BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, masih banyak ditemukan masyarakat yang menderita penyakit-penyakit infeksi, misalnya infeksi bakteri, virus, maupun parasit. Biasanya infeksi karena parasit disebabkan oleh parasit yang menyerang usus, masuk melalui sistem pencernaan dalam bentuk telur cacing. Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit berupa cacing.
Cacing Trichuris trichiura termasuk nematode usus. Manusia adalah hospes dari beberapa nematode usus. Sebagian besar nematoda menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Cacing Trichuris trichiura bersifat kosmopolit, terutama ditemukan di daerah panas dan lembab seperti di Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia, prevalensi masih tinggi seperti yang ditemukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1990/1991 antara lain 53% pada masyarakat Bali, 36,2% di perkebunan Sumatera Selatan, 51,6% pada sejumlah sekolah di Jakarta. Pada tahun 1996 di Musi banyuasin, Sumatera Selatan infeksi cacing Trichuris trichiura ditemukan sebanyak 60% di antara 365 anak sekolah dasar.
b. Landasan Teori
Tanah merupakan sumber penularan yang paling utama dan terpenting untuk berbagai parasit. Penyakit-penyakit parasit yang menular dari tanah disebut Soil-borne parasitoses. Sebagian besar stadium infektif parasit itu terdapat di tanah. Telur yang mengandung larva infektif parasit (cacing askarid, seperti Ascaris, Neosacaris, Parascaris, Ascaridia, Heterakis, Toxacaris) semuanya terdapat di tanah. Larva infektif berbagai cacing nematoda berbentuk filariform (cacing Strongyloides sp. atau cacing tambang), bentuk ookista protozoa parasit seperti Entamoeba, Jodamoeba, dan sebagainya. Semua bentuk infektif tersebut ditemukan ditanah. Stadium parasit-parasit itu tahan hidup berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, asal keadaan tanah serasi bagi kelangsungan hidupnya.
Manusia merupakan hospes dari cacing Trichuris trichiura atau lebih dikenal sebagai cacing cambuk. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis. Cacing betina Trichuris trichiura panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu buah spikulum.
Menurut Gandahusada (1998), morfologi telur Trichuris trichiura adalah telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes (manusia) bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung ialah bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari.
Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata, seperti diare, yang sering diselingi denagn sindrom disentri, anemia, dan berat badan turun.
Semakin banyak telur yang ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu, sayuran, dan lainnya), semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah. Jumlah telur yang dapat berkembang, menjadi semakin banyak pada masyarakat dengan infeksi yang semakin berat, karena terdeteksi di sembarang tempat, khususnya di tanah, yang merupakan suatu kebiasaan sehari-hari. (Gandahusada, 1998).
Yang terpenting untuk penyebaran penyakit ini adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum kira-kira 300C. di berbagai Negara, pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia termasuk tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia, frekuensinya berkisar antara 30-90%.
Bagi daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negara-negara yang memakai tinja sebagai pupuk. (Gandahusada, 1998).
BAB II
PELAKSANAAN
a. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran adalah sebagai berikut :
1. Kerucut imhoff volume 1 liter
2. Pipet tetes
3. Centrifuge dan tabung
4. Rak tabung
5. Mikroskop
6. Obyek glass
7. Cover glass
8. Ember
9. Pinset
b. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran adalah sebagai berikut :
1. Larutan NaOH 0,2%
2. Larutan Lugol atau Eosin 1%
3. Aquadest
c. Prosedur Kerja
Prosedur kerja dari praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran adalah sebagai berikut :
1. Sayuran dalam ember direndam dengan 1 liter larutan NaOH 0,2%.
2. Ditunggu selama 30 menit, setelah 30 menit digoyang-goyangkan lalu sayuran diangkat atau dikeluarkan.
3. NaOH rendaman dituang ke dalam kerucut imhoff, diamkan selama 60 menit.
4. Setelah 60 menit NaOh rendaman bagian atas dibuang, kemudian dengan pipet ukur diambil endapan rendaman sebanyak 10-15 ml.
5. Dimasukkan ke dalam tabung centrifuge lalu dipusingkan dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit.
6. Kemudian endapan paling bawah diambil untuk diperiksa secara mikroskopis.
7. Diambil obyek glass lalu ditetesi dengan satu tetes larutan lugol 1% atau eosin kemudian diambil endapan dari tabung centrifuge satu tetes lalu dicampur hingga rata, kemudian ditutup dengan cover glass.
8. Diamati dibawah mikroskop.
d. Tujuan
Praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya parasit pada sayuran.
BAB III
HASIL PEMERIKSAAN
Dari hasil praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran, kelompok 2 melakukan pemeriksan parasit pada sayuran kol dan hasil yang diperoleh yaitu tidak adanya telur parasit pada rendaman air (negatif).
BAB IV
PEMBAHASAN
Makanan tidak saja bermanfaat bagi manusia karena makanan merupakan sumber energi satu-satunya bagi manusia, tetapi juga sangat baik untuk pertumbuhan mikroba yang patogen. Oleh karena itu, untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum dari makanan, perlu dijaga juga sanitasi makanan.
Makanan dapat terkontaminasi oleh berbagai macam jenis racun yang berasal dari tanah, air, udara, manusia dan vektor. Racun dari lingkungan udara, air, tanah dan lainnya dapat masuk kedalam suatu biota. Racun yang dapat memasuki makanan saat ini juga semakin banyak, sebagai akibat sampingan penerapan tekhnologi pertanian, peternakan, pengawetan makanan dan kesehatan. Kontaminasi makanan dapat disebabkan karena kontaminasi pestisida, kontaminasi logam, kontaminasi mikroba yang dapat menyebabkan penyakit.
