Rian adalah salah seorang anggota tim tari ngarak SMAN I Lintang Kanan yang meraih peringkat kedua pada lomba ngarak se-Kabupaten Lahat tahun 2006. Tari itu juga kerap ditampilkan dalam berbagai kesempatan hajatan atau kegiatan sekolah. Dalam pertunjukan, dia kebagian membawakan 13 gerakan dasar tari yang mirip silat, biasa disebut kuntaw.
"Aku senang membuat penonton tertawa. Kalau dapat respons baik, rasanya jadi tambah semangat melucu," kata Marlin (17), siswa kelas III yang memainkan tokoh lelucon dengan topeng dalam tim tari ngarak.
Kedua siswa itu aktif mengikuti ekstrakurikuler tari ngarak bersama 20-an siswa lain. Menurut Kepala SMAN I Lintang Kanan, Imron, didampingi guru seni Jajang R Kawentar, kegiatan seni dimaksudkan untuk mengembangkan bakat dan sarana untuk menghaluskan budi pekerti siswa.
"Meski gerakan tarinya sudah digubah, tetapi tari ngarak berasal dari tradisi lama masyarakat Lintang. Kami melatih siswa menari seminggu sekali," kata Imron.
Kepala Sekolah SMPN I Muara Pinang, Masayu Mardiana, mengatakan pula, kegiatan seni di sekolah dapat diarahkan untuk mengurangi kenakalan siswa yang kerap tersulut perkelahian di jalan. Namun, sayangnya, tidak semua sekolah memiliki guru yang mengerti seni dan bisa melatih siswa.
Menurut tokoh budaya Empat Lawang, Syamsu Indra Usman, tari ngarak adalah modifikasi dari tari silek harimau, yang termasuk tari tradisional Empat Lawang. Dalam pertunjukan klasik yang sebenarnya, para penari membawakan gerakan silat dalam keadaan kesurupan roh leluhur. Saat ini tarian itu telah digubah sehingga gerakan silatnya lebih menonjolkan keindahan dan dibawakan penari secara sadar.
Budaya Empat Lawang berawal dari kepemimpinan empat pendekar yang disebut lawang. Mereka tinggal di Tebing Tinggi, Ulu Musi, Pendopo, dan Muara Pinang. Keempat lawang membuat kesepakatan saling menghormati dan menjaga wilayah masing-masing pada abad ke-17 Masehi. Kawasan itu dihuni Suku Ulu Musi, Suku Lintang, dan Suku Pasemah Air Keruh, yang masing-masing tinggal di pinggir aliran Sungai Musi, Sungai Lintang, dan Sungai Keruh.
Pendidikan sekolah, lanjut Indra, bisa menjadi sarana efektif untuk memperkenalkan seni tradisi bagi siswa, yang saat ini kurang mengenal tradisinya sendiri.
Rian dan Marlin, misalnya, mengaku tidak mengenal beberapa tari tradisional Empat Lawang meski mereka telah belajar tari ngarak. "Aku tidak tahu, apa itu tari gegerit? Kalau ada guru yang mengajari, aku mau belajar," kata Rian. Sayangnya, para empu penari Empat Lawang sudah tiada. Yang tersisa saat ini hanyalah cerita dari mulut ke mulut tentang keindahan tarian itu. Keindahan gerakan meliuk-liuk dari tujuh gadis saat menyambut tamu di depan gerbang, dengan iringan gong kulintang dan rebab. (sumber: Kompas.com)