Putri Tanabata

Pada jaman dahulu kala, di suatu desa hiduplah seorang pemuda. Ia hidup dengan mengumpulkan kayu bakar di gunung atau membajak ladang. Pada suatu hari, pemuda itu menemukan benda yang aneh di tengah perjalanan pulang dari ladang.
“Apa ini? Oh, ini pakaian! Alangkah indahnya pakaian ini!”

Ia belum pernah melihat pakaian seindah itu. Muncul keinginan untuk memiliki pakaian itu. Ia memasukkan pakaian itu ke dalam keranjang dengan hati-hati dan bersiap pulang ke rumah.

Pada saat itu…

“Permisi…”
“Eh, siapa yang memanggilku?”
Muncullah seorang wanita yang cantik dari semak-semak dekat kolam.
“Ya, sayalah memanggil Anda, Tuan.”
“Ada apa?”
“Tolong kembalikan pakaian bidadari saya.”
“Pa-pakaian bidadari?”
“Betul, kalau tidak ada pakaian bidadari itu, saya tidak bisa pulang ke langit.”
Wanita itu berkata dengan raut muka hampir menangis.

“Saya adalah wanita yang tinggal di langit. Saya bukan wanita dari dunia ini. Saya masuk ke dalam kolam ini dan mandi, tapi lupa waktu. Tolong kembalikan pakaian bidadari saya.”
“Pa-pakaian bidadari apa? A-aku tidak tahu apa itu.”
Si Pemuda tidak mengatakan bahwa ia menyembunyikan pakaian bidadari, dan akhirnya terus berpura-pura. Bidadari yang menjadi tidak bisa pulang ke langit itu terpaksa tinggal di bumi dengan hati berat. Lalu ia pergi ke rumah pemuda dan mulai hidup bersama dengan pemuda.

Bidadari itu bernama Tanabata. Si pemuda dan Tanabata menjadi suami-istri dan mulai hidup dengan harmonis.

Beberapa tahun telah berlalu.
Pada suatu hari setelah si pemuda pergi bekerja di ladang, Tanabata melihat seekor merpati mematuki retakan balok langit-langit. Merpati itu menarik keluar suatu benda-ASTAGA!!! Itu adalah pakaian bidadarinya.
“I-itu adalah…, ternyata dia menyembunyikannya!”
Jika memakai pakaian bidadari, ia segera kembali menjadi bidadari. Sementara di dalam hatinya, Tanabata merasa telah kembali menjadi penghuni kahyangan.
Hari menjadi sore. Pemuda yang pulang dari ladang terkejut menemukan Tanabata yang berdiri depan rumah.
“Tanabata! Oh, pakaian bidadari!”
Ketika melihat pakaian bidadari itu, si pemuda segera mengerti apa yang terjadi. Lalu Tanabata berkata sambil melayang ke langit.
“Sayangku, kalau kamu merasa mencintaiku, anyamlah seribu pasang sandal jerami dan kuburkan di sekitar pohon bambu. Dengan demikian, kita pasti akan bertemu lagi. Tolong…, lakukanlah…. Aku akan menunggu.”
Tanabata melayang semakin tinggi, lalu kembali ke langit.

Pemuda itu merasa sedih sekali. Lalu mulai keesokan harinya, ia segera membuat sandal jerami. Ia terus-menerus menganyamnya sepanjang hari. Setiap kali menghitung sandal jerami yang dianyam, ia berkata ‘belum cukup’, dan terus menganyam lagi, lalu menghitungnya lagi. Demikian berulang-ulang.
Pada suatu hari, akhirnya ia selesai mengubur seribu pasang sandal jerami sekitar bambu.
“Huff, apa cukup dengan ini?”

Begitu ia selesai mengubur sandal jerami, ternyata bambu itu langusng membesar dengan cepat dan tumbuh tinggi ke langit dengan kokoh.
“Oh, aku mengerti! Kalau aku terus memanjat ini, pasti bisa bertemu dengan Tanabata….”
Si pemuda dengan cepat mulai memanjat bambu yang menjulang tinggi itu. Pada saat jaraknya tinggal sedikit lagi untuk mencapai langit, ia tak kunjung bisa menjangkaunya.
Ternyata saat menganyam sandal jerami dengan perasaan ingin bertemu Tanabata, sandal jerami yang mesti dikubur sebanyak 1000 pasang hanya berjumlah 999 pasang saja. Jadi, tinggal selangkah lagi ia baru bisa menjangkaunya.

