Asal Mula Ikan Duyung

Menurut   kepercayaan masyarakat Sulawesi Tengah,   Indonesia, khususnya yang  berada di sekitar pantai, ikan duyung merupakan penjelmaan seorang  perempuan cantik. Bagaimana seorang wanita cantik bisa menjelma menjadi  seekor ikan duyung? Jawabannya dapat Anda temukan dalam cerita Asal Mula  Ikan Duyung berikut ini. 
* * *
Alkisah,  di sebuah kampung di daerah Sulawesi Tengah, Indonesia, hiduplah  sepasang suami-istri bersama tiga orang anaknya. Dua orang laki-laki dan  seorang perempuan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Sang Ayah  menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di ladang dan mencari ikan di  laut. Setiap pagi, sebelum berangkat ke ladang, sang Ayah selalu sarapan  bersama istri dan ketiga orang anaknya. 
Pada  suatu pagi, sepasang suami-istri bersama ketiga orang anaknya sedang  sarapan bersama dengan lauk ikan. Saat itu persediaan lauk ikan cukup  banyak, sehingga mereka tidak mampu menghabiskan semua. Usai sarapan,  sang Ayah pun bersiap-siap berangkat ke kebun. Sebelum berangkat, ia  berpesan kepada istrinya.
“Istriku! Tolong simpan sisa ikannya untuk lauk makan  siang nanti!” 
“Baik, Bang,” jawab istrinya singkat.
             Setelah  itu, berangkatlah sang Ayah ke Ladang. Istrinya pun segera menyimpan  sisa ikan itu di dalam lemari makan. Menjelang siang hari, anaknya yang  bungsu tiba-tiba menangis minta makan. Ia sangat kelaparan setelah  setengah harian bermain dengan kakak-kakaknya. Sang Ibu pun segera  memberinya sepiring nasi dan beberapa cuil daging ikan dari dalam  lemari. Si Bungsu makan dengan lahap sekali. Dalam beberapa menit saja,  lauk ikan yang diberikan oleh ibunya langsung ia habiskan. Si Bungsu pun  minta tambah lauk kepada ibunya. 
             “Ibu... aku ingin tambah lauk ikan lagi,” pinta si Bungsu  sambil menangis merengek-rengek.
             “Tapi sedikit saja ya, Anakku! Sisakan juga untuk makan  siang Ayahmu nanti,” bujuk sang Ibu.
             Bujukan  sang Ibu tidak membuat si Bungsu berhenti menangis. Bahkan, si Bungsu  menangis semakin menjadi-jadi sambil berguling-guling di tanah. Sang Ibu  tidak sampai hati melihat anaknya menangis. Ia pun memberikan semua  sisa ikan itu kepada si Bungsu. Setelah itu, barulah si Bungsu berhenti  menangis.
             Menjelang  siang hari, sang Ayah pulang dari ladang. Ia sangat lapar dan meminta  istrinya untuk segera menghidangkan makanan untuknya. Dengan perasaan  cemas, istrinya pun segera menghidangkan makanan. Setelah hidangan  tersedia, sang Ayah melihat hidangan itu tidak lengkap.
“Bu, mana sisa ikan tadi pagi? Kenapa tidak kamu  hidangkan?” tanya sang Ayah.
“Maaf, Bang! Tadi si Bungsu menangis minta makan dengan  lauk ikan,” jawab istrinya.
“Kenapa kamu berikan semua kepadanya?” tanya sang Ayah  dengan nada marah.
“Maaf,  Bang! Tadi aku hanya memberinya beberapa cuil daging ikan, tapi si  Bungsu terus menangis merengek-rengek dan berguling-guling di tanah  meminta ikan. Aku tidak tega melihatnya, Bang! Makanya aku berikan semua  sisa ikan itu kepadanya,” jawab istrinya.
Mendengar jawaban itu, sang Ayah semakin marah dan tidak mau  menerima alasan apapun dari istrinya. 
“Aku tidak mau tahu. Aku sudah berpesan kepadamu agar  menyimpan sisa ikan itu untuk makan siang!” bentak sang Ayah.
