Militer Israel: Bunuh Tentara yang Diculik!


Instruksi maut “Prosedur Hannibal” akan kembali dihidupkan militer Israel. Serdadu yang mati lebih baik daripada yang diculik, demikian instruksi itu.

GILAD Shalit tampaknya harus bersyukur. Dia diculik dan di bawa masuk ke Gaza oleh pejuang Palestina tanpa ada rekannya yang melakukan “Prosedur Hannibal”. Jika tidak, pasti cuma jenazah atau kerangkanya yang pulang.

Untuk mencegah “shalit-shalit” lain terjadi di masa depan, IDF (militer Israel) siap ‘menghidupkan kembali’ instruksi jahat “Prosedur Hannibal”. Instruksi ‘rahasia’ itu memerintahkan serdadu Israel menembak mati kamerad mereka yang ditangkap musuh. Atau singkatnya, seperti ditulis Uri Avnery, “Bebaskan serdadu dengan membunuh mereka.”

“Saya menyampaikan pesan ini dalam setiap diskusi tentang topik Gilad Shalit atau tawanan perang lainnya,” kata seorang komandan batalion infanteri seperti dikutip Harian Haaretz, 18 Oktober 2011.

“Tak boleh ada prajurit yang disandera, dalam situasi apa pun. Tentara kami harus melakukan yang terbaik untuk mencegah ini terjadi. Mereka (diperintahkan) untuk menembak kelompok penculik, bahkan jika itu berarti mereka harus membunuh rekan mereka. Para prajurit memahami itu sepenuhnya: mereka tidak bisa menjadi Gilad Shalit edisi selanjutnya.”

“Prosedur Hannibal” sangat bertentangan dengan klaim bahwa IDF “militer paling bermoral di dunia”. Instruksi itu juga tampak ganjil jika melihat bagaimana mereka merayakan pembebasan Shalit, yang ditukar dengan 1.027 tawanan Palestina. Israel dengan sangat antusias ingin menunjukkan, mereka lebih menghargai hidup daripada Palestina.

“Kami (Israel) kalah KO dalam kontes sadisme (dengan Palestina),” tulis Ynet, situs web paling populer di Israel, merujuk kepada pandangan mereka tentang betapa “primitif dan barbarnya” budaya Arab.

“Israel adalah bangsa yang unik,” kata PM Benjamin Netanyahu melukiskan pertukaran tawanan asimetris itu.

Di luar semua itu, sejatinya rezim Zionis tak pernah nyaman dengan warga atau serdadu yang diculik. Publik akan gaduh menuntut pembebasan, meskipun harus menukarnya dengan ratusan atau ribuan tawanan Palestina. Namun bagi militer, menuruti tuntutan itu sama saja dengan mendorong pejuang Palestina untuk menangkap orang Israel lebih banyak lagi.

Pilhannya hanya dua: jangan sampai tertangkap atau enyah dari muka bumi.

“Prosedur Hannibal” (Hannibal nama panglima perang terkemuka Kartago yang selama 15 tahun melawan Romawi dengan gagah berani) itu dirancang tiga perwira tinggi IDF Komando Utara, Yossi Peled, Gabi Ashkenazi, Yakov Amidror pada sekitar 1980-an.

Militer di seluruh dunia memiliki doktrin “never left behind” bagi anggota mereka yang ditawan musuh. Tapi Israel punya logika sendiri, yang tentu saja kontroversial.

“…lebih baik ditembak daripada ditahan Hizbullah,” kata Peled, yang kini menjadi menteri dalam kabinet Netanyahu, dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Haaretz Sara Leibovich-Dar pada 2003.

“Serdadu yang diculik akan menjadi masalah nasional dibandingkan yang mati terbunuh,” kata Kepala Staf IDF Shaul Mofaz, yang kini anggota parlemen Israel kepada Yedioth Ahronoth pada 1999.

Prosedur tersebut dikatakan berakhir pada 2003. Namun, beberapa pengamat percaya praktiknya masih berlangsung.

Dua tentara Israel yang ditangkap Hizbullah pada 2006 banyak dilaporkan tewas karena tembakan Israel sendiri. Penjelasan resmi pihak Israel tentang peristiwa itu dianggap tidak memuaskan. Dua tahun kemudian, Hizbullah mengembalikan kerangka dua serdadu itu, Ehud Goldwasser dan Eldad Regev kepada Israel, ditukar dengan kerangka 199 pejuang Palestina dan Lebanon plus 5 tawanan.
◄ Newer Post Older Post ►