Mufid A. Busyairi
Anggota DPR RI dari Fraksi PKB Musim tanam rendeng tiba. Lagu lama pun berulang: pupuk langka, dan harganya selangit. Harga pupuk bersubsidi di pasar, khususnya urea, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) pemerintah. Petani tidak berdaya. Ketidakberdayaan petani dituangkan dengan beragam cara: mendatangi wakil rakyat untuk menyampaikan aspirasi, melakukan sweeping ke toko-toko pengecer dan distributor, atau menurunkan paksa pupuk dari truk pengangkut pupuk. Terjadilah disharmoni petani-penjual, bahkan di antara para petani.
Atas desakan Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah memutuskan melakukan operasi pasar di wilayah-wilayah langka pupuk (Koran Tempo, 27 November 2008). Operasi pasar difokuskan di dua provinsi lumbung beras: Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sayang, operasi pasar tidak bisa segera dilakukan. Dinas Pertanian yang wilayahnya mengalami kelangkaan pupuk belum mengajukan permintaan ke produsen pupuk. Produsen tak bisa disalahkan. Sebab, pupuk bersubsidi merupakan barang dalam pengawasan yang penyalurannya harus jelas dan tepat sasaran.
Guna mengevaluasi operasi pasar, Komisi IV DPR melakukan dengar pendapat dengan organisasi petani, Gapoktan, dan pengecer pupuk, 1 Desember 2008. Hasilnya, masalah pupuk ada di hulu hingga hilir: dari produsen, distributor, pengecer, hingga petani. Dari sisi jumlah, kuota pupuk bersubsidi memang jauh dari cukup. Kebutuhan urea 5,7 juta ton, tapi yang disubsidi 4,5 juta ton. Ini juga terjadi pada ZA, SP-36, dan KCl. Karena itu, Komisi IV DPR dan stakeholders meminta pemerintah segera menyelesaikan kelangkaan pupuk, dan melibatkan organisasi petani untuk mengawasi pupuk bersubsidi.
Subsidi pupuk sebenarnya sudah menjadi program pemerintah lebih dari 30 tahun. Tetapi sampai sekarang kita belum juga memiliki aransemen kelembagaan yang solid dan kredibel. Salah satu kealpaan mendasar adalah kita tidak memiliki data siapa penerima subsidi? Dinas Pertanian tak bisa segera mengajukan permintaan pupuk, karena basis data petani penerima subsidi tidak ada. Ini hanya satu soal. Kelangkaan dan harga di atas HET juga belum ada solusi. Dari pengalaman, petani selalu menebus pupuk 12,38-33,5 persen di atas HET, bahkan dalam situasi normal harga selalu 6,7-18 persen di atas HET. Hasil sejumlah penelitian (Syafa'at, dkk 2006; Yusdja dkk, 2005) menunjukkan, HET tidak efektif. Ini semua mengharuskan pemerintah mengevaluasi hakikat subsidi. Evaluasi bukan hanya atas sistem distribusi, modus subsidi, dan besaran nilai subsidi, tapi yang lebih mendasar adalah pada persoalan penggunaan pupuk anorganik itu sendiri.
Sistem distribusi pupuk selama ini bersifat pasif dan terbuka. Pasif karena siapa pun, baik pribadi atau berkelompok, bisa membeli pupuk bersubsidi pada pengecer di kecamatan-kecamatan. Bersifat terbuka karena sistem distribusi hanya memiliki delivery system (dari produsen sampai pengecer) dan tidak memiliki receiving system. Pengecer bisa menjual pupuk bersubsidi kepada siapa saja, termasuk kepada yang tidak berhak. Akibatnya, petani sasaran berpeluang tidak mendapatkan jumlah pupuk sesuai dengan alokasi.
Ketidakpedulian produsen atas perilaku distributor dari lini III (kabupaten) ke lini IV (kecamatan) yang cenderung menaikkan harga memperparah situasi. Bahkan tak jarang distributor memperjualbelikan DO (delivery order). Di Jawa Timur, distributor bodong seperti ini mencapai 30 persen (PSE, 2006). Ujung dari semua ini, ketepatan pupuk bersubsidi amat rendah. Calo/broker mengeksploitasi kelemahan itu untuk mengeruk untung.
