Kasus thiwul yang diduga penyebab kematian enam anggota keluarga Jamhamid di Mayong, Jepara beberapa waktu lalu (Berita pada harian Suara Merdeka, Jateng) dapat menimbulkan implikasi yang luas. Salah informasi dapat berimbas pada salah persepsi khalayak tentang thiwul dapat mengamcam ketahanan pangan masyarakat tingkat rumah tangga dan menghambat implementasi Perpres No. 22/ 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Hal yang paling tidak diharapkan adalah jika thiwul divonis sebagai makanan yang tidak aman, sehingga harus dihindarkan dari menu masyarakat Indonesia, khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta bagian Selatan.
Penyebab tewasnya saudara kita itu sejauh ini masih diselidiki. Dugaan sementara akibat senyawa toksik HCN yang merupakan racun alami ketela tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan toksin yang dihasilkan mikroflora liar atau bakteri yang tumbuh dari bahan baku yang kurang baik, atau bisa pula karena kontaminasi racun eksternal. Jangan kambinghitamkan thiwul dan kemiskinan. Sebab keracunan dapat terjadi dari makanan apa saja. Yang paling perlu diperhatikan sesungguhnya adalah, kualitas bahan baku dan proses yang memenuhi standar keamanan yang baik.
Diketahui thiwul adalah makanan tradisional yang berbahan baku utama tepung gaplek. Gaplek berasal dari singkong (Manihot utilissima sp) dari varietas apapun yang diawetkan melalui tahapan pembuangan kulit (pengupasan) dan pengeringan hingga kadar air maksimal 14%. Beberapa perbaikan proses dilakukan melalui pengecilan ukuran menjadi chip dan sawut serta proses fermentasi sebelum pengeringan. Dengan proses fermentasi akan diperoleh produk yang disebut cassava fermented flour atau yang lebih populer disebut tepung mocal (modified cassava flour) yang memiliki sifat –sifat fisik tepung dan sifat organoleptik produk yang jauh lebih baik.
Thiwul dibuat melalui tahapan proses penggilingan dan pengayakan sehingga diperoleh tepung gaplek, selanjutnya pada tepung gaplek ditambahkan sedikit air untuk membantu pembentukan granulasi (butiran-butiran). Pada tahapan ini dapat ditambahan bahan pangan lain, seperti tepung kacang tunggak, gude, terigu, gula, bahkan bahan tambahan pangan (food additive) seperti perisa (flavoring) dan pengawet, sebelum kemudian dikukus (steaming). Thiwul selanjutnya disajikan sebagai makanan pokok sebagaimana nasi atau makanan kudapan (makanan selingan).
Tujuan penambahan bahan pangan lain (diluar gaplek) adalah untuk meningkatkan nilai gizi dan penciptaan citarasa thiwul yang memenuhi selera konsumen. Sebagai perbandingan thiwul tradisional (tanpa penambahan bahan pangan lain) nilai nutrisinya rendah, yakni untuk tiap 100 gram thiwul mengandung rata-rata 1,5 % protein, 0,7 % lemak, 80 % karbohidrat dan 4-10 % gula, dengan memodifikasi dengan menambah bahan pangan lain semisal kacang-kacangan mampu meningkatkan nilai protein hingga 5 %, lemak 1-5 %, dan karbohidrat turun menjadi 76-80%, sementara nilai nutrisi nasi putih rata-rata 3,1% protein, 0,1 % lemak dan 65-70% karbohidrat. Jelas thiwul makanan yang cukup baik, apalagi bila difortifikasi dengan berbagai unsur mineral mikro dan vitamin sebagaimana diproduksi PT. Sinar Sukses Sentosa (SSS) di Gunung Kidul, Yogyakarta atau PT. Cahaya Sejahtera Sentosa (di Jatim), maka thiwul layak disebut makanan bergizi. Jika thiwul dibuat melalui tahapan sebagaimana uraian di atas, niscaya kejadian yang menimpa saudara kita di Jepara tidak pernah terjadi dan thiwul adalah makanan yang sehat serta memenuhi sebagai sumber kalori.
