Makalah KB Sebagai Determinan Kesehatan Ibu |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 disebutkan bahwa Program KB Nasional merupakan rangkaian pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas sebagai langkah penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Pembangunan ini diarahkan sebagai upaya pengendalian kuantitas penduduk melalui keluarga berencana, serta pengembangan dan peningkatan kualitas penduduk melalui perwujudan keluarga kecil yang berkualitas.
Program keluarga berencana di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1970 dengan dibentuknya Badan Koordinator Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Program keluarga berencana dirancang berwawasan gender, artinya alat kontrasepsi disediakan untuk perempuan maupun laki-laki. Namun dalam pelaksanaannya pada tahun 1994 partisipasi perempuan secara nasional jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki yakni sebesar 52,1% dengan segala metode, sedangkan laki-laki sebesar 0,9 % dengan metode kondom dan 0,7 % vasektomi.
Masalah kependudukan dan program KB di Bali yang hasilnya tidak jauh berbeda dengan pencapaian secara nasional atau terjadi stagnansi. Bahkan beberapa indikator seperti Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan. LPP pada periode 1980-1990 mencapai 1,18 %, naik lagi menjadi 1,26 % pertahun pada periode 1990-2000, dan naik lagi menjadi 1,43 % pertahun pada periode 2000-2005 (BPS, 2005). Diyakini tingginya LPP di Provinsi Bali lebih disebabkan karena adanya migrasi netto, selain adanya sumbangan angka kelahiran.
Isu menarik yang sering muncul di media massa tentang masalah kependudukan dan KB di Bali selain arus pendatang yang banyak menyerbu Bali, adalah adanya kecurigaan bahwa penduduk pendatang banyak yang tidak ber-KB seperti penduduk lokal. Memang diskursus tentang penduduk pendatang sering dilakukan dalam masyarakat Bali. Tidak saja implikasi permasalahan sosial yang ditimbulkan oleh penduduk pendatang yang sangat kompleks, seperti masalah ketertiban penduduk, stereotif sebagai pelaku pencurian, penyebab kekumuhan, dominasi penguasaan sektor informal dan sebagainya. Terhadap dugaan ini ada beberapa elemen masyarakat yang menghawatirkan bahwa penduduk pendatang akan semakin banyak sementara penduduk lokal akan semakin sedikit karena terus disuruh ber-KB. Sinyalemen ini pernah ditulis melalui media massa bebeberapa tahun yang lalu, sebagai berikut.
Kondisi tersebut sebenarnya telah melahirkan adanya sumber konflik baru di masyarakat, walaupun baru pada tahap konflik kognitif dan afektif akibat kecurigaan penduduk pendatang yang kurang berpartisipasi dalam program KB. Menurut pandangan psikologi, konflik dapat dibagi menjadi tiga taraf, yaitu (1) konflik kognitif yaitu konflik yang berhenti sampai pada pemikiran; (2) konflik afektif yaitu konflik yang melibatkan keberpihakan emosional; dan (3) konflik konatif yaitu konflikyang meniscayakan tindakan kekerasan (Jatman,1996:122).
Selain LPP yang semakin naik, angka kelahiran total (TFR) juga mengalami peningkatan dari 1,89 pada tahun 2000 berdasarkan hasil Sensus Penduduk naik menjadi 2,1 pada tahun 2007 berdasarkan hasil SDKI 2007. Adanya stagnansi TFR pada periode 2002 dan 2007 berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang tetap yaitu 2,1 merupakan hal yang menarik, walaupun sebenarnya prevalensi KB aktif dapat ditingkatkan dari 61,2% (2002) menjadi 69,4% (2007). Fenomena tersebut diduga penyebabnya antara lain :
1. Terjadinya penurunan pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) berdasarkan hasil SDKI dari 42,8% (1997), 31,6% (2002) dan 28,0% (2007). Secara teori tingkat kegagalan MKJP lebih rendah jika dibandingkan dengan non-MKJP. Jenis alat kontrasepsi yang termasuk MKJP adalah Vasektomi, Tubektomi, IUD dan Implant, sedangkan yang termasuk non-MKJP antara lain suntik KB, Pil, dan Kondom.
2. Terjadinya peningkatan kontrasepsi tradisional dari 2,0% (1997), 2,4% (2002) dan 4,0% (2007). Kontrasepsi tradisional yangdimaksudkan antara lain Pantang Berkala, Senggama Terputus atau jamu-jamuan. Kontrasepsi tradisional juga memiliki angka kegagalan yang sangat tinggi, sehingga kurang efektif untuk mencegah kehamilan.
