Jika Kosovo bisa, mengapa Palestina tidak?

Oleh John Whitbeck

John Whitbeck, pengacara internasional yang pernah mendampingi tim perunding Palestina, menulis bahwa inilah saatnya pemimpin Palestina yang ada di Ramallah untuk menguji komunitas internasional mengenai kemerdekaan Palestina.


Seperti telah diperkirakan, Kosovo menyatakan deklarasi kemerdekaan unilateralnya sementara Amerika Serikat dan sebagian besar negara Uni Eropa, yang mengkoordinasikan deklarasi ini, segera saja menyampaikan pengakuan diplomatik kepada “negara baru” ini. Siapa pun yang masih menghargai hukum internasional dan akal sehat akan memandang tindakan ini sebagai benar-benar di luar kendali.

Konsekuensi-konsekuensi potensial instabilitas dari preseden ini (yang tanpa penjelasan coba untuk tidak dilihat sebagai preseden oleh AS dan Uni Eropa) telah banyak dibahas dalam kaitan dengan negara-negara lain yang kedaulatan mereka diakui secara internasional tetapi juga yang di dalamnya terdapat gerakan-gerakan separatis yang kuat dan yang mempraktikkan pemerintahan sendiri secara efektif meski tidak stabil; seperti Abkhazia, Ossetia Selatan, Transniestria, Ngorno-Karabakh, Republik Srpska di Federasi Bosnia, Republik Turki di Siprus Utara, dan Kurdi, termasuk minoritas-minoritas yang tidak puas di tempat-tempat lain.

Satu konsekuensi potensial yang konstruktif dari preseden ini belum dibahas.

Ketidaksabaran Amerika dan Uni Eropa untuk mengamputasi satu bagian dari sebuah negara anggota PBB (yang secara universal diakui, bahkan oleh mereka sendiri), tampaknya karena 90 persen mereka yang hidup dalam bagian itu mendukung pemisahan. Namun, ini sangat kontras dengan kesabaran tanpa batas dari AS dan Uni Eropa ketika berhadapan dengan isu bagaimana mengakhiri 40 tahun pendudukan agresif Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza (tidak ada kedaulatan Israel yang diakui oleh satu negara pun atas satu bagian dari kedua wilayah itu, dan Israel pun hanya menyatakan kedaulatannya atas sebuah bagian kecil, yakni Yerusalem Timur yang diduduki). Nyaris setiap penghuni sah Tepi Barat dan Jalur Gaza menuntut kemerdekaan, yang selama lebih daripada 40 tahun mereka perjuangkan. Namun karena berbuat demikian, mereka dihukum, dijatuhi sanksi, diblokade, dihinakan, dan hari demi hari, dibunuh oleh mereka yang mengklaim berdiri di atas tatanan moral yang tinggi.

Dalam pandangan Amerika dan Uni Eropa, deklarasi kemerdekaan Kosovo dari kedaulatan Serbia haruslah diakui, bahkan meski Serbia tidak sepakat. Namun demikian, perilaku mereka secara radikal berbeda ketika Palestina mendeklarasikan kemerdekaan dari pendudukan Israel pada 15 November 1988, saat itu AS dan negara-negara UE (yang dalam pandangan mereka sendiri membentuk “komunitas internasional”, dengan mengecualikan sebagian besar umat manusia) secara jelas tidak termasuk dalam lebih daripada 100 negara yang mengakui negara baru Palestina, dan karena mereka tidak mengakui, maka deklarasi kemerdekaan itu menjadi semata “simbolik”; sungguh suatu ketidakberuntungan bagi orang-orang Palestina.

