Kini, 3 tahun sudah terlewati.Tak bisa lagi bicara pada negara dan korporasi Karena logika berfikir & bertindak mereka adalah logika profit & kekuasaan...
- Berdasarkan keterangan sejumlah mekanik penambangan PT. Tiga Musim Masa Jaya (TMMJ), perusahaan subkontrak penambangan, semburan gas disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Semburan (blow out) lumpur mulai terjadi pada 27 Mei sekitar pukul 07.00. Saat itu lumpur buatan untuk melindungi mata bor sekaligus untuk memudahkan proses pengeboran (oil base mud) hilang atau loss. Sejak saat itu lokasi pengeboran langsung ditutup dengan Police Line dan aparat kepolisian dari Polsek Porong telah menutup jalan menuju area pengeboran.
- Ketika bor berada di kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dan akan diangkat untuk ganti rangkaian, tiba-tiba macet. Gas tak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor, dan menekan ke samping, akhirnya keluar ke permukaan melalui rawa. “Sekitar pukul 05.00, lumpur dan gas akhirnya menyembur sekitar 100 meter dari sumur,” kata seorang mekanik (Kompas, 8/6/06).
- Menurut para saksi mata di sekitar kejadian, semburan itu disertai suara keras dan ketinggiannya mencapai 15 meter. Seorang pekerja sudah merasakan ada kebocoran gas sejak 28 Mei 2009. Dia sudah menginformasikan kepada pimpinannya di Lapindo. Ia mengingatkan bahwa jika pengeboran diteruskan dapat mengakibatkan kebocoran, dan yang akan keluar adalah gas beracun yang dapat menimbulkan terjadinya kebakaran. Tetapi, pimpinannya tidak menghiraukan peringatan itu. Dia meminta agar pengeboran dilanjutkan (SuryaOnline. 30/6/06).
Telah 3 tahun lumpur Lapindo menenggelamkan rumah, mesjid, sekolah, sawah, kebun, harta dan mata pencaharian warga masyarakat Sidoarjo yang menjadi korban. Berdasarkan analisis para pakar seperti seperti Prof. Koesoemadinata, Prof. DR. Sukendar, Simon A. Stewart dan Richard J, yang didukung hasil pengungkapan fakta lapangan, maka salah satu penyebab utama luapan lumpur Lapindo oleh human error [silahkan tanya ke mayoritas dosen geologi, pertambangan, perminyakan dan driling apakah human error atau bencana alam]. Bagaimana mungkin pihak Lapindo Brantas bersikokoh memerintahkan pengeboran padahal para operator lapangan telah mengatakan terjadi retakan dalam perut bumi. Belum lagi Lapindo Brantas mengabaikan SOP yang disampaikan oleh pihak Medco.
Kelalaian, keangkuhan sekaligus kerakusan memakan perut bumi Sidoarjo dengan mengabaikan aspek resiko dan SOP, tentu tidak dapat dibenarkan dalam dunia engineering. Begitu juga dalam kode etik Ikatan Insinyur Indonesia. Berdasarkan hasil analisis investigasi ini, maka Luapan Lumpor Lapindo lebih tepat disebut bencana oleh human error bukan bencana alam. Artinya, Lapindo Brantas harus bertanggungjawab penuh atas seluruh kerugian dan dampak dari bencana ulah manusia ini. Dan berdasarkan peraturan dan perundangan AMDAL seperti Pasal 34 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perusahaan yang mengabaikan aspek hukum/sistem operasi yang menyebabkan bencana wajib menanggung seluruh biaya dampak.
UU 23/1997 Pasal 34 ayat :
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
Dan dalam kasus ini, kita tidak melihat korelasi yang tepat bahwa luapan lumpur lapindo karena bencana alam, keadaan terpaksa atau pihak ketiga seperti yang dicantumkan dalam pasal 35 ayat 2 UU 23/1997. Sehingga, semestinya negara melalui lembaga kejaksaan menuntut tanggung jawab penuh Lapindo Brantas serta memidanakan para pelaku yang secara lalai mengabaikan bahaya seperti tercantum pasal 41 dan 42 UU 23/1997.
Mengapa Negara Menanggung 3 Triliun Untuk 3 Tahun Lapindo?
Dari penelusuran fakta dan analisis mayoritas para ahli [catatan: ada beberapa "ahli" yang berusaha mengatakan bahwa luapan lapindo karena bencana alam, gempa Yogya dll], maka cukup jelas siapa yang bertanggungjawab sesuai dengan UU yang berlaku. Tapi, apakah pemerintah kita menjalankan peraturan itu secara berani dan tegas?