Caranya, pupuk subsidi dijual ke sektor kebun dan industri (yang tidak disubsidi) atau dilego ke luar negeri. Saat ini HET urea Rp 1.200 per kilogram dan SP-36 Rp 1.550 per kg. Sementara itu, harga urea nonsubsidi Rp 3.000 per kg, bahkan di luar negeri US$ 600 per ton (Rp 5.640 per kg), siapa yang tidak ngiler? Secara teori masalah ini bisa diminimalkan dengan sistem distribusi pupuk tertutup. Dalam sistem ini, karena ada kelompok tani sebagai receiving system, anggota kelompok tani dijamin mendapat pupuk subsidi sesuai alokasi. Masalahnya, kelompok tani dan PPL sebagai ujung tombak sistem ini telah tercerai-berai.
Seandainya kelompok tani dan PPL bukan lagi masalah, dengan distribusi tertutup selesaikah masalah? Tidak. Pada titik ini, hakikat subsidi pupuk anorganik layak disoal. Setidaknya, ada dua tujuan subsidi pupuk (anorganik): agar pendapatan petani meningkat dan mereka tetap bergairah berusaha-tani secara berkesinambungan. Masalahnya, dua tujuan subsidi kian mustahil dicapai. Karena petani selalu membeli pupuk di atas HET, pendapatan mereka pasti tergerus. Subsidi membuat petani jadi pupuk-minded. Akibatnya, banyak petani memupuk melampaui dosis rekomendasi, terutama urea (100-600 kg per hektare). Overdosis pupuk ini tak hanya menimbulkan inefisiensi, tapi juga membuat kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah menurun. Di sejumlah wilayah, gejala ini diikuti leveling off produksi padi: meskipun dosis pupuk digenjot, produksi tidak naik. Ini tak hanya membuat produksi meluruh, tapi juga membuat kesinambungan usaha-tani menjadi pertanyaan besar.
Stagnasi produktivitas disebabkan oleh terkurasnya kandungan bahan organik (BO) tanah oleh varietas unggul rakus hara. Saat ini 80 persen dari 7,4 juta ha sawah di Indonesia kandungan BO-nya kurang dari 1 persen. Sawah dengan kandungan BO kurang dari 1 persen perlu input dua kali lebih besar ketimbang tanah sawah ber-BO 2 persen. Untuk mengembalikan produktivitas, perlu gerakan masif menggunakan pupuk organik dan pertanian organik. Tuntutan ini bukan semata-mata karena distribusi pupuk bersubsidi kacau dan tidak tepat sasaran. Tapi ada hal penting dalam pupuk organik yang tidak bisa digantikan oleh pupuk anorganik.
Pertama, kemandirian petani. Pupuk organik bisa dibuat sendiri oleh petani dari bahan-bahan alam, sementara pupuk anorganik tidak mungkin. Kedua, produktivitas dan keberlanjutan ekologi. Secara empiris, pupuk organik tak hanya mengembalikan hara (makro + mikro), tapi juga memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Integrasi tanaman-ternak di Jawa mampu mengurangi pupuk anorganik 25-35 persen, mendongkrak produktivitas 20-29 persen, dan di Bali menaikkan pendapatan petani 41,4 persen (Susila, 2007). Ketiga, keamanan pangan. Banyak riset dan pengalaman petani yang keracunan akibat pestisida dan pupuk anorganik. Ini tidak terjadi pada praktek pertanian organik.
