Bermain Api di Xinjiang

Jaringan televisi nasional Cina, CCTV, pada 4 Agustus 2009, menayangkan pengakuan dari sumber yang tidak biasa. Hemet, adik bungsu Rebiya Kadeer, presiden Kongres Uighur Dunia (WUC), yakin bahwa sang kakak adalah otak di balik kerusuhan 5 Juli yang menewaskan 197 orang itu. “Dia menghubungi saya dari Amerika Serikat pada 5 Juli antara pukul 10.30 dan 11.00 siang waktu Xinjiang. Dia mengatakan sesuatu yang besar akan terjadi.”

Kadeer membantah pernyataan itu dan menganggapnya murni propaganda pemerintah Cina.

“Mother of Uighurs”, julukan Rebiya Kadeer, adalah “the rising star”. Awalnya, perempuan 62 tahun itu lebih dikenal sebagai orang terkaya kelima di Cina dan anggota parlemen Cina mewakili Xinjiang. Pada Nopember 2006, dia terpilih sebagai presiden WUC, organisasi kelompok separatis Uighur yang berbasis di Washington D.C. Kadeer mengalahkan figur-figur lama “Blok Munich”, seperti Isa Dolkun dan Erkin Alptekin. Peran suaminya, Sidik Rouzi, sebagai kepala seksi Uighur pada Radio Free Europe/Radio Liberty diduga kuat ikut mengangkat Kadeer.

Radio Free Europe/Radio Liberty adalah jaringan radio yang menikmati kucuran dana Kongres AS dan The Soros Foundation milik miliuner-filantropi kenamaan George Soros.

National Endowment for Democracy (NED), lembaga lain yang dibentuk dan dibiayai Kongres AS, juga turut menggelontorkan 215 ribu dolar AS setiap tahunnya kepada WUC. Direktur NED, Morton Abramowitz, bukan figur asing bagi aspirasi separatisme di propinsi barat daya Cina tersebut. Pada 2004, bersama Graham Fuller, bekas kepala pos CIA di Ankara, Abramowitz merupakan pemain kunci “proklamasi” negara Turkestan Timur (Xinjiang). Amerika menjadi satu-satunya negara di dunia yang mengakui Turkestan Timur. Upacara proklamasinya dilangsungkan di Capitol Hill, di bawah kibaran bendera-bendera Paman Sam.

Sebuah sumber intelijen melihat hubungan antara Kadeer dengan jaringan kelompok teroris-ultranasionalis Turki, Grey Wolves. Jaringan bisnis retail milik Kadeer diduga digunakan Wolves untuk mencuci uang hasil perdagangan heroin dari Afghanistan ke Asia Tengah. Selama 1960-an hingga 1970-an, semua aktivitas Wolves dikendalikan dari pos CIA di Ankara yang dikepalai Fuller. Wolves menjadi bagian dari “Operasi Gladio”, sebuah kode operasi rahasia anti-komunis NATO yang disokong CIA.

Nama Fuller juga muncul dalam daftar nama-nama yang disebutkan whistleblower FBI, Sibel Deniz Edmond. Mantan penerjemah FBI itu dipecat gara-gara melaporkan kepada atasannya nama-nama pejabat AS yang menjual informasi sensitif kepada intelijen-intelijen Turki dan Israel. Sayang, Edmonds dibungkam jurisprudensi kerahasian negara sehingga gagal bersaksi di pengadilan.

Sumber intelijen yang sama meyakini terjadinya kontak antara Grey Wolves dengan unit-unit Al-Qaeda di tiga perang: Chechnya, Bosnia, dan Kosovo. Munculnya sebuah jaringan baru bernama ETIM (East Turkestan Islamic Movement) dan adanya 22 tawanan Uighur di Kamp Guantanamo ditengarai merupakan buah hasil perkawinan silang Wolves-Al-Qaeda.
Rezim komunis kini memberlakukan hukum milter di Xinjiang. Lebih daripada 30 ribu pasukan dikirim ke Urumqi, ibukota Xinjiang. Sebuah periode baru dari drama konflik di wilayah penting jalur minyak Cina-Asia Tengah itu baru saja dimulai.
◄ Newer Post Older Post ►