Atmosfer di wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah lain karena berada dalam garis khatulistiwa dan terletak di antara dua benua dan dua samudera.
Posisi khusus ini menjadikan Indonesia dianggap sebagai salah satu mesin pembangkit utama terjadinya perubahan iklim global, seperti peristiwa La Nina dan El Nino, yang berkaitan dengan musim basah dan musim kering yang melebihi batas normal.
Untuk itu, Lembaga Penerbangan Antariksa nasional (LAPAN) bekerjasama dengan Research Institute for Sustainable Humonsphere (RISh) Universitas Kyoto Jepang mengembangkan Equatorial Atmosphere Radar (EAR).
Radar ini digunakan untuk mempelajari dinamika atmosfer yang merupakan lapisan pelindung bumi. Dengan mempelajari semua fenomena yang terjadi dalam lapisan atmosfer, hasilnya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mengantisipasi cuaca ekstrim ataupun hal lainnya.
Untuk itu, Lembaga Penerbangan Antariksa nasional (LAPAN) bekerjasama dengan Research Institute for Sustainable Humonsphere (RISh) Universitas Kyoto Jepang mengembangkan Equatorial Atmosphere Radar (EAR).
Radar ini digunakan untuk mempelajari dinamika atmosfer yang merupakan lapisan pelindung bumi. Dengan mempelajari semua fenomena yang terjadi dalam lapisan atmosfer, hasilnya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mengantisipasi cuaca ekstrim ataupun hal lainnya.
“Radar ini mampu mendeteksi sesuatu di atmosfer yang paling rendah, mulai dari 2 kilometer sampai ratusan kilometer,” kata Thomas Djamaluddin, Deputi LAPAN, di sela Simposium Internasional EAR, di Jakarta, 22 September 2011.
Thomas menyebutkan, kemampuan deteksi radar ini mencakup segala fenomena yang terjadi dalam lapisan atmosfer. “Radar ini merupakan salah satu pemantau iklim global, khsususnya di kawasan khatulistiwa,” ucapnya.
Secara teknis, spesifikasi radar ini terdiri dari 560 buah alat dalam satu rangkaian yang diletakkan pada ketinggian 865 meter di atas permukaan laut. Ia menggunakan frekuensi 47.0 MHz dengan power 100 Kwh. Terdiri dari dua bagian, antena tegak serta modul transmisi.
EAR juga merupakan pengembangan dari Boundary Layer Radar (BLR). Kelebihan radar ini dibanding dengan radar lain adalah menggunakan antena putar yang mampu menembak ke segala arah, asalkan dalam radius 30 derajat dari sumbu vertikal.
“Radar ini mampu menembak ke objek di segala arah dalam cakupan sudut 30 derajat, dengan radius sampai 120 kilometer,” kata Eddy Hermawan, peneliti Radar LAPAN. “Selain itu, radar ini bekerja dalam cakupan menit, jadi menganalisa setiap fenomena dalam atmosfer tiap menit,” ucapnya.
Dengan kemampuan tersebut, radar bermanfaat untuk menganalisa terjadinya fenomena ekstrem seperti gempa dan tsunami. “Bisa untuk peringatan dini gempa dan tsunami secara real, resolusinya per 2-3 menit, tidak per jam,” tambah Eddy.
Menurut Eddy, radar ini bahkan mampu memprediksi kapan gempa akan terjadi. Namun demikian, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membandingkan dan melakukan analisa kasus per kasus. Selain itu, alat ini juga dirancang untuk mendeteksi perilaku arah dan kecepatan angin dalam tiga dimensi dari lapisan 1,5Km sampai 20Km.
“Alat ini mampu membaca pergerakan angin timur barat, khsusunya sirkulasi Walker yang merupakan salah satu parameter penting dalam dugaan datangnya ENSO (El Nino and Southern Oscillation),” kata Eddy. “Sehingga, alat canggih ini juga mampu menganalisa kapan akan terjadi musim basah kepanjangan maupun musim kering panjang,” ucapnya.
Selain itu, alat ini juga bermanfaat untuk mengantisipasi arah dan kecepatan angin baik sebelum maupun sesudah peristiwa kabut asap tebal terjadi, hal serupa juga bisa diterapkan saat kebakaran hutan. Lebih lengkap lagi, alat ini mampu menjadi solusi masalah penyebaran pestisida yang memerlukan arah dan kecepatan angin.
Radar yang dipasang di Kotatabang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia juga merupakan radar terbesar dan terlengkap ketiga setelah radar MST (Mesosphere Stratosphere Troposhphere) di Peru dan India.
Sumber : VivaNews