“Skenario Hollywood” A la Holder

Jaksa Agung Amerika Serikat (AS) Eric Holder punya “gawe” baru pada Selasa (11/10). Bersama Direktur FBI Robert S Mueller, Holder mengumumkan sebuah tuduhan serius terhadap Iran. Negara Abang Sam itu menuduh Republik Islam berencana membunuh Dubes Arab Saudi di Washington.




Sebelumnya, Holder menjadi bulan-bulanan investigasi Kongres AS, terkait terbongkarnya operasi rahasia “Fast and Furious”. Operasi—yang dieksekusi Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api dan Bahan Peledak (ATF) di bawah Kementerian Kehakiman—itu menjual ribuan senapan serbu buatan AS kepada gangster narkoba Meksiko, sebagai umpan untuk menangkap mafia narkoba “kelas kakap”.

Namun sayang, operasi berantakan. Mafia tak tertangkap. Seorang agen pun tewas. Sekitar 1.400 pucuk senjata pun raib ke tangan organisasi kriminal.

Kini tampaknya Holder tak mau beranjak jauh dari gangster Meksiko yang telah ia beri senjata. Simak saja bagaimana dia menyusun dakwaan (unduh surat dakwaan di sini) yang menuduh Teheran terlibat dalam plot pembunuhan Adel Al-Jubeiri, dubes Saudi itu.

Tersebutlah--menurut dakwaan AS—seorang bernama Mansour Arbabsiar, penjual mobil bekas di Texas. Arbabsiar adalah orang Iran yang sudah menjadi warga AS selama puluhan tahun. Dia memiliki dua paspor, Iran dan AS. Dia dimintai tolong melakukan sebuah tugas suci negara oleh sepupunya di Iran—konon katanya perwira tinggi Brigade Al-Quds, unit elit Korps Garda Revolusi Iran. Tugas itu adalah menculik Dubes Saudi di AS dengan bantuan anggota kelompok kartel narkoba Meksiko.

Tak lama berselang, dia berhasil menemukan seorang anggota kartel narkoba di Meksiko. Dia tak menyadari bahwa orang itu adalah informan DEA, badan anti narkotika AS. Setelah bertemu beberapa kali, si informan DEA itu menawarkan rencana yang lebih gila, membunuh dubes dengan meledakkan sebuah restoran di New York sekaligus membom kedutaan Israel dan Saudi, baik di AS maupun di Argentina. Perubahan rencana itu dilaporkan dan disetujui oleh Gholam Shakuri, salah satu anggota Brigade Al-Quds.

Singkat cerita, kesepakatan pun dicapai. Arbabsiar dan “para bosnya” di Teheran harus membayar US$1,5 juta sebagai biaya aksi. Arbabsiar setuju dan menyatakan akan membayar US$100.000 sebagai uang muka. Uang muka pun mengalir dalam dua kali transfer dari rekening negara ketiga ke rekening samaran FBI di sebuah bank AS.

Namun, si informan kemudian meminta Arbabsiar membayar setengah dari US$1,5 juta atau Arbabsiar sendiri datang ke Meksiko untuk melunasi pembayaran. Dia sepakat untuk membayar penuh di Meksiko.
Maka, pada 28 September, Arbabsiar terbang ke Meksiko, tetapi ditolak masuk oleh aparat keamanan di sana. Arbabsiar dipaksa pulang ke AS. Dan di Bandara JFK New York, pada 29 September, dia dicokok agen federal AS.

Dari pengakuannya di hadapan agen itulah, semua kisah ‘sensasional’ di atas terbongkar: Iran berencana membunuh Dubes AS untuk AS dengan meledakkan restauran di kota padat penduduk itu. Tak cuma itu, rencana tersebut juga termasuk meledakkan kedutaan Saudi dan Israel di AS dan Argentina.

Sejumlah keganjilan
Sampai di sini, ditemukan keganjilan yang memunculkan sejumlah pertanyaan.

Pertama, siapa sebenarnya Mansour Arbabsiar?

