Dalam pertunjukkan “dog and pony”-nya, duo pejabat Amerika di Irak, Petraeus dan Duta Besar Ryan Crocker, mencoba meyakinkan Senat tentang peran destruktif pemerintah Iran di Irak. Menurut keduanya, Iran telah “memicu berbagai kekerasan belakangan ini, dalam sebuah cara yang menghancurkan melalui dukungan mematikannya bagi kelompok-kelompok khusus.” Kelompok-kelompok khusus ini “didanai, dilatih, dipersenjatai, dan diarahkan oleh Pasukan Elit Iran al-Quds dengan bantuan dari Hizbullah. Kelompok-kelompok inilah yang meluncurkan roket-roket dan mortir-mortir Iran di sekitar Zona Hijau (markas Amerika di Irak)…menyebabkan kematian warga sipil yang tak berdosa dan ketakutan di ibukota (Baghdad),” kata Petraeus.
Senator hawkish Joe Lieberman bertanya seraya mencoba mengarahkan suatu kesimpulan, “Apakah fair untuk mengatakan bahwa kelompok-kelompok khusus yang didukung Iran di Irak bertanggung jawab atas pembunuhan ratusan tentara Amerika dan ribuan tentara dan warga sipil Irak?”
Petraeus menjawab, “Itu pastinya…itu betul.”[1]
Sekali lagi, “America is under attack!” Namun, kali ini, bukan Gedung WTC yang menjadi setting lokasinya dan bukan pula al-Qaeda yang menjadi penjahatnya, tetapi Iran yang konon membunuhi pasukan Amerika di Irak. Sebuah dalih baru untuk menggelar kejahatan perang lainnya di teater Timur Tengah: Iran telah menyerang kepentingan Amerika meskipun kepentingan yang dimaksud terletak ribuan mil dari garis Pantai Florida. Dan, George W. Bush tahu benar akan hal itu ketika tampil di televisi dengan menyatakan:
“Jenderal saya di Irak, David Petraeus, telah mengatakan kepada saya bahwa Iran, dengan sepengetahuan Presiden Ahmadinejad, telah menjadi tempat perlindungan istimewa bagi dua organisasi teroris—Hizbullah dan Pasukan al-Quds dari Garda Revolusi Iran—untuk melatih, mempersenjatai, dan mengarahkan serangan-serangan teroris terhadap pasukan-pasukan AS dan koalisi…maka saya telah memerintahkan angkatan udara dan laut AS untuk memulai serangan udara terhadap basis-basis teror tersebut[2].”
Dalih Baru: “Perang Proksi” di Irak
Menurut Gareth Porter, jurnalis dan sejarawan kawakan Amerika, tujuan utama kesaksian Petraeus dalam dengar pendapat Kongres adalah membela garis kebijakan sang bos, Bush, bahwa Amerika kini tengah memerangi “Perang Proksi” yang dilancarkan Iran di Irak dengan memunculkan istilah baru, “Special Groups”[3].
Dan “Special Groups”, yang dimunculkan sebagai musuh baru Amerika, dihubungkan dengan pemerintah Iran melalui Pasukan al-Quds dan Hizbullah. Sebutan “Special Groups” hanya muncul sekali dalam kesaksian Petraeus dan Crocker pada September tahun lalu—ketika al-Qaeda di Irak masih dipandang sebagai ancaman nomor satu—dan itu pun hanya rujukan selintas sang Jenderal kepada sebuah pertanyaan. Namun dalam kesaksian terakhir, istilah itu tercatat 16 kali disebutkan Petraeus dan Crocker[4]. “Special Groups” ditafsirkan oleh Petraeus sebagai para milisi yang split dari Tentara Mahdi-nya Muqtada Shadr karena pengaruh Iran.
Pada April 2007, pasukan AS menahan bekas juru bicara Shadr, Qais al-Khazali yang kemudian Petraeus tahbiskan sebagai “pemimpin jaringan sel rahasia, sel rahasia para ekstrimis.” Dan, sel itu pun sejak saat itu memiliki nama “the Khazali Network”. Juli 2007, kini giliran Brigadir Jenderal Kevin Bergner yang punya gawe. Bergner menyimpulkan bahwa “the Khazali Network” adalah “Special Groups” yang didanai, dilatih, dipersenjatai, dan dalam beberapa kasus bahkan “diarahkan” oleh Garda Revolusi Iran. Tak lupa, Jenderal berbintang satu itu juga mengatakan bahwa Iran menggunakan operator-operator Hizbullah dari Lebanon untuk mengorganisasi kelompok-kelompok itu.
