Tindakan tentara perlawanan Dewan Transisi Nasional Libya (NTC) terhadap Khaddafy tidak dapat diterima oleh Hukum Humaniter Internasional (HHI) atau International Humanitarian Law, karena secara terbuka mempertontonkan pelanggaran hak seseorang saat berperang dalam konvensi Jenewa dan hukum perang Den Haag.
Hukum humaniter hendak menjaminkan penegakan kemanusiaan saat situasi perang. Tidak ada satu pun alasan dapat membenarkan bahwa mereka menembaknya dari jarak amat dekat, pada saat Khaddafy tidak lagi bersenjata, berlumuran darah, dan berteriak meminta tolong.
Hukum humaniter berhaluan Jenewa maupun Den Haag tidak membenarkan penyerangan terhadap seseorang yang sedang tidak bersenjata. Dan, bahwa mustahil ia melakukan perlawanan. Kemarahan tentara perlawanan harus diberitahu dengan nada sedih dan kecaman, bahwa dendam kesumat terhadap pribadi Khaddafy telah melanggar azas-azas yang lain dalam konvensi dan hukum internasional.
Perlakuan terhadap Khaddafy memang tidak sepenuhnya dibebankan ke pundak tentara perlawanan NTC. Amerika dan NATO, serta Pemimpin Dunia harus meminta maaf, dan menyatakan penyesalan atas perlakuan terhadap manusia Khaddafy. Setiap orang punya alasan pribadi untuk melakukan tindakannya sendiri, tetapi pelanggaran atas azas-azas HHI yang harus diterima dan ditegakkan bersama, tidak dapat dihapus atau dianggap tidak ada, hanya karena dia seorang Moammar Khaddafy.
Minimum tiga prinsip HHI ini telah dilanggar dalam tewasnya Moammar Khaddafy, pertama, “Korban luka dan korban sakit dirawat dan dilindungi oleh peserta konflik yang menguasai mereka. Lambang “Palang Merah” atau “Bulan Sabit Merah” harus dihormati sebagai tanda perlindungan.” Kedua, “Kombatan dan orang sipil yang tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan dan pembalasan.” Ketiga, “Tak seorang pun boleh dikenai penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang kejam atau merendahkan martabat.”
Tanpa permohonan maaf atas perlakuan yang tidak adil itu, dunia internasional mempertontonkan ketidak-mampuannya untuk menegakkan hukum internasional di samping pembelaan terhadap nasib suatu bangsa dan negara Libya. Mahkamah Kejahatan Internasional tidak boleh membiarkan tindakan tidak adil terhadap Khaddafy, karena akan menjadi preseden buruk bagi penegakkan pelanggaran hukum humaniter lainnya.
Berita pelbagai media menunjukkan, bahwa Khaddafy berhak atas perlakuan sebagai seorang tawanan perang, dan bahwa tontonan vulgar menyeret Khaddafy tidak patut menjadi berita kemenangan yang menyedihkan.
Masyarakat Libya boleh memasuki era baru tanpa Khaddafy, tetapi lebih dari itu, mereka harus mengakhiri dendam, seperti diserukan Perdana Menteri Mahmoud Jibril di ibukota Tripoli. “Saya ingin menyerukan seluruh warga Libya agar menyingkirkan rasa dendam dan hanya menyimpan satu kata di hati, yaitu Libya.”
Singkatnya, siapa pun tidak dapat melakukan suatu tindak kejahatan, atas suatu (dugaan) tindak kejahatan sekalipun. Karena, terhadap kedua tindak kejahatan, hukum harus ditegakkan. Tim independen untuk penyelidikan tragedi tewasnya Khaddafy, harus dibentuk sebagai pra-syarat penegakan HHI atau International Humanitarian Law.
Provokasi Barat
Pemberitaan media yang ikut memvonis Khaddafy sebagai sosok yang sadis pun menggiring opini publik untuk bersepakat dan mendukung pemberontakan oposisi plus serangan bertubi-tubi NATO. Semua sisi positif Khaddafy pun tertutupi oleh pemberitaan yang tidak seimbang. Berapa banyak publik Islam yang tahu bahwa Khaddafy adalah sosok pemimpin negara sekaligus imam sholat? seorang da’i yang menyerukan untuk menyelamatkan Palestina,Afghanistan, Irak dan negara-negara muslim lainnya?, sumbangsihnya terhadap dunia Islam sedemikian besarnya hingga hampir semua negara muslim terutama saudara-saudara kita di Afrika pernah dan selalu merasakan uluran tangannya.
