Lelucon Itu Bernama IAEA


Yukiya Amano (guardian)
BADAN Energi Atom Internasional IAEA merilis laporan terbaru tentang program nuklir Iran, Selasa (8/11). Laporan itu, katanya, bersifat rahasia. Namun sebelum rilis, bocorannya sudah ada di mana-mana. Tak ayal sensasi dan drama pun menyesaki media. Seiring sejalan dengan kegaduhan ancaman “serang Iran” dari "duet sehati" Amerika Serikat (AS) dan Israel.

Kini, setelah laporan itu rilis, media tak lelah menebar sensasi. Tak terkecuali sebagian besar media di Indonesia (lihat disini dan di sini). Maklum saja, mereka cuma menulis ulang laporan media arus utama Barat.

Selalu ada kekeliruan utama dalam memandang laporan IAEA. Kesimpulan akhir IAEA selalu saja diabaikan. Padahal, itulah pernyataan terpenting dalam laporan tersebut.


Dalam laporan terbaru, IAEA menyatakan “memverifikasi tidak ada pengalihan (non-diversion) bahan nuklir yang dinyatakan (declared nuclear material) di fasilitas nuklir dan lokasi di luar fasilitas oleh Iran sesuai Perjanjian Perlindungan (Safeguard Agreement)”. Frase seperti itu terus diulang IAEA dalam setiap laporannya.

Inilah frase terpenting dari laporan IAEA. Sebab, ini berarti Iran secara penuh menjalankan semua kewajiban sesuai Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Iran juga memenuhi janji sesuai Perjanjian Perlindungan Pasal 2. Dalam pasal itu, Iran berjanji memastikan tidak ada pengalihan bahan nuklir untuk penggunaan di luar tujuan damai.

Singkatnya, tidak ditemukan laboratorium senjata nuklir rahasia. Tidak ada fasilitas uji coba rahasia. Tidak ada bahan nuklir yang disisihkan untuk dibuat bom.

Namun, pernyataan mahapenting itu diabaikan. Sensasi media lebih memilih pernyataan minor IAEA . Kemudian, mereka memelintirnya untuk kepentingan para “pengkhotbah” perang.

IAEA menyatakan Iran terus memperkaya uranium. Padahal, kata IAEA, Iran harus menghentikan itu sesuai tuntutan Dewan Keamanan PBB.

Sesat dan menyesatkan.

Memperkaya uranium kegiatan legal menurut NPT, dan sesuai Perjanjian Perlindungan. Sebaliknya, tuntutan DK PBB itu melampaui otoritas (ultra vires). Tuntutan itu melanggar hak mutlak Iran akan teknologi dan energi nuklir. Hak yang mereka peroleh setelah meratifikasi NPT.

Satu lagi. IAEA memang tidak bisa memverifikasi “non-diversion” pada fasilitas nuklir yang tak dinyatakan oleh Iran. Dan media pun mendramatisasi istilah “fasilitas yang tak dinyatakan” (undeclared facilities) dalam laporan itu. Seolah Iran punya fasilitas yang disembunyikan.

Patut dicatat. IAEA tidak bisa memverifikasi “fasilitas nuklir yang tak dinyatakan” di semua negara, bukan hanya Iran. Terkecuali negara itu menandatangani Protokol Tambahan. Perjanjian ini memberi wewenang inspeksi lebih agresif kepada IAEA.

Maka, IAEA, meminjam mulut DK PBB, pun menuntut Iran menandatangani Protokol Tambahan. Lagi-lagi patut dicatat. Negara lain dengan program pengayaan uranium, seperti Brazil dan Argentina, menolak menandatangani perjanjian itu. Lagi pula tak boleh ada paksaan terhadap suatu negara untuk menandatangani sebuah traktat internasional. Apalagi, paksaan disertai ancaman serangan militer.

Namun, Iran menunjukkan itikad baik. Secara sukarela Iran pernah mengimplementasikan Protokol Tambahan selama dua setengah tahun. Iran siap meratifikasi perjanjian itu hanya jika AS mengakui hak nuklir Iran. Sayang, Washington menolak itu.

Selanjutnya, ada dua isu baru dalam laporan IAEA.

Pertama, IAEA mengklaim memiliki “hak paksa” atas nama tuntutan DKI PBB terhadap Iran. Klaim ini menghadirkan problem hukum.

Sebagaimana diulas Eric A Brill dalam “The Iran Nuclear Dispute: A New Approach”, IAEA pada hakikatnya bukan lembaga pelaksana NPT. Fakta menunjukkan anggota IAEA belum tentu meratifikasi NPT. Contoh, India, Pakistan, dan Israel. Ketiga negara itu tidak menandatangani NPT. Tapi, mereka anggota IAEA. Bahkan, ada negara pihak NPT yang bukan anggota IAEA. Anggota IAEA berjumlah 150 negara hingga Maret 2010. Sedangkan NPT memiliki 190 negara pihak hingga Oktober 2010.

Kedua, dalam bagian lampiran dari laporannya, IAEA memuat detail apa yang disebut “Possible Military Dimensions”. Dulu di era kepemimpinan Mohamed ElBaradei, IAEA menyebut bagian itu dengan “Alleged Studies”. Di tangan Yukiya Amano-lah, nama itu berubah.

Di bawah ElBaradei, IAEA menolak memuplibkasikan bagian tersebut. Sebab, ElBaradei menilai isinya tidak bisa diverifikasi. Bagian tersebut, sebagian besarnya, berisi tudingan AS. Washington menuding, antara lain, Iran secara rahasia melakukan studi senjata nuklir untuk rudal Shahab III. Konon, AS mendapatkan semua itu dari laptop yang secara rahasia diselundupkan ke luar Iran.

Ketika itu Teheran tak tinggal diam. Mereka ingin menjawab tudingan. Mereka pun meminta IAEA menyerahkan dokumen dari laptop tersebut. Namun, karena desakan AS, IAEA menolak.

Jurnalis kenamaan AS Gareth Porter menulis, dalam “US Intelligence Found Iran Nuke Document Was Forged” (IPS News, 28 Desember 2009), bahwa intelijen AS sekalipun meragukan kredibilitas dokumen itu.

Sejak 2004, Washington sudah ingin “menendang” ElBaradei dari kursi Direktur Jenderal IAEA. Telepon politikus Mesir itu pun disadap. AS mencari-cari alasan untuk menggantikan ElBaradei.

Dan kini, “America’s darling”, Yukiya Amano (Jepang) memimpin IAEA. Lewat Amano, sensasi seturut tetabuhan “perang atas Iran” pun akan semakin intensif. Kabel diplomatik yang dibocorkan WikiLeaks menunjukkan Amano figur dambaan Washington untuk memimpin IAEA.

Jika demikian, di bawah Amano, IAEA berpotensi cuma jadi lelucon, sebagaimana lelucon kiriman “yellowcake” dari Niger ke Irak . (Jemala)
◄ Newer Post Older Post ►