Suratkabar San Antonio Express, Kamis (13/10), menampilkan profil pedagang mobil bekas itu. Laporan media yang terbit di South Texas itu cukup menggelikan. Dengan mewawancarai sejumlah rekan bisnis dan tetangga, San Antonio Express setidaknya memberi kita dua alasan mengapa Arbabsiar tidak bisa menjadi 007-nya Iran, atau negara ‘secanggih’ Iran bisa begitu bodoh mempercayakan misi superpenting kepada seorang Arbabsiar.

Berikut alasan tersebut.
  1. Arbabsiar dikenal sebagai orang sangat ceroboh dan pelupa. Para kolega bisnisnya menyebut dia kerap kehilangan kunci, melupakan tas dan dokumennya, termasuk surat-surat kendaraan yang dia jual! Bahkan, dia sudah ribuan kali kehilangan telepon genggam!
  2. Arbabsiar jauh dari profil seorang Muslim Syiah radikal. Nama panggilannya “Jack” karena dia tak pernah absen mencekik botol whiskey “Jack Daniel”. Tak cuma itu, jebolan Texas A&M University-Kingsville itu gemar merokok ganja dan ‘main perempuan’.

Anggaplah Brigade Al-Quds Iran memang pantas dimasukkan ke dalam daftar teroris AS. Namun, tudingan bahwa unit elit sekompeten itu—yang menurut pejabat AS sendiri mampu berulangkali mengelabui pasukan AS di Irak—memercayakan misi paling berbahaya kepada seorang pemabuk cum tidak kompeten seperti Arbabsiar adalah satu skenario paling buruk yang pernah dibuat Washington.

Terlebih, skenario di atas, menurut bekas agen CIA Robert Baer, tidaklah sesuai dengan gaya operasi Iran.

“Saya tidak berpikir itu (tudingan AS) kredibel. Itu sama sekali tidak sesuai dengan modus operandi mereka (Iran). Itu benar-benar keluar dari karakter mereka. Mereka jauh lebih baik daripada itu. Mereka tidak akan mentransfer uang melalui bank Amerika. Mereka tidak akan pergi ke kartel di Meksiko untuk melakukan hal itu. Itu bukan cara mereka bekerja. Saya sudah mengikuti mereka selama 30 tahun dan mereka jauh lebih berhati-hati. Mereka selalu menggunakan proksi antara mereka dengan operasi, tapi kali ini mereka tidak. Maksud saya, apakah mereka kali ini menembak kaki sendiri atau itu cuma (kisah) karangan,” kata Baer saat diwawancara BBC, Rabu (12/10).

Kedua, siapakah informan DEA yang dalam surat dakwaan hanya disebut CS-1 (confidential source)?
Tentu saja, karena statusnya sebagai informan agen federal, kita tak mungkin mengetahui dia lebih jauh. Namun, surat dakwaan memberi sedikit gambaran mengenai si CS-1.

Dia adalah ‘sumber terpercaya’ yang dibayar pemerintah AS. Sebelumnya, CS-1 adalah terdakwa sebuah kasus narkotika. Dia dibebaskan dari segala dakwaan karena mau bekerja sama dalam sejumlah investigasi kasus narkotika.

Ada dua pertanyaan yang bisa diajukan terkait dengan keberadaan si misterius CS-1. Pertama, seberapa jauh dia bisa dipercaya sebagai informan federal. Kedua, jika dilihat dari dakwaan, kuat kecenderungan CS-1 adalah orang yang sejak awal mengarahkan Arbabsiar terkait detail rencana, termasuk perubahan rencana dari penculikan ke pembunuhan dan penggunaan bahan peledak C4.

Dari sini, juga terdapat keganjilan, mengapa ‘elite’ Brigade Al-Quds menyetujui detail rencana aksi yang justru dibuat oleh seorang anggota gangster?

