Revolusi "Jilid II" di Mesir Buat Pusing Obama dan Erdogan


Erdogan dan Obama (asbarez)
LEDAKAN protes massal di Lapangan Tahrir, Kairo, Mesir, sudah memasuki hari ketujuh sejak 18 November. Protes yang menuntut turunnya junta militer Mesir itu telah menempatkan Amerika Serikat dan Turki di ujung tanduk dilema.

Hal itu diungkapkan oleh MK Bhadrakumar, kolumnis Asia Times yang juga mantan diplomat India selama tiga dekade untuk Pakistan, Afghanistan, Iran, dan negara bekas Uni Soviet.

Di satu sisi, Washington memiliki pengaruh besar terhadap militer Mesir. Lima miliar dolar AS mengalir sebagai bantuan militer setiap tahunnya. Di sisi lain, AS tak bisa membiarkan militer diamputasi dari kekuasaan di Mesir. Sebab, oposisi demokratis didominasi kekuatan yang berada di luar pengaruh AS.

Washington cemas kekuatan oposisi mengubah apa yang selama ini dipertaruhkan pada Kairo: perjanjian damai dengan Israel serta oposisi terhadap Hamas dan Iran. Singkatnya, menurut Bhadrakumar, kepentingan geopolitik AS akan sangat terjamin jika perubahan demokratis di Mesir tetap berada dalam kendali militer.

Sementara itu, Turki pun berada pada posisi yang sama canggung dengan AS, meski dalam perspektif berbeda.

Menurut Bhadrakumar, militer Mesir tertarik dengan konstitusi “gaya Turki”, dimana militer diposisikan sebagai penjaga sekulerisme. PM Turki Recep Tayyip Erdogan dua bulan lalu mengunjungi Kairo. Di sana, dia menasehati Mesir untuk mengikuti jalan sekuler, seperti halnya Turki.

Ikhwanul Muslimin merespon. Mahmoud Ghuzlan, jurubicara Ikhwanul Muslimin, menyebut pernyataan Erdogan sebagai bentuk intervensi terhadap urusan internal Mesir. Essam El-Erian, wakil ketua Partai Kemerdekaan dan Keadilan (partai Ikhwanul Muslimin), mengingatkan Erdogan agar tidak mencoba mendominasi politik di Timur Tengah. Kelompok Islam lain juga bergabung mengkritik pernyataan Erdogan.

Bagi Bhadrakumar, apa yang terjadi di Mesir saat ini akan menghasilkan konsekuensi penting bagi politik di Timur Tengah. Obama dan Erdogan harus menggelengkan kepala mereka. Keduanya sudah kehilangan kata-kata. Erdogan kini lebih suka berbicara tentang Suriah. Sekutu mereka di Teluk juga akan merasa tidak nyaman ketika angin revolusi kedua dari Mesir akhirnya akan benar-benar menggoyang oligarki di sana.
◄ Newer Post Older Post ►