“Papa, Gita Mau Baju Lebaran dan sepatu baru.” Kata-kata yang diucapkan putri bungsuku, Sagita, 4 tahun, terngiang di telinga, saat lewat di Bandarjaya Plaza.
Kata-kata anakku terngiang ketika aku melihat seorang anak seusia putriku sedang memilih baju baru bersama ibunya di sebuah toko pakaian.
Minggu terakhir bulan puasa ini memang saatnya orang berbelanja. Beruntung sekali anak itu, bisa mengenakan baju baru saat lebaran. Sementara anakku tak bisa kubelikan baju baru.
Tahun ini aku tak mampu membelikan anakku baju baru. Aku baru saja keluar dari rumah sakit karena asma akut. Biaya berobat masih terutang Rp.8 juta, dan aku belum bisa membayarnya. Perusahaan tempatku bekerja merasa tak punya kewajiban membiayai berobatku, karena aku hanya buruh kontrak, yang tak punya hak memperoleh fasilitas berobat.
Saat aku menatap ibu dan anak yang belanja pakaian itu, tiba-tiba hp di kantong celanaku bergetar. Segera kuangkat, di layar hp kulihat tulisan “panggilan di SIM 2″. Wah! ini nomor Simpatiku, nomor dari Telkomsel. Di hp dual SIM ini, aku memakai nomor Flash di SIM 1 untuk internetan, dan Simpati di SIM 2, untuk sms dan telepon.
“Hallo, Pa. Sudah sampai belum di apotik?,” suara isteriku terdengar nyaring dari seberang. “Kalau sudah di apotik, mama titip beliin obat sakit kepala,” sambungnya.
Sakit kepala. Akhir-akhir ini isteriku sering mengidap sakit kepala. Mungkin karena terlalu berat memikirkan keadaan ekonomi kami saat ini yang sedang dilanda krisis.
Tahun ini aku merasa jatuh terpuruk. Setelah jatuh sakit dan harus diopname di rumah sakit, aku menerima tagihan uang komite putraku yang di SMA. uang komite tahun lalu menunggak Rp.2,6 juta, ditambah lagi tagihan tahun ini Rp.2,4 juta. Pusing!
Ramadhan tahun ini kami betul-betul puasa. Puasa menahan haus dan lapar, serta puasa dari belanja baju lebaran. Bahkan untuk belanja kue lebaran pun rasanya tak mampu.
Kulanjutkan langkahku melewati kios-kios di Bandarjaya Plaza. Salah satu pusat belanja di Lampung Tengah ini, penuh sesak oleh ibu-ibu yang berbelanja. Di salah satu kios di sebelah kiri, kulihat kerumunan ibu-ibu memilih-milih toples warna-warni. Di kios sebelahnya, serombongan ibu lainnya sedang menawar kain gordin.
Toko pakaian, toko sepatu, dan toko kue penuh sesak ibu-ibu berbelanja.
Kembali aku teringat putri bungsu di rumah, yang meminta dibelikan baju lebaran. “Papa, Gita Mau Baju Lebaran.”
Hatiku tersayat ketika mendengar kata-kata anakku yang masih lucu itu. Dia belum punya dosa, belum bisa merasakan betapa sulit keuangan papa-nya saat ini. Kakak-kakaknya tidak minta apa-apa. Mereka diam. Tetapi dari tatapan mereka, aku bisa merasakan mereka juga punya keinginan. Mereka tak kuasa mengucapkan keinginannya, karena tahu aku tak bisa memenuhinya.
“Papa, Gia Mau Baju Lebaran…”. Tiap kali aku melihat orang berbelanja, ucapan Sagita selalu terngiang. Dan, aku hanya bisa menghela napas panjang kemudian memohon ampun kepada Allah, “Ya Allah ampuni dosa-dosaku. Limpahilah kami dengan rahmat dan rejekimu agar aku dapat memenuhi kebutuhan keluargaku”.
Meskipun aku tak bisa membelikan baju baru untuk anakku, tapi aku masih merasa beruntung, karena pulsa telkomselku masih tetap terisi.