Pejabat IAEA itu mengecam sumber-sumber anonim diplomat Barat karena telah menggunakan taktik “propaganda” yang pernah mereka lakukan dalam kasus Irak menjelang invasi AS pada 2003, untuk menjustifikasi sanksi lanjutan atas Iran terkait program nuklirnya.
Ini kedua kalinya IAEA menolak laporan-laporan yang tidak berdasar terkait pengawasan profesionalnya dengan Iran. Pada Mei 2007, IAEA membantah laporan yang menyebutkan bahwa Iran telah melarang tim pengawasnya untuk memasuki PLTN di Nataz. Kali ini, pejabat senior IAEA itu, yang menolak namanya disebutkan, langsung menelepon kantor berita Reuters[1] untuk membantah langsung berita tentang konflik internal tersebut.
“Laporan-laporan mengenai ketidaksepahaman di dalam tubuh agensi (IAEA) tentang laporan Iran yang akan datang adalah omong kosong,” kata pejabat itu.
“Beberapa orang tidak ingin melihat isu (nuklir) Iran tuntas karena itu akan merintangi agenda-agenda tersembunyi mereka,” tambahnya seraya menyatakan bahwa orang-orang itu harus belajar dari kesalahan-kesalahan mereka di masa lalu, ketika semua propaganda mengenai senjata pemusnah massal Irak menjadi sekedar propaganda belaka.
Pejabat IAEA itu menegaskan bahwa pekerjaan IAEA berdasarkan pada data dan fakta di lapangan, untuk kemudian menyajikan sebuah laporan yang tidak memihak kepada Dewan Gubernur. “Tidak ada keberatan yang pernah disampaikan negara-negara anggota mengenai objektivitas dan profesionalisme dari laporan-laporan kami. Dan laporan yang akan datang (tentang nuklir Iran) juga tidak berbeda,” katanya.
IAEA di tengah badai tekanan
Selain isu yang dihembuskan sumber anonim perihal ketidaksamaan pandangan internal di tubuhnya, IAEA juga menghadapi tekanan dari sponsor-sponsor utama sanksi atas Iran.
Menlu Perancis Bernard Kouchner menyatakan bahwa ElBaradei harus “mendengarkan suara Barat” dan mengingatkannya bahwa IAEA hanya berwenang dari “sisi teknis” bukan “sisi politis” dari isu nuklir Iran[2]. pernyataan Kouchner ini menggemakan kembali kecaman Menlu AS Condoleezza Rice terhadap kesepakatan IAEA-Iran[3], yang dihasilkan pada Agustus 2007, mengenai daftar isu-isu utama yang harus direspon Iran dalam program nuklirnya.
Sementara itu, sebuah laporan menyatakan Iran telah mengklarifikasi satu dari dua isu utama yang tersisa, yakni tentang temuan jejak HEU (highly-enriched uranium) di laboratorium Universitas Tehran[4]. Jika IAEA mengonfirmasi jawaban Iran, maka ini merupakan hasil yang signifikan. Artinya, setelah 5 tahun plus rekor 2000 inspekur IAEA melakukan pemeriksaan intensif, tidak pernah ditemukan satu pun indikasi adanya program senjata nuklir di Iran. Lebih jauh, hal ini akan secara efektif mendorong IAEA untuk menutup berkas aktivitas masa lalu program nuklir Iran, sebagaimana secara eksplisit dijelaskan dalam kesepakatan IAEA-Iran pada Agustus 2007:
“These modalities cover all remaining issues and the Agency confirmed that there are no other remaining issues and ambiguities regarding Iran's past nuclear program and activities ... The Agency agreed to provide Iran with all remaining questions according to the above work plan. This means that after receiving the questions, no other questions are left.”[5]
Satu isu yang kini tersisa adalah tudingan bahwa Iran melakukan studi terhadap sistem persenjataan nuklir (terutama tentang rancangan hululedak nuklir). Tudingan ini berasal dari “informasi intelijen”; sebuah infomasi yang diperoleh dari apa yang dinamakan “laptop of death” yang konon diselundupkan dari Iran oleh seorang pembangkang Iran anonim dan kemudian diserahkan kepada intelijen AS oleh “sumber yang tidak diundang” (walk-in source)[6]. AS dengan senang hati melanjutkan informasi kepada IAEA meskipun tidak bersedia memberikan “laptop kematian” itu. Laptop inilah yang kemudian menjadi dasar bagi Amerika untuk terus menuduh Iran sebagai pernah memiliki program senjata nuklir.[7]
Bagaimana “bukti” ala James Bond ini akan dihadapi IAEA masih harus menunggu jawabannya. Namun sejauh ini, IAEA merasa tidak senang dengan intervensi agresif intelijen AS terhadap pekerjaan IAEA dalam menyelesaikan kasus nuklir Iran[8].
Pada kenyataannya, ini bukanlah yang pertama bagi IAEA untuk meluruskan berbagai kabar tidak berdasar mengenai nuklir Iran, terutama yang bersumber dari AS. Pada September 2006, IAEA mencap laporan Kongres AS tentang nuklir Iran sebagai “penuh ketidakjujuran”[9]. Lalu pada Oktober 2007, ElBaradei mengkritik retorika pejabat-pejabat Gedung Putih yang menurutnya hanya didasarkan pada “maksud-maksud tendesius” ketimbang bukti-bukti[10].
Tekanan terhadap ElBaradei dan IAEA tidak berhenti pada persoalan teknis semata tetapi juga pendiskreditan dan bahkan penghinaan rasialis. Washington pernah menuduh ElBaradei bersikap lembut dalam menangani kasus nuklir Iran[11]. Menteri Urusan Strategis Israel, Avigdor Lieberman, secara terbuka mencap ElBaradei sebagai “pro-Iran” hanya karena ia orang Mesir[12]. Tel Aviv pun pernah mendesak ElBaradei mundur dari kursi Dirjen IAEA untuk digantikan oleh Javier Solana[13].
Mampukah ElBaradei bersama orang-orangnya yang berdedikasi tetap bersikap profesional di tengah gelombang badai tersebut, seperti yang pernah mereka lakukan dalam kasus Irak dan menghasilkan Nobel Perdamaian itu? Sebuah jawaban yang pantas untuk dinantikan.