3. Kemungkinan banyaknya migrasi masuk dari kelompok pasangan usia subur (PUS) dengan paritas tinggi yang terkonsentrasi di daerah perkotaan (BKKBN, 2008:4). Data dan informasi mengenai partisipasi penduduk pendatang dalam program KB atau fertilitas penduduk pendatang memang tidak tersedia dalam sistem pencatatan dan pelaporan pengendalian program KB.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimanakah bentuk partisipasi penduduk pendatang dalam program KB?
2. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan penduduk pendatang tidak ber-KB?
3. Bagaimanakah dampak dan makna partisipasi penduduk pendatang dalam Program KB di Desa Tegal Kertha Kecamatan Denpasar Barat Kota Denpasar?
C. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas terstruktur Mata Kuliah Kesehatan Maternal Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman semester V tahun ajaran 2009/2010.
2. Memberikan informasi kepada mahasiswa seputar permasalahan KB.
D. Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi seputar KB.
2. Bagi Mahasiswa
Memberikan gambaran tentang permasalahan KB di Indonesia , khususnya di Bali.
BAB III
PEMBAHASAN
Gerakan keluarga berencana Indonesia telah menjadi contoh bagaimana negara dengan penduduk terbesar ke 4 di dunia dapat mengendalikan dan menerima gerakan keluarga berencana sebagai salah satu bentuk pembangunan keluarga yang lebih dapat dikendalikan untuk mencapai kesejahteraan. Keluarga adalah unit terkecil kehidupan bangsa yang sangat diharapkan dapat mengatur, mengendalikan masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, ketahanan dan keamanan keluarga secara berantai menuju yang lebih besar dan terakhir berskala nasional. Gambaran umum tentang keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat berpedoman Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) dan keluarga mempunyai fungsi sosial dan politik.(Manuaba, 1998)
Pada makalah ini kami mengambil bahasan mengenai “Perbedaan fertilitas antara Penduduk Pendatang dan Penduduk Lokal : Sebuah Studi kasus Di daerah perkotaan Kota Denpasar”. Oleh Ida Putu Mudita BKKBN Provinsi Bali.
Menurut Davis dan Blake (1956) ada 11 variabel antara yang mempengaruhi fertilitas. Variebel-variebel tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu Variabel hubungan seks yang terdiri dari usia kawin, proporsi yang tidak pernah kawin, perpisahan pada usia kawin karena cerai, ditinggal dan menjada, abstinensia sukarela, abstinensia karena terpaksa, frekuensi hubungan seks. Variebel kedua adalah konsepsi yang terdiri dari kesuburan biologis, pemakaian kontrasepsi, kemandulan serta disengaja. Variebel yang terakhir adalah gestasi yang terdiri dari keguguran yang tidak disengaja dan pengguguran yang disengaja (Singarimbun, 1996:5).
Variabel-variabel tersebut tidak semuanya dijadikan pendekatan untuk pengendalian kelahiran di Indonesia. Adapun variabel-variabel yang dijadikan pendekatan untuk pengendalian kelahiran melalui program KB, yaitu :
1. Usia kawin melalui promosi pendewasaan usia perkawinan
2. Pemakaian kontrasepsi
3. Kemandulan disengaja melalui vasektomi dan tubektomi.
A. Pendewasaan usia perkawinan
Tujuan pendewasaan usia perkawinan selain untuk mengendalikan kelahiran, oleh karena semakin tua usia orang kawin berarti semakin sedikit waktu masa reproduktif yang dimiliki oleh Pasangan Usia Subur (PUS), juga bermanfaat untuk mengurangi resiko kehamilan. Resiko yang mungkin dapat terjadi pada ibu yang yang telalu muda untuk hamil antara lain keguguran, tekanan darah tinggi, keracunan kehamilan, timbulnya kesulitan persalinan, bayi berat lahir rendah, membesarnya air seni ke vagina, keluarnya gas dan feses ke vagina atau bisa kanker leher rahim (BKKBN, 2006:2). Anjuran melalui program KB yang disarankan dalam pendewasaan usia perkawinan adalah meningkatkan batas usia perkawinan minimal usia 20 tahun untuk perempuan dan minimal usia 25 tahun untuk pria (BKKBN, 1992;21).
