Pagi ini, Jumat (16/9), saya sangat terkejut ketika membaca sebuah judul berita di situs www.lampungpost.com, berjudul “Ruswandi Hasan Meninggal Dunia”. Almarhum adalah sosok yang sangat saya kenal.
Terakhir saya berjumpa beliau pada awal tahun 2010, pada acara rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Lampung. Rapat tersebut pesertanya adalah gubernur/wakil gubernur, seluruh walikota dan bupati, Muspida Tk I dan Tk II.
Kebetulan pada waktu itu yang menjadi tuan rumah adalah Kabupaten Lampung Tengah. Acaranya sendiri dipusatkan di Gedung Serba Guna (GSG) PT Gunung Madu Plantations (GMP). Saya, yang menjadi pengelola tabloid Tawon milik PT GMP, hadir pula di sana.
Pak Ruswandi Hasan hadir dalam acara itu, karena pada waktu itu beliau menjabat sebagai Bupati Mesuji. Di sela-sela waktu istirahat makan siang, saya menyempatkan diri menghampiri beliau. Hanya dalam waktu beberapa menit, saya dan Pak Ruswandi sempat saling menanya kabar. Kami sudah lama tidak berjumpa.
Pertemuan terakhir kami sebelum di acara Forkopimda tersebut adalah tahun 1995, di Lapangan Enggal Bandar Lampung. Kami yang sama-sama anggota Perguruan Tenaga Dalam Prana Sakti berjumpa di sana karena ada pembukaan latihan anggota baru oleh mendiang Guru Besar Drs. Asfanuddin Panjaitan.
Saya dan Pak Ruswandi Hasan kenal pertama tahun 1987, di Kalianda. Pada waktu itu beliau menjabat Kepala BKKBN Kabupaten Lampung Selatan. Dan, saya, adalah wartawan muda dari Harian Umum Lampung Post. Setelah mengikuti pelatihan jurnalistik selama kurang lebih 9 bulan, oleh pimpinan Harian Lampung Post, saya ditempatkan di Kalianda, ibukota Kabupaten Lampung Selatan.
Perkenalan antara seorang wartawan dengan seorang pejabat bukanlah hal luar biasa. Tetapi hubungan kami terjalin menjadi hubungan pribadi yang begitu kental. Beliau menganjurkan saya untuk ikut latihan tenaga dalam di Perguruan Tenaga Dalam Prana Sakti, “Kamu perlu menjaga diri dengan ilmu tenaga dalam. Pekerjaan kamu itu penuh resiko,” kata Pak Ruswandi kepada saya, suatu siang, ketika saya berkunjunga ke kantornya.
Hubungan kami, yang semula hanya hubungan wartawan dengan narasumber, makin lama makin akrab. Hubungan kami kemudian berubah seperti adik kakak. Saya yang semula memanggilnya “Bapak” berganti memanggil “kakak”, dan Pak Ruwandi cukup memanggil nama saya “Madjid” atau “Jid” saja.
Suatu ketika di tahun 1988, kurang lebih setahun setelah kami menjadi “saudara”, Pak Ruswandi berkata pada saya, “Jid, ini ada penerimaan calon PLKB (Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana). Kamu melamar aja, siapa tahu diterima. Pengangkatannya cepat. Kalau lulus tes, kamu menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) selama 6 bulan, setelah itu diangkat dengan status PNS 100%l.”
Mendengar tawaran tersebut, saya tertawa kecut. Saya merasa tidak mungkin bisa diterima jadi PNS, karena saya tidak punya uang untuk menyuap. Saya katakan pada beliau, “Saya gak punya uang Kak, apa mungkin saya diterima jadi PNS?”
“Dicoba dulu. Gak semua orang jadi PNS itu nyogok. Siapa tahu nasib kamu baik, bisa diterima tanpa nyogok,” kata Pak Ruswandi dengan nada agak marah.
Meskipun dengan perasaan bimbang, antara cinta dengan profesi wartawan dan tidak punya uang, saya akhirnya mengurus surat-surat untuk mendaftar PNS. Terus terang saya kurang berhasrat menjadi pegawai negeri, tetapi karena didesak Pak Ruswandi dan diimingi-imingi berbagai tunjangan dan uang pensiun kelak apabila pensiun, saya coba mengadu nasib.