Duta Besar Crocker juga tidak mau ketinggalan. Pada Maret 2008, ia menolak bahwa pasukan yang melakukan resistensi bersenjata terhadap pasukan koalisi di Basrah adalah tentara Mahdi pimpinan Shadr. “Apa yang kalian lihat di sana bukanlah sebuah pemberontakan oleh Jays al-Mahdi. Itu adalah pecahan dari Jays al-Mahdi, yang disebut ‘Special Groups,’” kata Crocker.
Namun, identifikasi siapakah “Special Groups” ini kerap membingungkan. Pada 30 Maret 2007, Mayor Jenderal Michael Barbero dari Staf Gabungan AS, dalam sebuah press briefing, menyatakan bahwa Khazali masih menjadi bagian dari organisasi yang dipimpin Shadr. Yang lebih signifikan, klaim tentang “the Khazali N etwork” sebagai “Special Groups” yang membelot dari Tentara Mahdi, kemudian malah dibantah ulama muda Syiah itu sendiri. Dalam wawancara dengan stasiun televisi al-Jazeera, Shadr menuntut pembebasan Qais Khazali yang disebutnya sebagai bagian dari Tentara Mahdi, dari penjara AS di Irak.
Hingga di sini, menurut Porter, jelas bahwa Khazali tidak pernah membelot dari Shadr, dan bahwa “Special Groups” yang didukung Iran tidak pernah ada.
Bagi Porter, selain bertujuan mendemonisasi Iran, pemunculan istilah “Special Groups” yang didukung Iran, juga diarahkan untuk memecah-belah Tentara Mahdi, yang posisinya di mata rakyat Iran semakin populer, dimana pemimpinnya, Muqtada Shadr, juga dianggap ancaman bagi operasi pendudukan Amerika di Irak. Analisis Porter didukung Bill Roggio, analis militer pro-perang yang mempunyai relasi dekat dengan para komandan Amerika di Irak. Menurut Roggio, garis utama kebijakan tentang “Special Groups” yang dikendalikan Tehran adalah untuk memfasilitasi strategi Petraeus dalam memecah-belah Tentara Mahdi. Cerita tentang elemen-elemen yang membelot membuat para pejuang dan komandan Tentara Mahdi harus memilih antara dua pilihan: melawan Amerika dan pemerintahan al-Maliki tetapi akan dipandang sebagai “kaki-tangan” orang Persia atau mundur dan tunduk kepada proses politik[5].
Invasi atas Iran
Tentu saja tujuan akhir dari kesaksian Petraeus dan Crocker adalah menyediakan basis argumen bagi rencana Bush, sang utusan Yesus, untuk menggebuk satu negara lagi, yang menurutnya menjadi bagian dari “poros setan”. Editor The New American Conservative yang juga bekas kandidat presiden Partai Republik, Patrick J. Buchanan, kini pemerintah Bush setidaknya punya dua sarana untuk memuaskan hasrat melakukan ekspansi ke Iran. Pertama, ditariknya sebuah resolusi yang akan mengingkari autoritas Bush menyerang Iran tanpa persetujuan Kongres oleh Pemimpin Mayoritas di Kongres, Nancy Pellocy. Kemurah-hatian Kongres ini memberi Bush sebuah cek kosong bagi perang terhadap Iran. Kedua, tentu saja adalah kesaksian Petraeus, komandan tertinggi militer AS di Irak, bahwa Iran “telah menyerang kepentingan Amerika” di Irak[6].
Tentang wewenang Bush menyerang Iran tanpa persetujuan Kongres, anggota Kongres dari Republik, yang juga kandidat presiden yang diusung kalangan progresif di Amerika, Ron Paul bertanya sengit kepada Petraeus:
“Menurut pandangan anda, apakah pemerintah (Bush) punya autoritas untuk membom Iran tanpa persetujuan lebih lanjut dari Kongres,” tanya Ron Paul kepada Petraeus.