Dari hasil studi diperoleh gambaran rata-rata usia kawin pertama wanita penduduk pendatang telah mencapai 20,6 tahun. Jika dilihat peretnis ada dua yaitu Etnis Sasak dan Etnis Madura masih berada di bawah 20 tahun usia kawin pertama wanitanya. Etnis Batak rata-rata usia kawin pertama wanita paling tinggi yang mencapai 22,6 tahun, disusul Etnis Cina 22, 3 tahun, Etnis Bali 21,3 tahun dan Etnis Jawa 20,8 tahun.
Hasil penelitian mencatat bahwa penduduk pendatang yang kawin di bawah umur 20 tahun, umumnya melangsungkan perkawinan semasih tinggal di daerah asal, seperti dari Jawa dan Madura, sebelum melakukan migrasi ke Bali. PUS yang usia kawin pertama wanitanya dibawah 20 tahun tingkat pendidikan mereka rata- rata hanya tamat SD dan bahkan dari mereka yang bersekolah hanya sampai kelas 3 atau 4 SD. Sebagian besar mereka mengaku dijodohkan oleh orang tua dan bukan atas dasar cinta atau keinginan sendiri. Tetapi penduduk pendatang yang melangsungkan perkawinan di Bali pada umumnya rata-rata usia kawin pertama wanitanya sudah di atas 20 tahun. Hal itu disebabkan antara lain karena pengaruh lingkungan, atau lebih mementingkan pekerjaan agar bisa mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, atau mungkin karena tidak adanya intervensi dari orang tuanya yang masih tinggal di Jawa.
Dari keterangan Diatas Dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan usia kawin pertama wanita penduduk pendatang meningkat saat melangsungkan perkawinan di Bali jika dibandingkan usia kawin pertama wanita yang melangsungkan perkawinan di daerah asal, antara lain:
1. kemiskinan;
2. hidup di daerah yang padat;
3. pengaruh lingkungan.
Faktor-faktor tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Michael Thomas Sadier seorang penganut Teori Fisiologis yang menyatakan bahwa “jika kepadatan penduduk tinggi, maka daya reproduksi manusia cenderung menurun, sebaliknya jika kepadatan penduduk rendah, maka daya reproduksi manusia akan meningkat” (Mantra, 2003:59).
B. Pengaturan Kelahiran
Pengaturan jarak kelahiran antara anak pertama dengan anak kedua dan seterusnya selain bertujuan untuk mengendalikan tingkat kelahiran melalui penjarangan kehamilan, juga bertujuan untuk mengurangi resiko negatif terhadap bayi dan ibu yang jarak kehamilannya terlalu dekat. Resiko-resiko yang bisa terjadi bila kehamilan terlalu dekat antara lain:
1. keguguran
2. anemia pada ibu
3. payah jantung
4. bayi bisa lahir sebelum waktunya
5. bayi bisa lahir dengan berat badan rendah
6. bayi bisa cacat bawaan, serta tidak optimalnya tumbuh kembang balita.
Akan sangat beresiko lagi jika kehamilan yang terlalu dekat terjadi di kalangan keluarga miskin, yang tidak mampu untuk mencukupi gizi pada saat ibu sedang hamil. Jarak kelahiran yang ideal yang dianjurkan melalui program KB minimal 2-3 tahun, sehingga untuk kehamilan anak yang kedua secara fisik dan psikhologis siibu lebih siap (BKKBN, 2006:3).
Data yang didapatkan dapat memberikan gambaran bahwa rata-rata jarak kelahiran penduduk pendatang sudah lebih tinggi yang mencapai 3,7 tahun. Rata-rata tertinggi dicapai oleh penduduk pendatang dari Etnis Batak yaitu 5,2 tahun, disusul Etnis Bali 3,9 tahun, Etnis Jawa 3,7 tahun, Etnis Sasak 3,3 tahun dan Etnis Cina dan Madura masing-masing 3,0 tahun.
C. Rata-Rata Jumlah Jiwa dalam Keluarga
Rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga dikalangan penduduk pendatang yang dikategorikan Penduduk Tinggal Sementara (PTS) adalah 3,1 jiwa. Tercatat penduduk pendatang asal Sulawesi paling tinggi rata-ratanya jika dibandingkan dengan penduduk pendatang dari daerah lain yaitu 4 jiwa, disusul pendatang dari NTT 3,4 jiwa, Jawa 3,1 jiwa, Bali luar Denpasar 3,1 jiwa, Madura 3,0 jiwa, Sumatra 2,7 jiwa dan Nusa Tenggara Barat 2,6 jiwa.