Keberadaan dan kredibilitas informan federal sempat dipertanyakan Kongres AS terkait amburadulnya operasi “Fast and Furious” yang melibatkan Holder. Seperti ditulis Charlie Savage, dalam The New York Times 18 Juli, sejumlah anggota Kongres mempersoalkan orang yang bertugas mengawasi penjualan senjata ke kartel obat bius Meksiko. Mereka menilai orang itu sulit dimintai pertanggungjawaban karena dia informan federal. Apalagi, Kementerian Kehakiman yang dipimpin Holder menolak untuk lebih jauh menjelaskan soal informan tersebut.

Keberadaan informan federal, khususnya FBI, juga banyak dipersoalkan karena justru merekalah yang kerap menginisiasi dan mengarahkan sejumlah rencana aksi teror, yang kemudian diklaim digagalkan FBI.
Salah satu contoh adalah rencana aksi pemboman sinagog di New York. Pengacara empat terdakwa, yang ditahan pada Mei 2009, mengatakan dugaan persekongkolan untuk membom sinagog itu diinisiasi dan diarahkan oleh seorang informan federal. Demikian dilaporkan NBC pada 5 April 2010.

Mereka mengatakan informan itu membujuk terdakwa hingga mereka terlibat dalam plot. Mereka mengatakan sang informanlah yang memilih target dan menyediakan bom serta rudal palsu untuk menembak jatuh pesawat. Dia juga berjanji membayar para terdakwa.

Pada 7 Februari 2008, majalah Rolling Stone, menurunkan laporan khusus bertajuk “The Fear Factory”. Dalam laporan tersebut, Rolling Stone memaparkan bahwa FBI yang memiliki lebih dari 100 satgas anti terorisme lebih sibuk melakukan operasi ‘sting’, yang menjebak warga AS, terutama Muslim, ke dalam plot teror. Menurut Rolling Stone, dari 619 kasus terorisme, hanya 10 persen yang secara meyakinkan berkaitan dengan dakwaan terorisme. Dalam nada bertanya, majalah itu menyimpulkan, FBI justru ‘lebih sibuk’ menciptakan “hantu teror” di AS.

Laporan lain mengenai keterlibatan mencurigakan agen samaran dan informan federal juga diangkat sejumlah media investigasi, seperti Mother Jones (“The Informants”, September/Oktober 2011) dan Talking Point Memos (“The Five Most Bizarre Terror Plots Hatched Under The FBI’s Watch”, 3 Oktober 2011).
Dengan demikian, tidaklah salah jika ada alasan untuk berpikir lain. Arbabsiar sangat mungkin menjadi salah satu korban perangkap agen federal. Plot teror yang didakwakan kepadanya cenderung lebih banyak diinisiasi pelaku kriminal obat bius yang kini menjadi informan bayaran pemerintah AS itu.

Ketiga, bagaimana bisa pemerintah AS secara serampangan langsung menuduh pemerintah Iran—atau setidaknya elemen dalam pemerintahan Iran—terlibat dalam plot teror tersebut?

Ada dua argumen yang bisa dijadikan dasar.

Pertama, munculnya nama Gholam Shakuri, yang disebut dalam surat dakwaan diklaim sebagai “anggota Brigade Al-Quds” dan “sepupu” (tidak disebutkan namanya) Arbabsiar yang diklaim sebagai “perwira tinggi Garda Revolusi”.

Persoalannya, kedua nama itu muncul dari pernyataan yang diklaim sebagai ‘pengakuan’ Arbabsiar dan dari rekaman pembicaraan antara CS-1 dengan Arbabsiar. Lantas, bagaimana Washington bisa memverifikasi bahwa “Gholam Shakuri” dan sang “sepupu” adalah anggota Brigade Al-Quds? Apakah kedua orang tersebut menjelaskan detail identitas mereka kepada Arbabsiar dalam pembicaraan telepon yang disadap? Agak tidak mungkin hal itu dilakukan mengingat, seperti diklaim surat dakwaan, ketiganya sudah saling mengenal.

Jadi, satu-satunya saksi dalam hal ini hanya Arbabsiar, yang profilnya—sebagaimana dijelaskan di atas—meragukan.