Fakta berbicara lain. Kita tahu bahwa secara sembunyi-sembunyi [karena tidak dilaporkan ke KPU], Bakrie menjadi penyumbang kampanye Pilpres SBY-JK. Meskipun pada awalnya Bakrie dan Demokrat menyanggah, namun akhirnya JK mengiyakan bahwa Bakrie turut menyumbang Pilpres 2004 [tindakan menyembunyikan sumber dana kampanye melanggar UU Pilpres 2004]. Dan bisa kita tebak, bahwa “balas budi” SBY-JK kepada keluarga pemilik usaha Lapindo Brantas [Bakrie Brothres] membuat pemerintah SBY-JK mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14/2007 [direvisi Per. Pres 48/2008]. Dengan PerPres inilah secara sah pemerintah mendukung bahwa lumpur Lapindo adalah bencan alam. Oleh karena itu, maka negara wajib membayar dampak sosial dan ekonomi para korban lumpur Lapindo. Akibatnya, uang rakyat harus dianggarkan untuk membantu kelalaian yang ditimbulkan para saudagar yang sedang mengali kekayaaan perut Jawa Timur.
Inilah subsidi rakyat miskin [jilid lain, sebelumnya utang najis] kepada para saudagar kaya dengan berlindung peraturan presiden. Dengan terbitnya Per.Pres ini, maka sangatlah kuat adanya indikasi kebijakan koruptif. Inilah salah satu agenda utama tulisan saya bahwa selain pemberantasan korupsi materi (uang), ada satu lagi pemberantasan korupsi level tinggi yakni korupsi kebijakan. Telah banyak UU dan kebijakan yang dikeluarkan demi kepentingan asing dan para pengusaha serta menyengsarakan rakyat dan merugikan negara.
Selain itu, terbitnya Per.Pres 14/2007 cukup merugikan korban lumpur itu sendiri, serta secara tidak langsung menguntungkan citra sekaligus finansial Lapindo. Masyarakat hanya mendapat ganti rugi aset tanah dan rumah dari Lapindo. Kesehatan, pendidikan tidak teratasi. Dampak ekonomi dan infrastruktur harus menggunakan anggaran APBN. Belum sampai disitu, Pemerintah SBY-JK berkali-kali memberi kemudahan Lapindo Brantas dengan merubah kesepakatan antara pihak Lapindo Brantas dengan para korban. Setidak-tidaknya Lapindo melakukan 2 kali ingkar janji kesepakatan yang dibuat. Lalu, mereka berunding di Istana, lalu dilanggar lagi. Intinya rakyat korban lapindo yang rugi [hi.....jadi ingat perjanjian Indonesia-Belanda, dimana Belanda sering melanggar perjanjian]
Dan parahnya lagi, dana ganti rugi tanah, lahan dan rumah warga akibat lumpur lapindo sering disalahartikan sebagai dana bantuan Lapindo. Inilah konspirasi yang sangat merugikan rakyat kecil yang dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha, dari presiden, wakil presiden, menteri, anggota dewan, pejabat hukum hingga saudagar. Melalui tanda tangan Presiden SBY di Per.Pres 14/2007 [selanjutnya 48/2008], maka lebih kurang 3 triliun dana APBN dikucurkan untuk membantu kelalaian pengeboran Lapindo selama 2007-2009. Rinciannya sebagai berikut : 450 miliar pada 2007, 1.57 triliun pada 2008, dan 1.147 triliun pada 2009. [detik dan tempo].
Artinya, mayoritas rakyat miskin harus mensubsidi 3 triliun kepada para konglomerat pemilik perusahaan Lapindo Brantas. Mengapa SBY-JK begitu mudahnya mengeluarkan kebijakan yang akan menyebabkan anggaran rakyat tersedot untuk membantu unit usaha Menko Kesra Aburizal Bakrie? Apakah karena Bang Ical pernah menjadi penyumbang dana pilpres 2004? Mengapa Ical tidak dicopot dan hanya direshuffle dari Menko Ekonomi menjadi Menko Kesra? Apakah karena Bakrie adalah petinggi Golkar dan sahabat Jusuf Kalla?
Tentu kita tahu bahwa dalam berbagai kesempatan JK secara terbuka mengatakan kepada media bahwa ia memang pro saudagar lokal. Bagaimanapun, saya tidak rela bahwa negara harus mengeluarkan dana yang besar untuk mensubsidi si kaya,si pemilik Lapindo Brantas. Anggaran 3 triliun bukanlah angka yang kecil. Belum lagi, setiap tahun Pemerintah SBY-JK terus menumpuk utang baru dengan tetap membayar utang najis [artikel Utang Najis]. Ini bentuk ketidakadilan bagi mayoritas rakyat kecil. Sehingga sungguhlah munafik, jika pemerintah beserta partai pendukungnya mengklaim “pemerintah sudah pro-rakyat” dan harus dilanjutkan. Rakyat yang mana Pak?
Jelas, prioritas “rakyat” disini adalah para pengusaha, pemilik Lapindo Brantas, para bankir, para obligor BLBI, para pemegang saham perbankan BPPN. Sedangkan mayoritas rakyat yang tidak memiliki jabatan dan kapital, mereka menjadi warga kelas terakhir dengan “umpan” BLT titik. Sayangnya, dua orang ini memiliki elektabilitas tinggi. Sedangkan calon lain juga memiliki track record yang tidak jauh berbeda……
Tulisan ini didedikasikan untuk para korban lumpur Lapindo dan mayoritas rakyat Indonesia yang terpaksa membayar kesalahan para konglomerat ini melalui kebijakan pemerintah menganggarkan sekitar 3 triliun untuk Lapindo Brantas.source: nusantaranews