Tapi inilah realitas sekarang, perang pemikiran yang demikian gencar dilakukan oleh Dunia Barat dibantu dengan manajemen media yang canggih akhirnya menutup mata kita. Dengan alasan demokrasi maka Khaddafy pun diserang, negara yang selama ini tergolong sejahtera dan maju pun membara, pembantaian dimana-mana dan semakin parah karena provokasi yang gencar dilakukan oleh Dunia Barat.
NATO telah menghalalkan pertumpahan darah atas nama demokrasi, mayat yang bergelimpangan harus dianggap wajar demi demokrasi, ribuan anak menjadi yatim piatu dinafikan atas nama demokrasi, duda dan janda bertebaran semua demi demokrasi, demokrasi dan demokrasi. Terakhir Khaddafy ditangkap, diseret, ditendang, diinjak dalam keadaan tidak berdaya, manusia tidak lagi diperlakukan selayaknya manusia, videonya disebarkan kemana-mana agar semua orang tahu betapa berbahayanya jika harus
melawan keinginan Barat (demokrasi).
Inikah Demokrasi yang kita inginkan? Demokrasi yang berdiri kokoh diatas tumpukan jenasah? Demokrasi yang akarnya kuat oleh siraman darah segar manusia? Daunnya yang menghijau karena tumpahan airmata kepedihan? Haruskah demokrasi membunuh kemanusiaan? Mengapa kita tidak mencoba memahami cara berfikir Khaddafy yang berbeda dengan pemahaman sebagian orang yang mengaku sebagai penegak demokrasi, bukankah memahami cara pandang orang lain bagian dari demokrasi itu sendiri.
Hakekat demokrasi menurut cara pandang saya seharusnya memanusiakan manusia meskipun perbedaan kita sangat tajam. Demokrasi juga seharusnya diterapkan sesuai dengan kultur, adat-istiadat, norma dan agama yang berlaku di negara tersebut. Sebagai contoh tidak mungkin demokrasi ala Amerika Serikat atau negara Barat lainnya yang menghalalkan aborsi bisa diterapkan di Indonesia karena kita memiliki norma dan adat yang berbeda.
Pelajaran Berharga
Kita tahu bahwa selama empat dekade Khaddafi berkuasa sebagai diktator telah banyak melakukan tindakan kejam dan tidak berperikemanusiaan pada rakyatnya sendiri yang dianggap sebagai lawan politiknya. Singkatnya, nasib tragis kematian Khaddafi dianggap sebagai karma yang sepadan atas perbuatannya sendiri.
Benarkah demikian? Entahlah, nalar dan nurani ini tetap saja tidak bisa membenarkan aksi-aksi biadab seperti itu. Amat mungkin, karena kita telah berada di suatu zaman modern, dimana cara-cara penyelesaian konflik tidak lagi berpatokan pada era zaman dahulu. Kekuasaan harus direbut melalui cara-cara kekerasan, pertumpahan darah dan bumi hangus atas mereka yang dianggap musuh.
Tentu saja, masyarakat Indonesia pernah mengalami masa-masa seperti itu. Ambillah contoh, pada masa-masa zaman Kerajaan dahulu, dimana perebutan tahta kerajaan harus melalui aksi peperangan hingga tetes darah penghabisan. Selanjutnya, pertengahan tahun 60-an, adalah proses peralihan kekuasaan dari Orla ke Orba yang cukup membawa korban di masa Indonesia modern, pada masa seperempat tahun Indonesia merdeka. Meski terbatas, jelang kejatuhan penguasa Orde Baru pun sempat diwarnai oleh jatuhnya korban di kalangan rakyat.
Pelajaran apa yang dapat dipetik dari catatan itu semua? Pelembagaan proses peralihan kekuasaan yang tertib dan damai merupakan kata kuncinya. Inilah salah satu esensi demokrasi, dimana kekuasaan negara merupakan hak bagi siapapun jua, bukan hak eksklusif suatu golongan atau kalangan tertentu saja. Prinsip adil dan jujur perlu menjadi landasan atas proses peralihan kekuasaan tersebut melalui mekanisme dan sarana demokrasi yang telah disepakati, antara lain melalui pemilu secara periodik.