Persoalan lainnya, kalaupun benar kedua orang itu anggota Brigade Al-Quds, apakah hal itu bisa langsung menjadi bukti “prima facie” keterlibatan Teheran. Sebagai sebuah analogi, jika seorang anggota militer AS atau CIA merencanakan pembunuhan di negara asing dan mengklaim dia diperintah, tapi pemerintah AS kemudian membantah, apakah bisa Washington langsung dituduh merencanakan sebuah plot teror?
Kedua, bukti dua kali transfer ke rekening samaran FBI di sebuah bank AS. Transfer itu jelas tidak berasal dari rekening Iran karena sanksi AS terhadap bank Iran. Surat dakwaan pun menyebut transfer berasal dari rekening negara ketiga. Lantas, bagaimana Washington bisa memverifikasi bahwa rekening di negara ketiga itu dimiliki pemerintah Iran?

Keempat, apa yang keuntungan dan kerugian Iran dari pembunuhan terhadap Dubes Saudi?
Banyak ahli tentang Iran dan Timur Tengah berpendapat bahwa Iran tak akan memperoleh apa pun dari rencana membunuh Dubes Saudi di Washington. Malah Teheran akan semakin menghadapi sanksi yang lebih keras dan tentu saja menghadirkan kemungkinan serangan militer semakin dekat. Kecuali para hawkis, pendukung Israel, dan anti-Iran yang kembali menabuh genderang perang, mereka yang waras akan berpikir bahwa terlibat dalam upaya pembunuhan tersebut bukanlah kepentingan strategis Iran.

Dalam artikel di situs CNN (14/10), “Iranian Plot and American Hubris”, dua ahli terkemuka AS tentang Iran, Flynt dan Hillary Leverett, menulis, bahwa dalam konteks politik kekinian, gagasan Teheran untuk membunuh Dubes Saudi di AS tidaklah logis. Duo Leverett memandang, Teheran lebih mengedepankan politik “soft power”. Iran lebih cenderung menarik dukungan publik dunia, dengan memanfaatkan kemarahan atas tindakan Israel dan AS yang melampaui batas dalam perang melawan teror.

“Teheran melihat opini publik sebagai sekutu utama. Dengan menunjukkan kontras antara kerjasama beberapa rezim dengan AS dan Israel dan postur resistensinya melawan ambisi AS-Israel untuk hegemoni regional, Teheran memupuk ‘soft power’ di Timur Tengah,” tulis duo Leverett.

Memburuknya citra AS di mata publik dunia dan muncul “Musim Semi” Arab, menurut Leverett, justru semakin menunjukkan ketidaklogisan tuduhan AS tersebut. Arab Saudi kini semakin dipandang sebagai negara kontrarevolusi di Timur Tengah. Iran saat ini sebaliknya sedang menikmati dukungan dan simpati publik di kawasan. Alhasil, rencana membunuh Dubes Saudi malah akan membalikkan posisi saat ini. Jelas ini bukan kepentingan strategis Iran.

Bahkan, menurut Leverett, selama 1980-1988, ketika Republik Islam harus membela diri terhadap perang agresi yang dilancarkan Saddam Hussein—yang dibiayai Arab Saudi—Teheran tidak pernah menargetkan seorang Saudi pun di mana pun di dunia.

“Membunuh Dubes Saudi akan memiliki efek sebaliknya. Apa pun yang mungkin telah dikatakan Mansour Ababsiar dan sepupunya, sepenuhnya tidaklah masuk akal bahwa Iran memutuskan ini merupakan hal cerdas untuk dilakukan.”

Melihat tuduhan yang sangat lemah tersebut dan “ngototnya” pemerintah dan Kongres AS untuk menghukum Iran, termasuk sikap Saudi yang malah memanaskan situasi, skenario Hollywood a la Holder tersebut bak déjà vu dari skenario Scotter Libby yang dibacakan begitu percaya diri oleh Menlu Colin Powell di hadapan DK PBB.

AS saat itu menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal (WMD). Publik dunia pun “dikibuli”. Agresi digelar. Jutaan orang jadi korban. Dan kini, kisah WMD Irak pun menjadi salah satu “Hoax” di Abad ke-21.
◄ Newer Post Older Post ►