Menurut AS dan UE, agar bisa diakui, maka kemerdekaan Palestina harus secara langsung dinegosiasikan di atas sebuah basis bilateral yang sangat tidak sederajat antara kekuatan pendudukan dan rakyat yang diduduki, dengan penekanan pada pencapaian kesepakatan final yang menguntungkan kekuatan pendudukan. Bagi AS dan UE, hak-hak dan hasrat dari rakyat Palestina yang lama menderita dan mengalami kebrutalan, serta hukum internasional, tidaklah relevan. Namun pada saat yang sama, AS dan EU memandang etnis Albania, yang menikmati sembilan tahun perlindungan NATO dan pemerintahan PBB, tidak boleh menunggu lebih lama lagi bagi kemerdekaan mereka, sementara orang-orang Palestina, yang telah mengalami pendudukan Israel selama 40 tahun, bisa menunggu untuk selamanya.

Dengan “proses Annapolis” yang tidak menghasilkan apa-apa—karena memang itulah maksud Israel dan Amerika sejak awal—preseden Kosovo memberikan kepada pemimpin Palestina yang berbasis di Ramallah—yang diterima oleh “komunitas internasional” karena dipandang mampu melayani kepentingan-kepentingan Israel dan Amerika—sebuah kesempatan emas mengambil inisiatif, mengatur ulang agenda, dan mengembalikan reputasi mereka yang sudah rusak di mata rakyat mereka sendiri. Jika para pemimpin ini benar-benar percaya, meskipun terdapat banyak bukti yang menyatakan sebaliknya, bahwa solusi “dua negara” masih mungkin, maka inilah momen ideal untuk menegaskan kembali eksistensi legal (bahkan meskipun harus berada di bawah pendudukan yang brutal) Negara Palestina, secara eksplisit di seluruh 22 persen wilayah Mandat Palestina yang tidak dijajah dan diduduki oleh negara Israel sebelum 1967, dan untuk menyerukan kepada negara-negara yang tidak menyampaikan pengakuan diplomatik kepada Negara Palestina pada 1988—lebih khusus AS dan negara-negara UE—untuk memberi pengakuan mereka sekarang.

Pemimpin Kosovo telah menjanjikan perlindungan kepada minoritas Serbia di Kosovo. Pemimpin Palestina bisa menjanjikan sebuah periode waktu yang cukup bagi para kolonis Israel yang tinggal secara ilegal di Negara Palestina, dan pasukan pendudukan Israel, untuk menarik mundur, dan juga mempertimbangkan sebuah kerja sama ekonomi dengan Israel, membukan perbatasan dan status tinggal permanen bagi para pemukim Yahudi ilegal yang berkeinginan untuk hidup secara damai di bawah pemerintahan orang-orang Palestina.

Tentu saja, untuk mencegah AS dan UE agar tidak menganggap inisiatif tersebut sebagai sebuah lelucon, akan ada sebuah konsekuensi signifikan dan eksplisit jika mereka melakukan hal itu. Konsekuensi itu akan berupa berakhirnya ilusi “dua negara”. Pemimpin Palestina harus menegaskan bahwa jika AS dan UE, yang telah mengakui negara kedua etnis Albania di atas wilayah berdaulat dari sebuah negara anggota PBB, kini tidak mengakui sebuah negara Palestina di atas bagian kecil dari tanah air Palestina yang diduduki, maka tindakan itu akan membubarkan Otoritas Palestina (yang semestinya secara legal sudah bubar pada 1999, akhir dari lima tahun “periode sementara” yang ditetapkan Kesepakatan Oslo) dan kemudian rakyat Palestina akan menuntut keadilan dan kemerdekaan melalui demokrasi dan perjuangan bagi hak kewarganegaraan secara penuh dalam sebuah negara tunggal di seluruh Israel/Palestina, bebas dari diskriminasi apa pun berdasarkan ras dan agama serta dengan hak-hak yang setara bagi semua yang hidup di sana.

Pemimpin Palestina sudah terlalu lama menoleransi kemunafikan dan rasisme Barat serta memainkan peran yang pandir. Inilah saatnya untuk membalikkan meja secara konstruktif, dan mengejutkan komunitas internasional agar memperhatikan fakta bahwa rakyat Palestina tidak akan menoleransi ketidakadilan dan kekerasan lebih lama lagi.

Jika tidak sekarang, kapan?

* penulis adalah pengacara internasional dan penulis buku The World According to Whitbeck.

◄ Newer Post Older Post ►