Sayuran merupakan komponen yang sangat penting dari makanan sehari-hari. Sayuran, khususnya sayuran daun memiliki kandungan protein, vitamin mineral, dan serat yang tinggi. Meski demikian, sayuran menjadi makanan yang mudah terkontaminasi oleh prasit, terutama parasit yang berasal dari tanah. Tanah merupakan sumber penularan yang paling utama dan terpenting untuk berbagai jenis penyakit. Penyakit-penyakit parasit yang menular dari tanah disebut soil-borne parasitoses. Sebagian besar stadium infektif parasit terdapat dalam tanah.
Salah satu jenis parasit yang sering ditemukan pada sayuran adalah Ascaris lumbricoides. Manusia yang terinfeksi Ascaris lumbricoides apabila menelan larva ataupun telur yang masih infektif yang kemudian menetas didalam usus halus manusia. Larva yang menembus dinding usus halus akan menuju ke pembuluh darah limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru-paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronkiolus dan bronkus. Larva dari trachea menuju ke faring. sehingga menimbulkan berbagai rangsangan pada faring yang akan menuju ke esofagus lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai menjadi cacing dewasa yang bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua bulan.
Pencegahan penyakit parasit tergantung pada didirikannya pertahanan terhadap penyebaran parasit dengan menerapkan secara praktis pengetahuan biologi dan epidemiologi parasit. Hampir semua parasit pada suatu saat dalam lingkaran hidupnya rentan terhadap tindakan pemusnahan yang khusus. Tindakan-tindakan dalam pemberantasan penyakit parasit :
1. Mengurangi sumber infeksi pada manusia dengan tindakan terapi.
2. Pendidikan menjaga diri untuk mencegah penyebaran infeksi dan untuk mengurangi kesempatan mendapat infeksi.
3. Pengawasan terhadap sumber air, makanan, keadaan tempat hidup dan tempat bekerja serta pembuangan sampah.
4. Pemusnahan atau pemberantasan hospes reservoir dan vektor.
5. Mendirikan pertahanan biologi terhadap penularan parasit.
Pada praktikum pemeriksaan prasit pada sayuran, jenis sayuran yang kami periksa adalah sayuran kubis. Kubis merupakan salah satu genus dari Brassicaceae, dengan nama latin Brassica olerace L. var. capitata L. karaktersitik tananman ini adalah daunnya tebal, agak keras, berlilin, dan rata. Daunnya biasanya tersusun berselang-seling, bertangkai, oblong, dan tunggal. Tipe perbungaannya secara khas adalah tandan memanjang dengan banyak bunga kecil terbentuk pada bagian ujungnya.
Terdapat beberapa jenis parasit yang mengkontaminasi sayuran kubis. Beberapa contohnya antara lain Streptomyces scabies, Botrytis cinerea, Leptosphaeris maculans, Plasmodiophora brassicae, dan masih banyak lainnya. Sedangkan untuk jenis nematoda, antara lain nematoda kista bit gula (Heterodera schachtii) dan nematoda kista kubia (Heterodera cruciferae). Selain itu, beberapa serangga Lepidoptera yang sering menyerang sayuran kubis, antara lain Pseudaletia unipucta (ulat grayak), Trichoplusia ni (ulat jengkal kubis), Barathra brassicae (ngengat kubis), dan Spodoptera littoralis (ulat penggerek).
Dari hasil praktikum, didapatkan hasil yang negatif, sehingga sayuran kubis aman untuk dikonsumsi. Meskipun aman untuk dikonsumsi, namun sayuran tersebut harus tetap dicuci sebelum diolah. Dalam praktikum ini sayuran kubis di rendam dengan larutan NaOH 0,2 %. Hal ini karena larutan NaOH mempunyai berat jenis yang lebih ringan dibandingkan dengan telur parasit sehingga telur parasit akan mengendap. Selain itu, juga digunakan larutan eosin untuk melatarbelakangi parasit yang ada sehingga parasit akan mudah terlihat apabila diperiksa dengan menggunakan mikroskop. Setelah dilakukan pemeriksaan berulang-ulang, hasilnya tetap negatif. Hal ini disebabkan karena waktu perendaman sayuran dalam larutan NaOH tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sehingga parasit yang ada di sayuran kubis tidak mengendap di dasar larutan.
BAB V
PENUTUP
1. Sayuran merupakan jenis makanan yang paling banyak dikonsumsi manusia dan paling mudah terkontaminasi oleh parasit, khususnya parasit yang berasal dari tanah karena sayuran memiliki kontak langsung dengan tanah.
2. Dari hasil praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran, dapat diketahui bahwa pada sayuran kubis yang diperiksa tidak terdapat parasit.
3. Untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kontaminasi bakteri pada sayuran, makanya hendaknya mencuci sayuran terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada, S.H. Ilahude, W. Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta.
Onggowaluyo, Jangkung Sumidjo. 2001. Parasitologi Medik I (Helmintologi). EGC, Jakarta.
Rubatzky, Vincent E., dan Mas Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia : Prinsip, Produksi, dan Gizi Jilid 2. ITB Press, Bandung.
Slamet, S.J. 2002. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Widyastuti, Retno dkk. 2002. Parasitologi. Universitas Terbuka, Jakarta.