Ileana Ros-Lehtinen (cumhuriyet.com) |
Namun, fakta menunjukkan sebaliknya. Berbagai peristiwa justru menyaksikan bahwa Israel cuma jadi beban (liability) AS. Keputusan General Conference ke-36 UNESCO di Paris, Senin (31/10), yang menerima Palestina sebagai anggota penuh, menjadi fakta terbaru.
Selang beberapa jam setelah keputusan itu, pemerintah Presiden Barack Obama mengumumkan AS akan memangkas dan bahkan menghentikan kontribusi kepada UNESCO.
Undang-undang yang dibuat Kongres AS melarang Washington memberi kontribusi kepada PBB, dan setiap organnya, yang memberi Palestina hak layaknya sebuah negara berdaulat.
Kontribusi AS mencapai US$80 juta per tahun, atau sekitar 22 persen dari total anggaran UNESCO.
“Kami seharusnya mengirim pembayaran sebesar US$60 juta pada November ini, tapi kami tak akan melakukan pembayaran itu,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Victoria Nuland, di Washington, Selasa (1/11).
Penghentian dana sebesar itu tak diragukan lagi akan mengganggu kinerja UNESCO di seluruh dunia. Namun, kerugian jauh besar akan diderita AS.
Pertama, AS terancam kehilangan hak suara jika tak membayar iuran selama dua tahun. Padahal, investasi AS dalam proyek UNESCO sangat besar. Proyek di Irak dan Afghanistan terkait pelatihan jurnalis, reformasi kepolisian, pendidikan demokrasi di dominasi korporasi dan LSM AS. Demikian pula dengan proyek pengadaan sistem peringatan dini tsunami di kawasan Pasifik. Atau “Program Sesame” yang diarahkan untuk memfasilitasi riset ilmiah di negara berkembang.
Kedua, keanggotaan di UNESCO biasanya secara otomatis diterjemahkan ke dalam keanggotaan di sejumlah organ PBB lainnya, termasuk World Intellectual Property Organisation (WIPO), UN Conference on Trade and Development (UNCTAD), dan UN Industrial Development Organization (UNIDO). Sebab, ada perjanjian timbal balik di antara organ tersebut.
Celakanya bagi AS, sejumlah perusahaan besar mereka sangat erat terlibat dalam fungsi organ tersebut. Sebagai contoh, tahun lalu saja, korporasi seperti Apple, Facebook, The North Face, dan The American Automobile Association mengajukan kasus terkait hak atas kekayaan intelektual kepada WIPO.
Apabila Palestina bergabung dengan WIPO (yang biasanya otomatis), dan AS kembali mutung, bisa dipastikan Abang Sam akan kehilangan kendali di WIPO. Padahal, hal itu sangat berdampak pada upaya Obama memulihkan ekonomi AS dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.
Itulah mengapa pemerintahan Obama mengadakan pertemuan dengan korporasi raksasa, macam Google, Microsoft, dan Apple, satu hari sebelum pemungutan suara di UNESCO. Washington ingin tahu apakah perusahaan itu memiliki ide untuk keluar dari kebuntuan.
Fenomena di UNESCO tampaknya akan menghasilkan efek “bandwagon”. Palestina dilaporkan mengincar keanggotaan di 16 organ PBB lainnya.
Lalu setelah UNESCO, badan PBB mana lagi yang akan membuat AS mutung? Apakah AS berani menarik diri dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), jika Palestina diakui sebagai anggotanya? Padahal, IAEA sangat vital bagi AS demi menjaga hegemoni nuklir. Apakah itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)? Padahal Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC), dan korporasi farmasi, punya banyak kepentingan soal bisnis vaksin di sana.
Ketiga, derita paling dahsyat yang dirasakan AS adalah citra mereka sebagai “pemimpin dunia” yang terus meluncur ke titik nadir.
Hasil pemungutan suara UNESCO sebening kristal menunjukkan itu. Mati-matian diplomat AS melobi, 107 negara malah melawan mereka. AS hanya dibela oleh 14 negara. Dari ke-14 itu—di luar Australia, Jerman, dan Kanada yang merupakan anggota G-20—sebagian besarnya adalah negara kecil, seperti Lithuania, Palau, Panama, Samoa, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu. Negara-negara itu punya sejarah mengekor ke manapun angin Washington berhembus. Negara BRIC (Brazil, Rusia, India, China) kompak melawan AS. Dan tentu saja negara “emerging market”, seperti Turki, Afrika Selatan, dan tak ketinggalan Indonesia juga mendukung Palestina.
Komunitas internasional kini memperlihatkan akal sehat mereka di hadapan sang “polisi global”. Dan AS pun tak berlebihan jika dikatakan sedang menuju status negara “pariah”. Tak berlebihan pula jika disebut bahwa kepentingan AS-Israel hanya 1 persen melawan 99 persen kepentingan komunitas internasional.
Akar dari semua keruwetan itu adalah lobi Israel. Berkat lobi mereka, Kongres AS kerap mengeluarkan resolusi “bodoh”.
Pada 1995, Kongres mengeluarkan resolusi yang memerintahkan pemerintah memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke Jerusalem. Jika tidak dilakukan, resolusi itu mengancam akan menahan 50 persen satu item anggaran Kementerian Luar negeri hingga kedutaan AS di Jerusalem resmi dibuka.
Resolusi bodoh sebab melawan hukum internasional dan resolusi PBB yang menetapkan status Jerusalem sebagai wilayah di bawah kendali PBB. Untungnya, resolusi itu masih memuat klausul pengabaian oleh presiden atas dasar kepentingan strategis.
Resolusi yang sama bodohnya juga lahir pada periode 1991-1994. Resolusi ini melarang AS mendanai organ PBB yang mengakui Palestina sebagai negara. Berbeda dengan resolusi soal Jerusalem, resolusi ini tidak memuat klausul pengabaian.
Salah seorang pengusung resolusi bodoh itu adalah Ileana Ros-Lehtinen, anggota DPR asal Florida sejak 1989. Pada Januari 2011, wanita asal Kuba itu menjabat sebagai Ketua Komite Luar Negeri DPR AS.
Penyumbang dana kampanye utama Ros-Lehtinen adalah Irving Moskowitz, taipan asal Florida. Moskowitz termasuk salah satu donatur terbesar bagi pembangunan pemukiman ilegal Zionis di Tepi Barat dan Jerusalem. (jemala)