Pemerintah mematok program “Go Organic 2010”. Sayangnya, program ini tidak didukung aksi dan pendanaan memadai. Saat ini jumlah pupuk organik yang disubsidi cuma 345 ribu ton. Ini terlalu kecil. Dengan mengacu pada efisiensi pupuk anorganik pada praktek tanaman-ternak, 25-35 persen subsidi pupuk anorganik bisa dialihkan ke pupuk organik. Komisi IV DPR meminta pemerintah memasifkan pupuk organik yang dikelola petani (pribadi maupun kelompok) dengan teknologi sederhana. Pupuk itu bisa dibeli pemerintah kemudian disalurkan ke kelompok-kelompok tani dengan harga subsidi. Tanpa reorientasi kebijakan pupuk, ritual tahunan kelangkaan pupuk akan selalu berulang. *
Sumber : http://www.tempo.com
Atas desakan Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah memutuskan melakukan operasi pasar di wilayah-wilayah langka pupuk (Koran Tempo, 27 November 2008). Operasi pasar difokuskan di dua provinsi lumbung beras: Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sayang, operasi pasar tidak bisa segera dilakukan. Dinas Pertanian yang wilayahnya mengalami kelangkaan pupuk belum mengajukan permintaan ke produsen pupuk. Produsen tak bisa disalahkan. Sebab, pupuk bersubsidi merupakan barang dalam pengawasan yang penyalurannya harus jelas dan tepat sasaran.
Guna mengevaluasi operasi pasar, Komisi IV DPR melakukan dengar pendapat dengan organisasi petani, Gapoktan, dan pengecer pupuk, 1 Desember 2008. Hasilnya, masalah pupuk ada di hulu hingga hilir: dari produsen, distributor, pengecer, hingga petani. Dari sisi jumlah, kuota pupuk bersubsidi memang jauh dari cukup. Kebutuhan urea 5,7 juta ton, tapi yang disubsidi 4,5 juta ton. Ini juga terjadi pada ZA, SP-36, dan KCl. Karena itu, Komisi IV DPR dan stakeholders meminta pemerintah segera menyelesaikan kelangkaan pupuk, dan melibatkan organisasi petani untuk mengawasi pupuk bersubsidi.
Subsidi pupuk sebenarnya sudah menjadi program pemerintah lebih dari 30 tahun. Tetapi sampai sekarang kita belum juga memiliki aransemen kelembagaan yang solid dan kredibel. Salah satu kealpaan mendasar adalah kita tidak memiliki data siapa penerima subsidi? Dinas Pertanian tak bisa segera mengajukan permintaan pupuk, karena basis data petani penerima subsidi tidak ada. Ini hanya satu soal. Kelangkaan dan harga di atas HET juga belum ada solusi. Dari pengalaman, petani selalu menebus pupuk 12,38-33,5 persen di atas HET, bahkan dalam situasi normal harga selalu 6,7-18 persen di atas HET. Hasil sejumlah penelitian (Syafa'at, dkk 2006; Yusdja dkk, 2005) menunjukkan, HET tidak efektif. Ini semua mengharuskan pemerintah mengevaluasi hakikat subsidi. Evaluasi bukan hanya atas sistem distribusi, modus subsidi, dan besaran nilai subsidi, tapi yang lebih mendasar adalah pada persoalan penggunaan pupuk anorganik itu sendiri.
Sistem distribusi pupuk selama ini bersifat pasif dan terbuka. Pasif karena siapa pun, baik pribadi atau berkelompok, bisa membeli pupuk bersubsidi pada pengecer di kecamatan-kecamatan. Bersifat terbuka karena sistem distribusi hanya memiliki delivery system (dari produsen sampai pengecer) dan tidak memiliki receiving system. Pengecer bisa menjual pupuk bersubsidi kepada siapa saja, termasuk kepada yang tidak berhak. Akibatnya, petani sasaran berpeluang tidak mendapatkan jumlah pupuk sesuai dengan alokasi.
Ketidakpedulian produsen atas perilaku distributor dari lini III (kabupaten) ke lini IV (kecamatan) yang cenderung menaikkan harga memperparah situasi. Bahkan tak jarang distributor memperjualbelikan DO (delivery order). Di Jawa Timur, distributor bodong seperti ini mencapai 30 persen (PSE, 2006). Ujung dari semua ini, ketepatan pupuk bersubsidi amat rendah. Calo/broker mengeksploitasi kelemahan itu untuk mengeruk untung.