“Uh, anggota Kongres, saya komandan di Irak, dan saya tidak tahu, uh, jawaban bagi pertanyaan itu, itu bukan dalam cakupan pemahaman saya,” jawab Petraeus; sebuah jawaban yang mengungkapkan betapa dirinya sama tidak kompetennya dengan Bush, dan pastinya sama berbahayanya.
Dan, Ron Paul dengan cerdas merespon, “Well, ini sangat jelas, di bawah konstitusi kita, dan begitulah cara kerjanya—bahwa kita diharapkan berdiskusi dengan Kongres. Dan (kebijakan) ini akan memperluas perang. Kita tahu…bagaimana perang meluas di Vietnam tanpa persetujuan Kongres, dan apa yang menyebabkannya. Jadi, ini tampak bagi saya bahwa…pemerintahan ini tidak mempunyai autoritas untuk membom negara lain tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Kongres. Jadi, sangatlah mengganggu bagi saya bahwa kita tidak mendapatkan jawaban ‘tidak’ yang jelas bagi pertanyaan ini[7].”
Tanda-tanda bahwa Bush akan mengisi cek kosong yang disediakan Kongres baginya mulai tampak dalam beberapa pekan terakhir. Allen R. Roland, kolumnis politik pada acara “TruthTalk” di radio nasional Conscioustalk, menulis bahwa panggung teater perang terhadap Iran tengah dipersiapkan dalam beberapa pekan terakhir. Roland menyimpulkan beberapa indikasi ke arah itu:
- Kesaksian Jenderal Petraeus di hadapan Kongres yang menyajikan dalih bagi perang dengan Iran. Kesaksian Petraeus akan semakin meningkatkan posisi McCain di kancah pemilihan presiden, sementara Barack Obama dan Hillary Clinton akhirnya tampak harus memperbaiki argumen mereka tentang Irak demi mempertahankan posisi.
- Retorika konfrontatif Bush dan Dick Cheney dalam berbagai kesempatan, meskipun mayoritas rakyat Amerika sudah merasa tidak puas dengan pemerintahan ini.
- Disingkirkannya Jenderal William “Fox” Fallon dari posisi Kepala Staf Gabungan militer AS. Fallon terkenal dengan oposisinya terhadap kebijakan ekspansi perang pemerintahan Bush.
- Merapatnya sejumlah kapal induk Angkatan Laut Amerika di posisi strtaegis di Teluk Persia dan perairan Lebanon.
- Berbagai upaya Israel mempersiapkan warganya bagi suatu perang yang lebih besar[8].
Mungkin ada yang berpikir bahwa dugaan Amerika akan menyerang Iran hanyalah hasil rekaan para pengusung teori konspirasi. Tidak juga. Anggota kongres, seperti Ron Paul atau John Conyers, Jr., percaya Bush-Cheney tengah mempersiapkan sebuah serangan atas Iran. Beberapa pekan yang lalu, sumber di Kementerian Luar Negeri dan Intelijen Rusia menyatakan bahwa pada pertemuan NATO di Rumania, para pejabat Amerika mempresentasikan kepada Presiden Putin detail sebuah rencana serangan terhadap fasilitas-fasilitas nuklir Iran. dalam ‘tawarannya’ kepada Putin, Amerika meminta Rusia tetap netral dalam konflik tersebut dengan imbalan bahwa NATO akan menolak keanggotaan Ukraina dan Georgia serta membatalkan rencana membangun sistem pertahanan rudal di Polandia dan Republik Ceko[9].
Sebuah sumber ternama di komunitas Yahudi Amerika juga percaya bahwa sebuah serangan militer terhadap Iran bukan semata pilihan terakhir, tetapi juga suatu kemungkinan besar. Kepada Newsmax, sumber itu mengatakan bahwa keyakinannya didasarkan pada sedikitnya tiga indikasi: [1] persiapan Israel dalam menghadapi konflik yang lebih besar; [2] kunjungan 9 hari Dick Cheney ke berbagai negara Teluk; dan [3] latihan perang terbesar yang pernah dilakukan Israel minggu lalu. “(Perang) ini akan menghancurkan bangsa Iran,” kata sumber itu.
