Tokoh budaya Empat Lawang, Syamsu Indra Usman, di Desa Lubuk Puding, Kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat Lawang, mengungkapkan, dari delapan jenis tarian tradisional masyarakat setempat, sudah lima tarian yang punah. Tiga tarian lainnya masih lestari meski hanya ditampilkan sesekali dalam upacara adat atau pesta hajatan masyarakat.
Kelima jenis tarian yang punah itu adalah tari gegerit, sanggam sirih, kekok, ngelsambai, dan tari selendang. Masing-masing tari memiliki keunikan gerakan dan fungsi tersendiri, antara lain untuk menyambut tamu, menghibur orang, atau untuk berpantun. "Gerakan tari umumnya diambil dari kehidupan sehari-hari masyarakat, seperti memetik kopi," kata Syamsu.
Tari kekok, misalnya, merupakan tari komedi yang dibawakan penari dengan memakai dua tempurung kelapa, yang masing-masing diletakkan di telapak tangan kiri dan kanan. Tari gegerit dimainkan tujuh gadis di depan gerbang saat menyambut tamu dengan upacara adat, yang diiringi tabuhan gong kulintang dan rebab. Tari ngelsambai dibawakan pasangan muda-mudi yang menari sambil melantunkan pantun bersahut.
Jenis tari yang masih kerap ditampilkan adalah tari ngarak pengantin, melami menda, dan tari pereng. Tari-tarian tersebut masih lestari gerakannya, lebih mudah, dan sering dipanggungkan saat hajatan. Beberapa tari sudah dimodifikasi dengan gerakan yang lebih modern, ditambah gerakan silat atau komedi.
Sejumlah tarian tradisional punah akibat kehilangan generasi penerus setelah ditinggal empu tari yang lama. Menurut mantan Ketua Pemangku Adat Ulu Musi, Usman Asim (78), sebenarnya Empat Lawang pernah memiliki banyak empu tari tradisional beberapa puluh tahun silam. Akan tetapi, setelah mereka meninggal, tidak ada lagi generasi baru yang tertarik mewarisi kemampuan menari itu.
Tahun 1960-an, lanjut Usman Asim, masih terdapat sekitar 10 penari tradisional Empat Lawang. Jumlah itu terus menyusut menjadi enam penari pada tahun 1970-an, kemudian tinggal satu penari tahun 1980-an, yaitu Cik Inah, yang ahli membawakan sejumlah tari klasik. Setelah empu penari itu meninggal pada pertengahan 1980-an, tak ada lagi penerusnya.
"Dahulu banyak sekali orang bisa menari sambil berpantun. Setiap keluarga yang mengadakan hajatan membuat semacam balai terbuka untuk pertunjukan tari selama tujuh hari-tujuh malam. Sekarang anak-anak muda malas menghafal gerakan tari dan pantun," katanya.
Punahnya lima tarian tradisional merupakan kerugian besar bagi kebudayaan Empat Lawang karena masyarakat kehilangan identitas dan sarana untuk menggali akar sejarah. Pada masa dahulu, tari menjadi sarana penting untuk melestarikan sekaligus menyampaikan nilai tradisi kepada masyarakat umum. (sumber kompas.com)