Rata-rata jumlah jiwa di kalangan penduduk pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap sesuai dengan hasil Pendataan Keluarga Tahun 2008 mencapai 4,3 anak. Etnis Jawa rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga paling tinggi yaitu mencapai 4,5 orang. Selanjutnya, rata-rata jumlah jiwa peretnis adalah Etnis Bali 4,3 orang, Etnis Kupang 4.0 orang, Etnis Batak 3,8 orang, Etnis Cina 3,5 orang, Etnis Sasak 3,3 orang dan Etnis Madura 3,0 orang.
D. Pemakaian kontrasepsi
Prevalensi peserta KB aktif penduduk pendatang di kalangan PTS hanya mencapai 57,4%, jadi cukup rendah jika dibandingkan dengan prevalensi peserta KB aktif Bali hasil SDKI 2007 yang mencapai 69,4%. Penduduk pendatang asal Jawa prevalensinya hanya mencapai 56,3% atau masih lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk pendatang asal Bali yang mencapai 58,2%.
Dari sumber data R/I/PTS, 2007 Salah satu penyebab rendahnya prevalensi peserta KB aktif di kalangan pendudukpendatang kategori PTS karena tingginya unmet need yang tercatat 18,6%. PUS Unmet need adalah pasangan usia subu yang tidak terlayani KB yang sebenarnya mereka menginginkan anak tetapi ditunda atau mereka yang sudah tidak menginginkan anak lagi. Kelompok unmet need dalam program KB menjadi prioritas utama sasaran pelayanan KB. Akan tetapi karena mereka tidak tercatat dalam Register Pendataan Keluarga, sehingga mereka kurang mendapatkan akses pelayanan baik KIE/konseling KB maupun pelayanan kontrasepsi secara gratis bagi keluarga yang miskin. Penduduk pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap berdasarkan hasil Pendataan Keluarga Tahun 2008 di Desa Tegal kertha peserta KB aktifnya mencapai 83,2%. Jika dilihat berdasarkan etnis, maka PUS dari Etnis Madura peserta KB aktifnya paling tinggi yang mencapai 97,6%, sedangkan yang paling rendah adalah Etnis NTT 57,1%.
E. Pemakaian Jenis Kontrasepsi
Jenis kontrasepsi penduduk pendatang yang dikategorikan PTS tercatat yang memakai metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) hanya 9,3%. MKJP terdiri dari tubektomi, vasektomi, IUD dan implant. Jika dibandingkan dengan persentase pemakaian jenis kontrasepsi secara umum di Bali tentu kualitas kontrasepsi yang dipakai oleh PTS kurang efektif. Jenis alat kontrasepsi yang dipakai oleh penduduk pendatang yang sudah menetap berdasarkan hasil Pendataan Keluarga di tiga lokasi penelitian tercatat MKJP persentasenya mencapai 22,0%. Jadi masih lebih baik dibandingkan dengan penduduk pendatang yang dikategiorikan PTS. Etnis Bali paling banyak memakai jenis kontrasepsi MKJP yaitu sebesar 32,2%.
F. Partisipasi KB Pria
Partisipasi KB pria di kalangan pendudukyang dikategorikan PTS hanya mencapai 1%. Etnis dari NTT prevalensi KB prianya paling tinggi yang mencapai 25,0%, sedangkan Etnis Madura dan Batak tidak ada yang memakai KB Pria. Dibandingkan dengan hasil SDKI 2007 yang mencapai 3%, maka partisipasi KB pria di kalangan penduduk PTS sangat rendah, sedangkan penduduk pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap mencapai 3,9%. Jawaban responden terhadap penyebab rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB di kalangan
1. penduduk pendatang yaitu: menganggap urusan KB adalah urusan perempuan (43,3%
2. suami tidak mau(26,7%
3. tidak tahu ada kontrasepsi pria(20,0%)
4. takut kondom disalahgunakan suami (3,3%)
5. kondom tidak bagus (3,3%)
6. yang menjawab tahunya hanya KB perempuan (3,3%)
Persepsi yang menganggap KB adalah urusan perempuan harus dihilangkan melalui peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Urusan KB bukan urusan perempuan, tetapi merupakan urusan berdua suami isteri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masih adanya hegemoni lakilaki terhadap perempuan karena tidak mau memakai alat kontrasepsi. Kesetaraan dankeadilan gender dalam KB dan kesehatan reproduksi agar terus disosialisasikan.