Caranya, pupuk subsidi dijual ke sektor kebun dan industri (yang tidak disubsidi) atau dilego ke luar negeri. Saat ini HET urea Rp 1.200 per kilogram dan SP-36 Rp 1.550 per kg. Sementara itu, harga urea nonsubsidi Rp 3.000 per kg, bahkan di luar negeri US$ 600 per ton (Rp 5.640 per kg), siapa yang tidak ngiler? Secara teori masalah ini bisa diminimalkan dengan sistem distribusi pupuk tertutup. Dalam sistem ini, karena ada kelompok tani sebagai receiving system, anggota kelompok tani dijamin mendapat pupuk subsidi sesuai alokasi. Masalahnya, kelompok tani dan PPL sebagai ujung tombak sistem ini telah tercerai-berai.
Seandainya kelompok tani dan PPL bukan lagi masalah, dengan distribusi tertutup selesaikah masalah? Tidak. Pada titik ini, hakikat subsidi pupuk anorganik layak disoal. Setidaknya, ada dua tujuan subsidi pupuk (anorganik): agar pendapatan petani meningkat dan mereka tetap bergairah berusaha-tani secara berkesinambungan. Masalahnya, dua tujuan subsidi kian mustahil dicapai. Karena petani selalu membeli pupuk di atas HET, pendapatan mereka pasti tergerus. Subsidi membuat petani jadi pupuk-minded. Akibatnya, banyak petani memupuk melampaui dosis rekomendasi, terutama urea (100-600 kg per hektare). Overdosis pupuk ini tak hanya menimbulkan inefisiensi, tapi juga membuat kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah menurun. Di sejumlah wilayah, gejala ini diikuti leveling off produksi padi: meskipun dosis pupuk digenjot, produksi tidak naik. Ini tak hanya membuat produksi meluruh, tapi juga membuat kesinambungan usaha-tani menjadi pertanyaan besar.
Stagnasi produktivitas disebabkan oleh terkurasnya kandungan bahan organik (BO) tanah oleh varietas unggul rakus hara. Saat ini 80 persen dari 7,4 juta ha sawah di Indonesia kandungan BO-nya kurang dari 1 persen. Sawah dengan kandungan BO kurang dari 1 persen perlu input dua kali lebih besar ketimbang tanah sawah ber-BO 2 persen. Untuk mengembalikan produktivitas, perlu gerakan masif menggunakan pupuk organik dan pertanian organik. Tuntutan ini bukan semata-mata karena distribusi pupuk bersubsidi kacau dan tidak tepat sasaran. Tapi ada hal penting dalam pupuk organik yang tidak bisa digantikan oleh pupuk anorganik.
Pertama, kemandirian petani. Pupuk organik bisa dibuat sendiri oleh petani dari bahan-bahan alam, sementara pupuk anorganik tidak mungkin. Kedua, produktivitas dan keberlanjutan ekologi. Secara empiris, pupuk organik tak hanya mengembalikan hara (makro + mikro), tapi juga memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Integrasi tanaman-ternak di Jawa mampu mengurangi pupuk anorganik 25-35 persen, mendongkrak produktivitas 20-29 persen, dan di Bali menaikkan pendapatan petani 41,4 persen (Susila, 2007). Ketiga, keamanan pangan. Banyak riset dan pengalaman petani yang keracunan akibat pestisida dan pupuk anorganik. Ini tidak terjadi pada praktek pertanian organik.
Pemerintah mematok program “Go Organic 2010”. Sayangnya, program ini tidak didukung aksi dan pendanaan memadai. Saat ini jumlah pupuk organik yang disubsidi cuma 345 ribu ton. Ini terlalu kecil. Dengan mengacu pada efisiensi pupuk anorganik pada praktek tanaman-ternak, 25-35 persen subsidi pupuk anorganik bisa dialihkan ke pupuk organik. Komisi IV DPR meminta pemerintah memasifkan pupuk organik yang dikelola petani (pribadi maupun kelompok) dengan teknologi sederhana. Pupuk itu bisa dibeli pemerintah kemudian disalurkan ke kelompok-kelompok tani dengan harga subsidi. Tanpa reorientasi kebijakan pupuk, ritual tahunan kelangkaan pupuk akan selalu berulang. *
Sumber : http://www.tempo.com