Studi di bawah judul “The War Card: Orchestrated Deception on the Path to War” itu menyimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan itu “merupakan bagian dari kampanye yang terorganisasi yang secara efektif mengarahkan opini publik dan, dalam prosesnya, mendorong bangsa (Amerika) kepada perang di bawah kebohongan yang jelas.”
Studi itu dilakukan Center for Public Integrity yang bekerja sama dengan the Fund for Independent in Journalism.
Jurubicara Gedung Putih, Scott Stanzel, menolak berkomentar mengenai studi. Ia hanya menegaskan bahwa masyarakat dunia tetap memandang Saddam Hussein sebagai ancaman. “Aksi (perang) yang diputuskan pada 2003 didasarkan pada penilaian kolektif lembaga-lembaga intelijen di seluruh dunia,” tambahnya sebagaimana dikutip Associated Press.
Menurut studi itu, sedikitnya dalam 532 kesempatan (pidato, pengarahan, wawancara, kesaksian, dan sebagainya), Bush dan para pejabat puncak pemerintahannya telah menyatakan secara eksplisit bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal (atau berupa memproduksinya), serta berhubungan dengan al-Qaeda atau sebaliknya. Semua upaya itu merupakan fondasi pemerintahan Bush untuk menginvasi Irak.
Kini, tidak diragukan lagi bahwa Irak tidak memiliki senjata pemusnah missal atau kaitan yang berarti dengan al-Qaeda. Ini merupakan hasil kesimpulan sejumlah investigasi bipartisan dari pemerintah, seperti yang dilakukan oleh Komite Intelijen Senat (2004 dan 2006), Komisi 9/11, dan Iraq Survey Group, dimana laporannya yang bernama “Duelfer Report” menegaskan bahwa Saddam Hussein telah menghentikan program nuklir Irak pada 1991 dan nyaris tidak berupaya untuk memulainya kembali.
Selain Bush, dalam studi itu, tercatat beberapa nama sebagai tokoh sentral yang paling sering memberikan pernyataan bohong selama periode tersebut: Wapres Dick Cheney, penasehat keamanan nasional Condoleezza Rice, Menhan Donald Rumsfeld, Menlu Colin Powell, Wakil Menhan Paul Wolfowitz, Jurubicara Gedung Putih Ari Fleischer dan Scott McCellan.
Bush menempati posisi pertama dengan 259 pernyataan bohong. Sementara yang kedua diduduki Menlu Powell dengan 244 pernyataan dusta.
Studi itu juga menyatakan bahwa efek kumulatif dari semua pernyataan sesat itu—yang digemakan ribuan pemberitaan dan penyiaran—begitu massif. Beberapa jurnalis—bahkan beberapa korporasi media—sejak saat itu mengakui bahwa peliputan mereka menjelang invasi begitu naif sehingga menjadi semacam justifikasi bagi pernyataan-pernyataan palsu pemerintahan Bush mengenai Irak di tengah publik AS.
Studi terbaru ini semakin menambah tekanan kepada pemerintahan Bush yang berusia kurang lebih 300 hari lagi. Di dalam negeri, pemerintahan Bush menghadapi tuduhan telah melanggar Konstitusi dan Undang-undang Kejahatan Perang AS. Sementara, di luar negeri, beberapa organisasi HAM telah memasukkan tuntutan kepada International Court of Justice terhadap nama-nama di atas dengan tuduhan telah melakukan genosida dan kejahatan perang