Kematian


Misterikah kematian? Bukan! Kematian bukan sebuah misteri, tetapi suatu kepastian dan nyata. Seperti disebutkan dalam kitab suci bahwa setiap yang mempunyai nyawa pasti mati. Saya, kamu, dan semua mahluk hidup di muka bumi ini, pasti mati.

Yang menjadi misteri bukanlah kematian, tetapi kapan kematian itu datang. Kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Yang tua belum tentu lebih cepat mati dari yang muda. Jika ada yang berani mengatakan bahwa dia tahu kapan seseorang akan mati. Maka, orang itu adalah pembohong. Disebutkan di dalam Al Quran, bahwa rejeki, jodoh, dan maut adalah mutlak hanya Allah yang tahu.

Hari Sabtu (24/9/2011), salah satu warga di kampung saya mendapat musibah ditinggal mati puterinya sematawayang. Anak berusia 4 bulan itu meninggal lantaran diare yang sudah diderita selama empat hari.
Ayah dan ibu si anak menangis tiada henti hingga tiada lagi air mata yang keluar, yang tinggal hanya sedu-sedan. Keesokan harinya, saat si bayi mau dikubur, ayah dan ibu masih berduka. Terlihat kesedihan mendalam di wajah si ayah. Sementara si ibu hanya bisa terkulai tak berdaya, duduk bersandar di pembaringan.

Mengapa mereka bersedih? Sedih karena anaknya pergi? Atau sedih karena mereka ditinggal?
Iya, iyalah, pasti bersedih dong! Namanya juga ditinggal mati anak satu-satunya.

Saya jadi teringat satu penggal tulisan mendiang Asmaraman S. Kho Ping Ho, penulis cerita silat cina. Dalam setiap judul ceritanya pasti ada ulasan tentang hidup dan mati, sedih dan gembira. Pesan-pesan penuh makna yang ditulisnya dikemas dalam bentuk dialog para tokoh dalam ceritanya.

Hidup dan mati, sedih dan gembira ibarat dua sisi mata uang. Keduanya tidak terpisahkan. Ada hidup, ada mati. Ada sedih, pasti ada gembira.

Pertanyaannya, mengapa kita bersedih? Apakah kita menangisi orang yang kembali ke pangkuan penciptanya? Ataukah kita menangis karena kehilangan?

Sebenarnya, yang kita tangisi adalah diri kita sendiri. Kita egois. Meratap karena orang yang kita kasihi pergi. Padahal, kita berduka karena orang yang membuat kita gembira, bahagia telah pergi. Sebenarnya kita memang egois. Yang dipentingkan hanya diri kita sendiri. Kita menangis bukan lantaran kasihan tehadap yang mati, tetapi menangisi diri sendiri.
Yang mati kembali kepada Yang Menciptakannya. Bayi adalah sesosok anak manusia belum bernoda. Dia lahir suci, dan kembali kepada Sang Khalik pun dalam keadaan suci. Dia akan bahagia hidup di alam sana. Ada yang menyayangi dan mengasihinya.

Nah, kita, orang tua yang ditinggal, mengapa harus bersedih? Bukankah anak kita bahagia di pangkuan Sang Pencipta? Tidak ada alasan untuk menangis, kecuali ego diri.

Rasa ego membuat kita lupa bahwa kita bukan siapa-siapa. Setelah merasa kehilangan, kita biasanya mencari kambing hitam untuk sasaran kemarahan, tak terkecuali tuhan. Buktinya, seorang ayah atau ibu, yang kehilangan anak kesayangan, akan menjerit “Tuhaaaannn! Mengapa kau ambil anak kamiiiii…?”. Sebuah teriakan tanpa rasa bersalah.
Padahal, jika kita mau introspeksi diri, kita ini adalah gudangnya dosa dan kesalahan. Mungkin Tuhan tidak mau hambanya yang suci bersih diasuh oleh seorang penuh dosa, sehingga si bayi diambil kembali.

Atau mungkin Tuhan memperingatkan kepada kita, bahwa Dia-lah yang maha berkuasa dan maha berkehendak terhadap seluruh hamba. Maka, Dia tunjukkan bahwa di tangan-Nya nyawa manusia berada. Dalam genggamannyalah nasib kita. Dan, kepada Dia-lah kita dan seluruh alam bergantung.

Terkadang, kita menjumpai banyak orang yang takut akan kematian lantaran dibayang-bayangi dosa. Tetapi, mereka tidak mau insyaf dan bertobat.

“Saya belum mengerjakan sholat karena belum ada panggilan,” ucap seorang tetangga saya. Masya Allah! Belum ada panggilan, katanya? Bukankan panggilan Allah itu berkumandang lima kali sehari dari masjid dan mushola?
Itulah salah satu bentuk kesombongan manusia. Dia merasa dibutuhkan oleh Sang Maha Pencipta, padahal dialah yang membutuhkan Tuhan. Dia tidak sadar bahwa kitalah para hamba yang membutuhkan Allah Yang Maha Agung
◄ Newer Post Older Post ►