka-reka, membalik dari sekian ingatan bentuk dan warna bunga dan kupu-kupu. Ketika kutemukan, aku menciptakan ruang baru di ke-palaku untuk mereka berdua. Suatu ruang yang hampa, gelap, dan dingin. Hanya bentuk baku dan warna-warna yang menjadi kusam milik mereka yang mampu kulukiskan. Semula aku menangis karena aku tak dapat menghadirkannya dengan sempurna. Aku sedih sekali. Bunga dan kupu-kupu itu menjadi buruk dan tidak hidup, mengingatkanku pada film zombie yang kulihat bersama ayah ketika aku tidak bisa tidur dan ibu belum pulang. Waktu itu ayah kutanya, kemana ibu? Beliau mendengus dan berkata kasar; ‘ibumu tak tahu diri, kerja terus, keluarga tak diurus’. Aku tak mengerti. Aku ketakutan. Zombie-zombie yang ada di TV memakan manusia. ‘Pengecut!’ lagi-lagi ayah mendengus.
Dan bayangan zombie itu membentuk kerangka yang kupakai melukiskan bunga dan kupu-kupu. Begitu pucat dan menakutkan. Tak hentihentinya aku menangis, bermalam-malam, dan suara-suara itu semakin bising. Hingga aku lelah dan tertidur. Lalu ketika esok dan esoknya lagi aku membayangkan bunga dan kupu-kupu, bayangan yang kucipta semakin kabur dan la-ngu. Semakin pucat, tak berwarna, bahkan bunga itu terlihat seperti bangkai yang dihinggapi sesuatu mahluk dengan bentuk sayap yang tidak beraturan. Tercabik di sana-sini, dan kusam. Tetapi aku tak lagi menangis.
***
Rumahku penuh orang. Beberapa di antaranya berseragam sedang yang lain berjubel di pintu. Saling berebut mengintip ke dalam dan berbisikbisik. Aku melihatnya dengan senang. Takpernah ada banyak orang mengunjungi rumahku, dan mereka semua begitu berwarna. Tidak! Tidak seperti bunga dan kupu-kupu yang dulu ku tahu. Mereka seperti badut yang kulihat di tv, dan membuatku takut. Dulu. Sekarang aku tak takut apaapa lagi. Aku tak mau ayah menyebutku pengecut, sehingga menamparku dan aku akan kehilangan bunga dan kupu-kupu itu sekali lagi. Kali ini dari kepalaku, dengan bentuk dan warna yang sudah sama sekali berbeda. Tetapi yang penting aku masih memilikinya. Dan badut-badut bersuara lebah itu tak akan mampu membuatku takut, atau menangis. Mereka tak akan sanggup mengambil apa yang kini hanya boleh kumiliki sendiri
“Kau dengar aku?” Suara keras di telingaku datang tiba-tiba dari salah seorang yang berseragam. “Perhatikan aku, to-long!” Sungguh tak sopan, ia minta tolong tapi ia membentakku. Aku memandangnya. Dia bukan badut dan tak cukup pucat un-tuk menjadi zombie. Hm... ku kira aku masih harus mencari tahu, apa orang ini!
“Di mana kau malam itu?” Malam itu? Apa yang dia tanya-kan? Apakah dia meanyakan bunga dan kupu-kupu milikku yang selalu kutemui tiap malam? Oh tidak, janganjangan dia orang yang akan mengambil mereka dariku. Tak akan kubiarkan.
“Jangan diam saja! Katakan, dimana kau malam itu?” Orang berseragam ini sungguh tak sopan. Dia membentak-bentakku di hadapan orang banyak. Mungkin ia tak pernah diajarkan sopan santun. Tapi ia punya bentuk muka yang aneh. Hidungnya terlalu besar dan ia seakanakan mampu makan apa saja. Sejenis sapi mungkin. Ia pasti pemamah biak. Semakin kuperhatikan, ia semakin memaki. Tapi aku tak mendengar apa yang diucapkannya padaku. Mukanya terlalu aneh. Jadi, kupikir ia tak akan sanggup mengambil bunga dan kupu-kupu milikku.
Akhirnya, ketika ia mulai terlihat lelah, seseorang berkata padanya, “bawa saja ia ke psikiater! Mungkin ia bahkan tak tahu bahwa ibunya yang pelacur itu telah dibunuh ayahnya.”
Oleh : hildaCHANDRA April 30th, 2002, 24.00