“Tanabata! Tanabata!”
Suara pemuda sampai ke telinga Tanabata yang sedang memintal dengan alat tenun di atas langit.
“Wah, jangan-jangan ini suara….”
Ia mencoba mengintip dari atas awan, dan betul, ternyata suara itu suara suaminya yang tercinta.
“Sayangku, sayangku!”
“Tanabata, Tanabata!”
Tanabata menjulurkan yangannya lalu mengangkat si pemida ke atas awan.
“Tanabata, aku rindu padamu….”
Dua orang itu meraih tangan satu sama lain dan merasa bahagia.

Pada saat itu, muncullah muka seorang laki-laki di sela-sela awan. Ia adalah ayah Tanabata.
“Siapa laki-laki itu?” Tanya ayah Tanabata.
“Ini suami saya,” jawab Tanabata.
“Senang berjumpa dengan Anda,” ujar si Pemuda.
Ayah Tanabata tidak suka putrinya menikah dengan laki-laki dari dunia bawah. Karena itu, ayah Tanabata berpikir untuk menyuruh Pemuda melakukan kerja yang sulit untuk menyusahkan si Pemuda.
“Hmm! Jadi kamu melakukan kerja apa di dunia bawah?”
“Saya bekerja di ladang atau gunung.”
“Kalau begitu baiklah. Aku minta kamu mengerjakan ini.”
Ayah Tanabata menyuruh si Pemuda menaburkan biji-biji di ladang dalam tiga hari. Pemuda itu berusaha, lalu selesai menaburkan biji-biji dalam tiga hari seperti diminta. Tapi ayah Tanabata berkata lagi,
“Aku bilang menaburkan biji-biji di sawah sebelah sana.”
“Lho, kok….”
Pemuda itu kecewa sekali. Tanabata yang melihat keadaan ini merasa ingin membantu suaminya. Lalu ia meminta bantuan seekor merpati.
“Tolong panggil kawan-kawanmu dan taburkan biji-biji yang ada di ladang ke sawah.”
Merpati itu mengumpulkan kawan-kawannya dan mematuki biji-biji di ladang. Lalu terbang ke atas sawah dan menaburkan biji-biji itu dari atas. Pekerjaan ini selesai dalam sekejap mata.

Kali ini Ayah Tanabata yang merasa kesal menyuruh kerja yang lebih sulit lagi.
Ia meminta si Pemuda supaya menjaga ladang labu selama tiga hari tiga malam. Kalau menjaga ladang labu biasanya akan merasa sangat haus. Tetapi kalau labu itu dimakan, akan terjadi masalah yang gawat.
“Pokoknya jangan makan labu!” pesan Tanabata.

Namun, walaupun si Pemuda telah diberitahu oleh Tanabata, ia tidak bisa menahan rasa hausnya. Akhirnya ia tidak tahan lagi dan memakan buah labu itu. Dalam sekejap mata, air tumpah dari labu itu. Air yang tumpah itu menjadi sungai dan mulai mengalir dan mengeluarkan suara yang bergemuruh.
“Sayangaku!”
“Tanabata!”
Tanabata dan si Pemuda terpisah secara tiba-tia.
Dengan demikian, sosok dua orang yang berhadap-hadapan mengapit sungai itu menjadi bintang Altair dan Vega.
Kedua orang ini mendapat izin ayah Tanabata untuk bertemu hanya sekali dalam setahun, yaitu pada malam hari tanggal 7 Juli.
Kedua bintang itu sampai sekarang pun masih nerkilau-kilauan indah, mengapit bimasakti.

Diambil dari: 12 Cerita Rakyat Jepang dan Musim-musim yang Mengiringinya


◄ Newer Post Older Post ►