G. Unmet Need
Persentase unmet need di kalangan penduduk tinggal sementara (PTS) mencapai 18,6%. Jika dilihat berdasarkan daerah asal tercatat PUS asal Sumatra dan NTB persentase unmet need-nya paling tinggi yang mencapai 28,6%. Namun demikian, data unmet need PTS asal Sumatra dan NTB kurang signifikan dapat mewakili keadaan yang sebenarnya, oleh karena jumlah data PUS PTS kedua daerah asal tersebut relatif sedikit jika dibandingkan dengan PUS PTS asal Jawa maupun Bali Luar Denpasar. Rangking selanjutnya unmet need berturut-turut adalah NTT 20,0%, Bali 19,0%, Jawa 18,0%, dan Madura 12,5.
Persentase unmet need di kalangan penduduk pendatang yang sudah menetap berdasarkan hasil Pendataan Keluarga tahun 2008 tercatat 7,7%. Jika dilihat berdasarkan etnis tercatat Etnis NTT persentase unmet need-nya paling tinggi yang mencapai 14,3%, disusul Etnis Cina 9,7%, Etnis Sasak 9,1%, Etnis Jawa 8,8%, Etnis Batak 8,0%, dan yang paling rendah adalah Etnis Bali yang mencapai 7,6%. Dibandingkan dengan unmet need
Hasil penelitian dapat penulis simpulkan bahwa faktor-faktor penyebab unmet need dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksudkan adalah faktor-faktor yang melekat pada diri pribadi PUS unmet need itu sendiri, seperti faktor pengetahuan dan pemahaman KB dan kesehatan reproduksi yang kurang, yang mengakibatkan mereka takut efek samping kontrasepsi karena mungkin mereka hanya mendengarkan rumor; karena baru melahirkan/masih menyusui sehingga merasa tidak perlu untuk ber-KB, karena merasa tidak subur dan sebagainya. Yang kedua faktor yang berkaitan dengan perilaku atau sikap mereka, seperti takut ber-KB karena alasan kesehatan, jarang kumpul, biaya mahal, tidak nyaman pakai alat kontrasepsi.
Faktor eksternal yang dimaksudkan adalah faktor-faktor yang berada di luar pengetahuan, sikap dan perilaku PUS unmet need itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain kurangnya komitmen pemerintah Kota Denpasar untuk melayani unmet need terutama PUS PTS, mekanisme operasional pelayanan KB di lapangan yang belum menjangkau PUS unmet need di kalangan PTS, kurangnya akses pelayanan KIE/konseling KB yang diterima oleh PUS unmet need baik penduduk pendatang yang sudah menjadi peenduduk tetap maupun PTS dan hambatan akibat adanya “perarem” desa adat/desa pakraman setempat yang tidak bisa memasukkan seluruh penduduk yang sudah tinggal 6 bulan di Desa Tegal Kertha terdaftar dalam Pendataan Keluarga, sehingga mereka.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1. Usia kawin pertama wanita (UKPW) di kalangan penduduk pendatang mencapai 20,6 tahun. Penduduk pendatang yang usia kawin pertama wanitanya di bawah 20 tahun umumnya berlangsung di daerah asal, sedangkan yang melangsungkan perkawinan di Bali rata-rata usia kawin pertama wanitanya sudah di atas 20 tahun.
2. Kesiapan mental dan ekonomi serta pengaruh lingkungan menjadi faktor pendorong perempuan pendatang untuk melangsungkan perkawinan di atas 20 tahun. Selanjutnya, rata-rata jarak kelahiran anak 3,7 tahun, faktor ekonomi menjadi salah satu faktor pendorong untuk mengatur jarak kelahiran.
3. Rata-rata jumlah jiwa di kalangan penduduk tinggal sementara (PTS) di kota Denpasar 3,1 anak. Penyebabnya karena sebagian besar dari mereka merupakan PUS muda. Di kalangan penduduk pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga mencapai 4,3 anak. Etnis Jawa rata-ratanya paling besar 4,5 orang, dan yang paling kecil adalah Etnis Madura 3,0 orang.
DAFTAR PUSTAKA
Mudita, Ida Putu. 2009. Perbedaan fertilitas antara Penduduk pendatang dan penduduk lokal: Sebuah studi kasus di daerah perkotaan Di kota Denpasar. Piramida Jurnal Kependudukan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Manuaba, Ida Bagus.1998. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta, Arcan.