Singkat cerita, saya lulus tes, dan diterima menjadi CPNS dan langsung bekerja. Saya ditempatkan di Kecamatan Sidomulyo. Beberapa bulan kemudian saya mengikuti penataran pra-jabatan. Tiga bulan kemudian saya menerima SK Pengangkatan sebagai PNS dari BAKN. Saya yakin ada campur tangan Pak Ruswandi memperjuangkan saya masuk jadi PNS, meskipun saya tidak mengeluarkan duit untuk menyogok.
Dua tahun setelah menjadi PNS di bawah pimpinan Pak Ruswandi Hasan, perasaan tidak cocok menjadi PNS semakin menggelitik hati. Jiwa saya selalu terpanggil untuk kembali ke dunia pers. Saya mengalami kesulitan beradaptasi dengan kehidupan PNS, terutama masalah disiplin waktu: jam 7.30 harus absen dan mengikuti apel pagi. Pulang pun demikian, ditentukan jamnya.
Saya juga tidak bisa bersikap sebagai bawahan terhadap Pak Ruswandi. Ketika masih wartawan saya biasa ngobrol bebas dengan beliau. Hal itu terbawa sampai saya menjadi PNS. Ketika beliau menginspeksi kecamatan kami, saya menemui beliau, bersalaman, lalu ngobrol seperti ketika saya masih wartawan. Hal itu membuat atasan saya Pengawas PLKB keki, dia menegur saya agar bersikap lebih hormat kepada Pak Ruswandi. “Saya tahu kamu bekas wartawan dan akrab dengan Pak Ruswandi, tetapi sekarang kamu itu bawahannya,” kata pengawas saya.
Suatu hari, dua tahun setelah saya jadi PNS, saya menghadap Pak Ruswandi Hasan. Saya menyatakan ingin mengundurkan diri dari PNS di jajarannya. Alasannya, saya tidak cocok menjadi PNS. Pak Ruswandi terkejut.
“Apa kamu gak salah ngomong..!?,” bentaknya.
“Gak Kak,” jawab saya.
“Tidak gampang orang menjadi PNS. Banyak orang mengikuti seleksi tidak lulus, dan banyak yang sanggup menyogok jutaan rupiah. Nah, kamu diterima jadi PNS tanpa nyogok, malah mau mengundurkan diri?” lanjutnya masih dengan nada tinggi.
“Saya beri kamu waktu satu bulan untuk berpikir. Sekarang pulanglah,” katanya menutup pembicaraan dengan saya.
Sebulan kemudian saya datang lagi masih dengan sikap dan pernyataan sebulan yang lalu. Karena merasa tidak kuasa melunakkan pendirian saya, akhirnya Pak Ruswandi meminta saya membuat surat permohonan mengundurkan diri. “Suratnya ditulis di kertas segel atau bermaterai,” katanya.
Saya mengikuti sarannya. Keesokan harinya saya sudah membawa surat pengunduran diri itu, lengkap dengan SK Pengangkatan yang asli untuk dikembalikan ke Negara. Pak Ruswandi hanya bisa geleng kepala seraya berkata, “Semoga kamu tidak salah pilih”.
Saya lalu kembali menggeluti profesi wartawan, tapi kali ini saya tidak lagi di lapangan. Harian Umum Lampung Post member saya posisi asisten redaktur karena ada pengembangan struktur organisasi.
Sejak mengundurkan diri itu, saya baru dua kali bertemu lagi Pak Ruswandi. Yang pertama seperti saya tulis di atas, yakni saat pembukaan latihan anggota baru Prana Sakti, tahun 1995. Dan, kedua tahun 2010 lalu, pada acara rapat koordinasi Forkopimda. Saat itu beliau sebagai penjabat bupati Mesuji.
Ketika meninggal, Kamis (15/9) sore, mantan pejabat Bupati Mesuji itu, dalam status sebagai salah satu calon bupati Mesuji yang akan mengikuti pilkada.
Drs. Ruswandi Hasan meninggal dunia di ruang HCU (High Care Unit) RS Bumi Waras Bandar Lampung. Menurut dokter yang merawatnya, almarhum menderita sakit ginjal dan paru-paru.
Selamat jalan Pak Ruswandi. Semoga Allah menerima amal ibadahnya dan mengampuni semua dosa-dosanya. Amiin