Terlepas dari semua dugaan di atas, William Arkin dari Washington Post menganalisis bahwa dalam kalkulasi militer, Amerika hampir tidak mungkin melakukan invasi ke Iran. Terkonsentrasinya kekuatan pasukan AS di Irak dan Afghanistan serta terbatasnya logistik karena resesi membuat kebijakan ekspansi militer nyaris mustahil bagi Bush; sebuah analisis yang rasional meskipun, patut diingat, Bush kerap emoh terhadap segala yang rasional.
Petraeus atau “Betray-us”
Berbeda dengan Petraeus, baik Porter maupun Buchanan melihat bahwa Iran sama sekali bukan ancaman, bahkan dalam konteks Irak, Tehran justru memainkan peran yang lebih positif ketimbang Amerika sendiri.
Selain bantuan bagi besar rekonstruksi Irak, sebagaimana dilaporkan Leila Fadel, Kepala Biro Baghdad McClatchy Newspapers, Iran berperan besar dalam memediasi gencatan senjata antara Tentara Mahdi dan pemerintahan Al-Maliki untuk mengakhiri krisis Basrah; sesuatu yang sama sekali jauh dari gambaran “perang proksi” yang dipotret Amerika. Fadel melaporkan bahwa Brigjen Qassem Suleimani, komandan Brigade al-Quds Garda Revolusi Iran menjadi mediator gencatan senjata dengan Muqatada Shadr setelah pihak-pihak yang bertikai bertemu di Qum pada 29-30 Maret. Hasil pertemuan itulah yang mencorong Shadr mengumumkan maklumat gencatan senjata kepada para milisinya[10].
Kesaksian Petraeus berikut retorika konfrontatif Bush-Cheney, menurut editor antiwar.com Justin Raimondo, memperlihatkan bahwa Amerika tidak memiliki keinginan untuk melihat Iran muncul sebagai entitas yang independen dan kuat, yang bagaimanapun mensyaratkan hengkanya Amerika dari negeri Mesopotamia itu. Apa yang Amerika inginkan adalah sebuah negara yang serba hancur-hancuran: kepemimpinan yang lemah dan disintegrasi populasi Irak—semuanya benar-benar merasionalisasi kehadiran militer AS di sana dan menyajikan dalih bagi perang dengan Iran[11].
Dalam konteks demikian, dan di tengah tumbuhnya ketidakpuasan publik Paman Sam terhadap pemerintahan Bush dan tuntutan mereka agar Bush segera menarik mundur pasukan AS dari Iran, maka kesaksian Petraeus, dan kebijakan Bush—yang mendorong penambahan pasukan dan ekspansi operasi militer—jelas mengkhianati aspirasi publik Amerika. Tak salah kiranya jika para aktivis anti-perang mengolok-olok Petraeus dengan “Betray-us”.[1] Dana Milbank, “Special Groups Pose Special Problems”, the Washington Post, 8 April 2008.
[2] Patrick J. Buchanan, “Petraeus Points to War with Iran”, http://www.antiwar.com/pat/?articleid=12673
[3] Gareth Porter, “Petraeus Testimony to Defend False ‘Proxy War’ Line”, http://www.antiwar.com/porter/?articleid=12649
[4] Dana Milbank, “Special Groups Pose Special Problems”, the Washington Post, 8 April 2008.
[5] Bill Roggio, “Dividing the Mahdi Army”, the Long War Journal, 27 February 2007.
[6] Patrick J. Buchanan, “Petraeus Points to War with Iran”, http://www.antiwar.com/pat/?articleid=12673
[7] Dan Alba, “Petraeus Self-demotion”, Libertarian, 11 April 2008.
[8] Allen R. Roland, “Countdown to Attack Iran Begins This Week”, OpEdnews, * April 2008.
[9] Lihat Paul Craig Roberts, “A Third American War Crime in the Making”, Information Clearing House, 31 Maret 2008.
[10] Leila Fadel, “Iranian General Played Key Role in Iraq Cease-fire”, McClatchy Newspapers, 30 Maret 2008.
[11] Justin Raimondo, “Endless Enemies”, http://www.antiwar.com/justin/?articleid=12663