Sumber berita yang dikutip media-media tersebut adalah seorang diplomat Barat anonim yang disebut “akrab” dengan persoalan-persoalan di tubuh badan pengawas nuklir milik PBB tersebut. Menurut sang diplomat misterius, “para staf teknis” IAEA itu “merasa” bahwa status kasus nuklir Iran belum bisa dikatakan “tuntas”.
Ada hal-hal yang patut diperhatikan dari pemberitaan tersebut. Ini bukan yang pertama kali bahwa pemberitaan mengenai hubungan IAEA-Iran diambil dari sumber tanpa identitas. Salah satunya terjadi pada Mei 2007. Untuk kesekian kalinya, sumber diplomat anonim mengatakan bahwa Iran tidak memberikan akses kepada para pengawas IAEA untuk mengunjungi PLTN di Natanz. Pada saat itu, IAEA langsung merilis pernyataan yang menolak isi laporan tersebut. Menurut IAEA, tidaklah benar bahwa Tehran menolak inspeksi terhadap Natanz. Sebaliknya, IAEA justru diberi akses oleh Iran kepada fasilitas mana pun dan kapan pun. Pertanyaannya, apakah kali ini kita harus mempercayai laporan dari sang diplomat mistrerius?
Hal lainnya adalah bahwa sumber ketidaksepakatan “para staf teknis” IAEA terhadap substansi laporan bos mereka, sebagaimana diimplikasi dari berita itu, adalah “perasaan” bahwa kasus nuklir Iran belum bisa dikatakan “tuntas”. Akankah kita lebih menempatkan perasaan sebagai prioritas ketimbang fakta?
Oleh karenanya, biarkanlah fakta-fakta berbicara apa adanya.
Pada Agustus 2007, IAEA dan Iran menyepakati isu-isu utama yang harus ditangani dan diselesaikan satu demi satu dalam apa yang disebut “the modalities agreement”. Dari isu-isu utama tersebut, sebagian besarnya dinyatakan “tuntas” dalam laporan IAEA pada November 2007. Hal ini mencakup isu-isu utama seperti kepemilikan Iran akan sentrifugal P-1, penggunaan sentrifugal P-2, eksperimen dengan metal uranium, dan eksperimen dengan plutonium.
Pada saat itu, tampaknya hanya tersisa dua isu yang mesti dituntaskan. Pertama, ditemukannya jejak HEU (highly-enriched uranium) di sebuah universitas di Tehran. Dalam jawabannya, Iran menunjukkan bahwa jejak itu berasal dari komponen-komponen impor bekas yang terkontaminasi, dan IAEA sejauh ini mendapati bahwa jawaban Iran sesuai dengan temuan para pengawas di lapangan. Kedua, adanya dugaan bahwa Iran melakukan kajian atas sistem persenjataan nuklir dalam apa yang disebut “Green Salt Project”. Sebuah dugaan yang IAEA peroleh dari tudingan intelijen Amerika Serikat yang “konon” menyimpulkannya dari sebuah laptop yang diselundupkan keluar Iran. Sejauh ini, IAEA nyaris tidak bisa memastikan kebenaran informasi tersebut mengingat Amerika tidak pernah menyerahkan laptop tersebut untuk diverifikasi IAEA.
Alhasil, draf laporan IAEA terkini tampaknya akan mengklarifikasi dua isu di atas. Terlebih lagi, setelah secara langsung mengunjungi fasilitas-fasilitas nuklir Iran, ElBaradei mengindikasikan adanya “kemajuan positif” dalam kerja sama antara lembaganya dengan Iran. Pada saat yang sama, ElBaradei tetap menekankan perlunya Iran meratifikasi Protokol Tambahan, dimana Iran bersedia melakukan hal itu setelah hak-haknya atas teknologi nuklir diakui terlebih dahulu.
Tentu saja, perkembangan ini positif bagi siapa pun yang mencintai perdamaian dan lebih memilih penyelesaian negosiatif serta solusi teknis dan legal lewat IAEA. Namun sebaliknya, pihak-pihak, yang lebih menyukai penyelesaian konfrontatif melalui politik intimidasi dan sanksi DK PBB, pasti akan merasa cemas dengan perkembangan tersebut. Mereka akan kehilangan isu-isu yang perlu dimunculkan ke permukaan demi mengkriminalisasi program nuklir Iran.
Tak heran jika mereka harus mencari jalan lain.
Pertama, dengan mendiskreditkan ElBaradei lewat isu resistensi staf-staf teknis IAEA, mereka ingin dunia menganggap bahwa laporan ElBaradei tidak akan objektif; bahwa kasus nuklir Iran tidak ditutup; bahwa masih ada alasan-alasan lain untuk mencurigai Iran, bahkan meskipun IAEA tidak menemukan satu pun bukti. Kedua, mereka berupaya keras menyatakan bahwa meskipun aktivitas masa lalu nuklir Iran tidak bermasalah, apa pun yang Iran lakukan di masa depan terkait teknologi nuklir secara alamiah pastilah berbahaya karena rezim di Tehran adalah pendukung terorisme internasional serta “fasisme” dan “radikalisme” Islam.