Kepercayaan rakyat menjadi sangat mutlak, agar kekuasaan menjadi efektif dan tidak kontraproduktif. Kekuasaan yang tidak berakar pada kepercayaan rakyat hanya akan menimbulkan apatisme politik rakyat, hingga dalam suatu masa tertentu akan berkembang menjadi bentuk perlawanan rakyat terhadap penguasa. Dalam kondisi yang demikian, sistem kelembagaan politik demokrasi menjadi tidak berarti lagi, segera akan digantikan oleh sebuah revolusi sosial, dimana anarkisme yang bercirikan kekerasan dan pertumpahan darah menjadi sesuatu yang dianggap absah dan lumrah.
Haruskah kita akan mengalami pengulangan sejarah, atau bahkan kisah tragis seperti yang terjadi baru-baru ini di Libya? Tentu saja tidak, dan semoga jangan pernah terjadi! Kesadaran dari semua pihak, terutama dari para penguasa dan elit politik menjadi keharusan, agar negeri ini masih bisa terawat menjadi bangsa yang benar-benar beradab.
Hari ini, kita masih sempat bersyukur karena tidak mengalami nasib tragis seperti bangsa Libya. Namun demikian, waktulah yang akan berbicara nanti. Apakah Indonesia akan benar-benar mampu terhindar dari anarkisme total yang akan menimbulkan pertumpahan darah antar sesama warga bangsa sendiri?
Bersyukur, bahwa di tengah banyak kekurangan, reformasi tahun 1998 telah memberikan fondasi yang sangat berharga bagi terbentuknya sistem politik demokrasi di Indonesia. Sebuah kondisi yang amat efektif dalam memberikan landasan yang kuat bagi proses peralihan kekuasaan secara tertib dan damai. Setidaknya, di negeri ini akan sulit terjadi dimana seseorang yang sama akan terus berkuasa dalam waktu yang sangat lama, hingga dilakukan cara-cara kekerasan untuk menjatuhkannya.
Faktor Asing
Namun demikian, faktor kepentingan dari luar pun perlu untuk diwaspadai. Fakta tak terbantahkan bahwa dibalik kejatuhan Khaddafi terdapat kepentingan politik atas penguasaan bisnis energi, khususnya minyak oleh pihak asing, dalam hal ini AS dan sejumlah negara Eropa. Sebuah kondisi yang hampir sama terjadi di sejumlah negara lain, seperti di Afghanistan, Irak, kemudian Tunisia, Mesir, terus Suriah, Yaman dan Iran.
Marshall Douglas Smith (2005), seorang profesional dan praktisi bisnis minyak, bahkan menyatakan bahwa faktor minyak merupakan variabel penting bagi pemicu Perang Dunia I dan II, termasuk pula jelang kemerdekaan Indonesia, hingga runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia. Lebih jauh lagi, ia berani menyimpulkan bahwa perang Vietnam (Utara-Selatan) yang melibatkan AS secara berkepanjangan hanyalah merupakan “perang mainan” belaka yang sengaja diciptakan dalam rangka penguasaan sumber minyak di sekitar Laut Cina Selatan. Selama perang Vietnam berlangsung, perusahaan minyak AS, Standar Oil melakukan survei, kemudian mengeksplorasinya usai perang berakhir.
Lepasnya Timtim dari kekuasaan Indonesia tak lepas pula dari kepentingan bisnis minyak di celah Timor. Begitu pun, sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan, hingga Blok Ambalat, tak terlepas dari rebutan kandungan minyak dan gas di lepas pantai. Tak tertutup kemungkinan, tanah Papua yang kaya raya akan sumber bahan tambang akan menjadi pemicu keterlibatan pihak asing atas Indonesia.
Jadi, pelajaran apakah yang dapat dipetik lagi dari peristiwa Libya? Kemampuan untuk mengatasi intervensi asing yang akan mengganggu kedaulatan negara menjadi sangat penting. Tentu saja, harus meliputi kemampuan mempertahankan diri dari intervensi asing dalam bentuk agresi militer, dan terutama non militer. Proses penyusupan agenda kepentingan asing yang akan merugikan bangsa dan negara kita harus selalu menjadi kewaspadaan bersama.
Semoga, Indonesia akan mampu mengatasinya. Sehingga, tragedi kemanusiaan yang terjadi di negeri sana tidak akan berimbas pada Indonesia. Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, semoga masih menjadi pilar yang efektif bagi tetap tegaknya persatuan Indonesia yang sama-sama kita cintai.