Berbagai analisis dari pengamat intelijen, pengamat gerakan Islam, dan bahkan mantan Kepala Densus 88 Anti Teror pun mewarnai liputan-liputan media massa. Terlepas dari apakah Noordin bergerak sebagai "independent peer" dengan membentuk jaringan baru bernama "Tanzim Qaidatul Jihad" (nama yang mirip dengan Al Qaeda) yang berada di luar JI, semua analisis tersebut seperti mengabaikan proses bagaimana JI "terbentuk" dan siapa-siapa saja yang menjadi tulang punggung dari "organisasi" tersebut?
Dalam sebuah assessment-nya pada akhir tahun 2004, Badan Intelijen Negara (BIN) pernah mengindikasikan bahwa warga negara Indonesia yang terkait dengan jaringan teroris internasional adalah mereka yang pernah pergi ke perbatasan Pakistan-Afghanistan dalam beberapa tahap selama dan menyusul invasi Uni-Soviet ke Afghanistan antara akhir 1970-an hingga awal 1990-an. Mereka berjumlah sekitar 200 orang dan setelah kembali dikenal dengan "alumni Afghan".
Menurut BIN, selama berada di perbatasan Pak-Afghan pada periode tahun-tahun tersebut, orang-orang ini mendapatkan berbagai pelatihan kemiliteran dari "Al Qaeda", termasuk di antaranya pelatihan merakit berbagai jenis bom. Dari sekitar 200 orang tersebut, masih menurut BIN, sebagiannya bergabung dengan JI, dan menjadi tulang punggung kelompok yang awalnya berbasis di Johor, Malaysia, itu.
Namun, yang tidak disebutkan dalam assessment BIN di atas adalah apa yang dimaksud dengan "Al Qaeda" pada periode tahun-tahun tersebut; dan bagaimana "Universitas Jihad" yang berlangsung di Peshawar (perbatasan Pak-Afghan) bisa terbentuk?
Robert Dreyfuss dalam investigasinya, yang kemudian dibukukan dengan judul Devil's Game: How the United States Helped Unleash Fundamentalist Islam menyajikan ulasan tentang bagaimana pemerintah Amerika Serikat (via CIA) bekerja sama dengan pemerintah Arab Saudi (via Mukhabarat di bawah pimpin Pangeran Turki bin Faisal al-Saud yang memiliki kontak dengan Osama bin Laden) dan rezim Ziaul Haq Pakistan (via Inter-Services Intelligence di bawah pimpinan Jenderal Hamid Gul) memobilisasi orang-orang lintas-negara untuk memerangi Soviet di Afghanistan. Polanya: Turki dan Osama menyediakan dana; CIA menyediakan logistik dan persenjataan; dan ISI menyediakan lokasi dan pelatihannya. Inilah bentuk pelatihan yang kerap disebut sebagai "universal university of jihad" dimana mobilisasi orang-orang dari lintas-negara terjadi, dan yang kemudian menjadi cikal bakal bagi "Al Qaeda".
Momen "aliansi aneh" di Peshawar itu bagaimanapun memberi keuntungan, bukan semata bagi mereka yang mendapatkan pelatihan tetapi juga bagi CIA dan intelijen-intelijen dari negara-negara yang terlibat. Mereka mendapatkan pelatihan akan menguasai berbagai teknik militer (termasuk teknik merakit bom) dan bergabung dengan jaringan organisasi-organisasi "militan" internasional. Sementara bagi CIA dan intelijen-intelijen negara-negara tertentu, jaringan para "militan" internasional ini amat penting untuk sewaktu-waktu digunakan bagi kepentingan-kepentingan mereka secara tidak langsung.
Beberapa indikasi bisa menjelaskan bagaimana elemen-elemen CIA dan intelijen-intelijen negara tertentu memanfaatkan jaringan tersebut demi kepentingan mereka. kasus Michael Terence Meiring bisa menjadi contoh. Menurut sejumlah laporan, Meiring memiliki hubungan dengan pihak-pihak yang "unik". Dia memiliki hubungan dekat dengan pejabat-pejabat pemerintah Filipina di Mindanao tapi di saat yang sama dilaporkan juga memiliki hubungan dengan pemimpin-pemimpin MNLF, MILF, dan kelompok Abu Sayyaf. Bahkan Meiring dikabarkan pernah ikut membidani pelatihan merakit bom di kamp Mindanao yang melibatkan beberapa individu (baik eks "alumni Afghan" maupun bukan) dari Indonesia.
Meiring pada akhir Desember 2001 secara mencurigakan "diterbangkan" keluar Filipina oleh FBI setelah terluka akibat bom yang meledak di kamarnya, kamar 305 Evergreen Hotel, Davao City. Kasus Meiring sepintas mirip dengan kasus penangkapan misterius Umar al-Farouq di Bogor yang kemudian diterbangkan secara misterius pula ke AS. Atau kasus penangkapan warga negara Indonesia Encep Nurjaman alias Ridwan Isamuddin alias Hambali oleh CIA di Thailand yang kemudian secara ekstrajudisial diterbangkan ke "dark sites" di AS (secara resmi kemudian dinyatakan ditahan di penjara Guantanamo). AS menolak keinginan polisi Indonesia untuk menghadirkan Hambali dalam persidangan kasus Abu Bakar Baasyir, padahal Hambali adalah warga negara Indonesia.
Itu satu persoalan. Persoalan yang jauh lebih penting dari masa lalu adalah: apakah pihak intelijen Indonesia (baik dari unsur intelijen sipil ataupun militer) terlibat dalam mobilisasi warga negaranya ke Pak-Afghan pada periode-periode yang dimaksud? Atau apakah setidaknya pihak intelijen Indonesia di bawah rezim Soeharto yang demikian cemas akan "ekstrim kanan" mengetahui mobilisasi tersebut? Jika tahu, mengapa mereka membiarkan warga negara Indonesia pergi ke zona konflik? Bukankah ini melanggar perintah konstitusi yang mengharuskan pemerintah melindungi warga negaranya (alasan ini pernah dikemukakan ketika pemerintah SBY menolak memberi akses bagi warga negara Indonesia yang ingin berperang di Jalur Gaza)?
Para mantan pejabat intelijen di era itu (entah yang kini sudah pensiun total atau yang masih aktif sebagai pejabat negara) harus menjelaskan dan bertanggung jawab akan hal ini. Jika para "alumni Afghan" kerap dijadikan tertuduh (ketika terjadi teror bom) karena masa lalu mereka, maka bukankah para mantan pejabat intelijen itu juga mesti bertanggung jawab?
"Blast from the Past" bukan sekedar cerita dari masa lalu, tetapi harus menjadi pelajaran agar kita tidak mengulanginya. Filosof George Santayana berujar, "Those who cannot remember the past are condemned to repeat it."