Ternyata, Kedelai Lokal Batan Lebih Enak Ketimbang Impor

Peneliti Indonesia sudah banyak menghasilkan varietas kedelai unggul untuk mendukung pencapaian target swasembada kedelai nasional.

Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) misalnya, sudah menghasilkan sejumlah varietas kedelai unggul seperti Mitani, Rajabasa dan Mutiara I, kata pemulia kedelai dari Batan, Harry Is Mulyani, di Jakarta, Kamis.


Varietas Kedelai Unggul Hasil Penelitian BATAN
Varietas Kedelai Unggul Hasil Penelitian BATAN

"Secara teknologi kita mampu membuat kedelai unggul," katanya. Ia menjelaskan, varietas kedelai lokal yang dihasilkan para peneliti Batan dengan teknik iradiasi lebih unggul dari kedelai impor dalam hal rasa dan rendemen.

Menurut dia, rasa kedelai lokal Batan lebih enak daripada kedelai impor karena memiliki kadar lemak dan protein lebih tinggi. "Sedangkan dari rendemen, jika satu kilogram kedelai kita bisa menjadi tahu empat kilogram, satu kilogram kedelai impor hanya bisa jadi tahu tiga kilogram," katanya.


Ia juga membantah anggapan bahwa biji kedelai lokal lebih kecil dibanding kedelai impor sehingga tidak bagus untuk produksi tempe.

Menurut dia, biji kedelai varietas Mutiara I berukuran 23 gram per 100 butir, tak kalah dengan yang impor.

Produktivitas tanaman kedelai varietas itu juga tinggi yakni rata-rata 2,3 ton per hektare dan bisa sampai empat ton per hektare. Mutiara I yang berumur genjah (umur dari tanam sampai panen) 82 hari itu juga tahan penyakit penggerek pucuk dan karat daun.

Batan baru memperkenalkan Mutiara I pada 2012 dengan menyebarkan 500 kilogram benih ke berbagai daerah seperti Jember, Blitar hingga Tabanan.

"Jadi Mutiara I baru ditanam di luas lahan ratusan ha saja, itupun kebanyakan baru ditanam sebagai benih, ujarnya.

Menurut Harry, masalah pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri lebih terjadi karena pemerintah tidak memberikan perlindungan atau insentif kepada petani kedelai, membuat mereka tidak bisa mendapat keuntungan layak dari menanam kedelai.

"Mengapa tak bisa memenuhi kebutuhan nasional, karena petani kedelai tak dilindungi pemerintah misalnya dengan menetapkan Harga Patokan Pemerintah atau HPP," kata dia.

Tanpa HPP, kata dia, petani yang sudah berjuang menghasilkan kedelai hanya bisa pasrah menjual hasil pertanian mereka dengan harga yang dipermainkan tengkulak.

Dia mencontohkan, petani kedelai hanya bisa menjual kedelai seharga Rp4.000 per kilogram sementara tengkulak bisa menjual ke pasar dengan harga Rp6.500 per kilogram. "Ini membuat petani makin tak berminat menanam kedelai," katanya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2011 produksi kedelai lokal hanya 851.286 ton atau 29 persen dari total kebutuhan sehingga Indonesia harus mengimpor 2.087.986 ton kedelai untuk memenuhi 71 persen kebutuhan kedelai dalam negeri.

Tahun 2012, total kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,2 juta ton dan 83,7 persen diantaranya untuk memenuhi kebutuhan pangan, termasuk untuk pengrajin tahu-tempe. Kebutuhan industri Kecap, Tauco, dan lainnya hanya 14,7 persen dan benih 1,2 persen.

Sumber : Republika
z

Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) misalnya, sudah menghasilkan sejumlah varietas kedelai unggul seperti Mitani, Rajabasa dan Mutiara I, kata pemulia kedelai dari Batan, Harry Is Mulyani, di Jakarta, Kamis.

"Secara teknologi kita mampu membuat kedelai unggul," katanya. Ia menjelaskan, varietas kedelai lokal yang dihasilkan para peneliti Batan dengan teknik iradiasi lebih unggul dari kedelai impor dalam hal rasa dan rendemen.

Menurut dia, rasa kedelai lokal Batan lebih enak daripada kedelai impor karena memiliki kadar lemak dan protein lebih tinggi. "Sedangkan dari rendemen, jika satu kilogram kedelai kita bisa menjadi tahu empat kilogram, satu kilogram kedelai impor hanya bisa jadi tahu tiga kilogram," katanya.

Ia juga membantah anggapan bahwa biji kedelai lokal lebih kecil dibanding kedelai impor sehingga tidak bagus untuk produksi tempe.

Menurut dia, biji kedelai varietas Mutiara I berukuran 23 gram per 100 butir, tak kalah dengan yang impor.

Produktivitas tanaman kedelai varietas itu juga tinggi yakni rata-rata 2,3 ton per hektare dan bisa sampai empat ton per hektare. Mutiara I yang berumur genjah (umur dari tanam sampai panen) 82 hari itu juga tahan penyakit penggerek pucuk dan karat daun.

Batan baru memperkenalkan Mutiara I pada 2012 dengan menyebarkan 500 kilogram benih ke berbagai daerah seperti Jember, Blitar hingga Tabanan.

"Jadi Mutiara I baru ditanam di luas lahan ratusan ha saja, itupun kebanyakan baru ditanam sebagai benih, ujarnya.

Menurut Harry, masalah pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri lebih terjadi karena pemerintah tidak memberikan perlindungan atau insentif kepada petani kedelai, membuat mereka tidak bisa mendapat keuntungan layak dari menanam kedelai.

"Mengapa tak bisa memenuhi kebutuhan nasional, karena petani kedelai tak dilindungi pemerintah misalnya dengan menetapkan Harga Patokan Pemerintah atau HPP," kata dia.

Tanpa HPP, kata dia, petani yang sudah berjuang menghasilkan kedelai hanya bisa pasrah menjual hasil pertanian mereka dengan harga yang dipermainkan tengkulak.

Dia mencontohkan, petani kedelai hanya bisa menjual kedelai seharga Rp4.000 per kilogram sementara tengkulak bisa menjual ke pasar dengan harga Rp6.500 per kilogram. "Ini membuat petani makin tak berminat menanam kedelai," katanya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2011 produksi kedelai lokal hanya 851.286 ton atau 29 persen dari total kebutuhan sehingga Indonesia harus mengimpor 2.087.986 ton kedelai untuk memenuhi 71 persen kebutuhan kedelai dalam negeri.

Tahun 2012, total kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,2 juta ton dan 83,7 persen diantaranya untuk memenuhi kebutuhan pangan, termasuk untuk pengrajin tahu-tempe. Kebutuhan industri Kecap, Tauco, dan lainnya hanya 14,7 persen dan benih 1,2 persen.

Sumber : Republika
◄ Newer Post Older Post ►