Leo menyampaikan hal tersebut dalam diskusi panel yang digelar oleh Koordinator Nasional Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWIR) berjudul "Mengurai Sumbat Kebebasan Pers pada Kasasi Mahkamah Agung" di Jakarta Media Center, Kebon Sirih, Jakarta, Jumat sore.
"Pertama, menurut UU Pers hasil investigasi Time Asia itu telah memenuhi kode etik jurnalistik sehingga tidak sepatutnya dihukum," kata Leo.
Denda sebesar Rp1 triliun yang dikenakan kepada Time juga disebut Leo melanggar pasal 18 ayat (2) UU Pers yang membatasi jumlah denda maksimal Rp500 juta.
Selain itu, hukuman yang dikenakan terhadap wartawan juga disebut Leo melanggar UU Pers karena pertanggungjawaban harusnya dilakukan secara "corporate".
"Bila pers salah, wartawan dilindungi dan perusahaan yang membayar ganti rugi," katanya.
Permintaan maaf yang diminta mantan Presiden Soeharto juga dinilai berlebihan karena seharusnya permintaan maaf hanya dimuat di media yang bersangkutan.
Pengacara majalah Time Asia Todung Mulya Lubis yang juga hadir dalam diskusi itu menekankan mengenai putusan yang dinilainya tanpa melalui pertimbangan hukum yang matang.
"Dari 35 halaman putusan MA yang menghebohkan itu, cuma ada 2,5 halaman pertimbangan hukum," kata Todung.
Ia kemudian membandingkan dengan kasus Harian Garuda di Medan pada tahun 1989 yang dituduh mencemarkan nama baik PT Anugerah Langkat Makmur.
Mahkamah Agung waktu itu memenangkan harian Garuda dengan pertimbangan hukum antara lain apa yang diberitakan pers tidak mesti kebenaran yang bersifat absolut dan MA menghormati mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers dengan menggunakan hak jawab.
"Jika membaca putusan kasus Garuda pertimbangan hukumnya cukup bernas, cukup panjang dan putusan itu merupakan `milestone` dari perkembangan pers di Indonesia," kata Todung.
Majalah Time sendiri sedang mengupayakan proses peninjauan kembali (PK) terhadap kasus tersebut dengan menghadirkan bukti (novum) baru.(*)