Potret Sadar Keragaman Pangan
Banyak sudah penulis yang mengaitkan keracunan thiwul dengan kemiskinan suatu masyarakat, sebagaimana ditulis saudara Saratri W., (SM, 7/1/2011) dan Joko Priyono, (SM, 11/1/2011). Logika yang dibangun jelas, bahwa tidak mungkin orang berkecukupan secara ekonomi mengonsumsi thiwul sebagai makanan pokok. Tetapi pada kesempatan ini penulis mengambil sisi positip di atas bahwa, thiwul sebagai bagian dari kekayaan menu nusantara yang harus dipertahankan. Lebih jauh penulis berpendapat mengonsumsi thiwul sebagai tindakan cerdas yang merupakan bagian dari strategi rumah tangga dalam rangka membangun pola makanan yang bergizi, beragam dan berimbang (B3) menuju pola pangan harapan (PPH) yang ideal. Juga berharap sebagai strategi masyarakat (Negara) membangun kemandirian pangan yang berkelanjutan, tidak bergantung pada satu jenis makanan utama (beras). Ini sekaligus sebagai implementasi Perpres No. 22/2009. Mengapa?
Data survey sosial ekonomi nasional (Susenas-2008) menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia - dengan indikator skor PPH- masih jauh dari harapan. Data Susenas (2008), menunjukkan skor PPH nasional sebesar 81,9 dengan nilai asupan energi sebesar 2.038 kkal/kapita-hari. Namun data terbaru (2009) menunjukkan skor PPH Nasional merosot menjadi 75,7 dengan asupan energy sebesar 1.927 kkal/kapita-hari. Sementara pencapaitan di Jawa Tengah nilai PPH 83,70 (2009) dengan nilai asupan 2.300 kkal/kapita-hari. Ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat belum mencerminkan aspek keragaman sumber kalori, sebagaimana pola konsumsi yang direkomendasikan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) dengan asupan energi penduduk sebesar 2.000 kkal/kapita/hari, yang proporsi pemenuhannya berasal dari makanan jenis padi-padian sebesar 50 % dari angka kecukupan gizi (%AKG), umbi-umbian 6%, pangan hewani 12 %, minyak dan lemak 10%, buah dan biji berminyak 3%, kacang-kacangan 5%, gula 5%, sayuran dan buah 6%, serta bumbu-bumbuan 3 %. Nilai PPH berasal dari nilai % AKG dikalikan skor, yang nilainya berbeda untuk tiap kelompok makanan sumber energy. Thiwul dalam hal ini dimasukkan sebagai makanan sumber kalori karbohidrat dari kelompok umbi-umbian.
Pola konsumsi masyarakat Jawa Tengah berdasarkan penelitian Sumardi (2008) masih didominasi kelompok padi-padian sebagai sumber kalori (63%) dan makanan berpati (6,4%). Konsumsi pangan hewani masih rendah (4-6%), demikian juga kelompok kacang-kacangan (4,6%) dan sayur serta buah-buahan (3,9%). Yang perlu dicermati dari kelompok biji-bijian adalah konsumsi terigu yang meningkat tajam dari waktu ke waktu dan sudah mencapai 18,2 kg/kapita-hari. Ini tidak lain akibat budaya mengonsumsi mi instan dan roti-rotian yang terus mengakar kuat di tengah masyarakat.
Perlu dibangun kesadaran pentingnya berpola konsumsi yang sehat, yang menekankan aspek keragaman sumber bahan pangan, namun pada sisi lain juga pangan yang bernilai gizi yang baik dan berimbang (proporsional). Thiwul sebagai salah satu jenis makanan tradisional berkontribusi pada aspek keragaman sumber pangan, terlebih thiwul yang dibuat dengan penambahan bahan lain seperti kacang-kacangan dan disajikan secara modern. Mengonsumsi thiwul harus dipandang sebagai kesadaran untuk berpola konsumsi yang sehat, bukan suatu keterpaksaan atau ketiadaan bahan pangan lain. Maka teruslah konsumsi makanan selingan ini tanpa rasa malu dan takut keracunan.
(Penyumbang artikel : Rohadi, Pengajar pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Semarang (USM). Anggota Komisi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (KP3K) Jateng Bidang Agroindustri)