            Sang  Istri tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menangis dan meminta  maaf kepada suaminya karena merasa bersalah. Berkali-kali ia meminta  maaf kepada suaminya, namun sang Suami tetap tidak berhenti marah,  bahkan kemarahannya semakin menjadi-jadi. Sang istri yang tidak tahan  dimarahi terus meneteskan air mata. 
“Aku tak sanggup lagi tinggal di rumah ini. Suamiku benar-benar  tidak mau memaafkan aku lagi,” keluh sang Istri dalam hati.
            Akhirnya,  sang Istri pun memutuskan pergi. Pada saat tengah malam, ketika suami  dan anak-anaknya sedang tertidur pulas, secara diam-diam ia meninggalkan  rumah dan pergi ke laut. 
             Pada  pagi harinya, sang Ayah dan ketiga anaknya bangun tidur. Seperti  biasanya, setiap pagi mereka berkumpul untuk sarapan bersama. Betapa  terkejutnya sang Ayah, karena hidangan untuk sarapan bersama belum  tersedia. Dengan perasaan kesal, ia pun berteriak-teriak memanggil  istrinya. 
“Istriku... Istriku...! Kamu di mana?”
             Berkali-kali  sang Ayah berteriak memanggil istrinya, namun tidak mendapatkan jawaban  sama sekali. Sang Ayah bersama ketiga anaknya pun segera mencari sang  Ibu di sekitar rumah. Mereka sudah mencari ke mana-mana, tetapi mereka  tidak juga menemukannya. 
“Ayah! Apa yang harus kita lakukan? Si Bungsu menangis  tidak kuat lagi menahan lapar?” tanya si Sulung kepada ayahnya.
“Carilah ibu kalian di laut!” seru sang Ayah.
“Kenapa harus ke laut, Ayah?” tanya lagi si Sulung.
“Barangkali ibu kalian sedang mencari ikan di laut.  Bukankah si Bungsu kemarin menangis minta ikan?” imbuh sang Ayah.
           Mendengar  perintah sang Ayah, si Sulung pun segera mengajak kedua orang adiknya  pergi ke laut untuk mencari ibu mereka. Sesampainya di laut, mereka  memanggil ibu mereka sambil bernyanyi:
Ibu pulanglah Ibu...
Ibu pulanglah Ibu...
Si Bungsu ingin menyusu...
            Tidak  berapa lama kemudian, tiba-tiba ibu mereka muncul dari laut sambil  membawa beberapa ekor ikan, lalu segera menyusui si Bungsu. Seusai  menyusui, sang Ibu berpesan kepada anak-anaknya.
“Wahai, anak-anakku! Pulanglah ke rumah. Ayah kalian  pasti sudah menungggu kalian.”
“Ayo Bu, kita pulang bersama-sama!” bujuk ketiga anak itu  sambil menari-narik tangan sang Ibu.
“Kalian  pulanglah duluan! Ibu akan menyusul kalian. Bawalah ikan ini untuk  makan siang bersama Ayah kalian nanti. Ibu masih ingin mencari ikan lagi  untuk kalian,” ujar sang Ibu.
Ketiga  anak itu pun menuruti perintah sang Ibu. Mereka pulang sambil membawa  ikan hasil tangkapan Ibu mereka. sesampainya di rumah, mereka segera  melapor kepada sang Ayah.
“Ayah,  Benar. Ternyata Ibu sedang berada di laut mencari ikan. Ini hasil  tangkapannya,” kata si Sulung sambil menunjukkan ikan yang mereka bawa  kepada sang Ayah.
“Ke mana Ibu kalian? Kenapa dia tidak pulang bersama  kalian?” tanya sang Ayah.
“Ibu masih ingin mencari ikan yang lebih lagi, Ayah!”  jawab ketiga anak itu serentak.
“Kalau begitu, segeralah panggang ikan itu untuk makan  siang kita nanti!” seru sang Ayah.
           Ketiga  anak itu pun segera melaksanakan perintah sang Ayah. Tidak berapa  kemudian, ikan-ikan tersebut selesai mereka pangggang. Namun, sang Ibu  belum juga datang. 
“Ayo kita makan dan habiskan ikan pangggang ini. Tidak  usah menunggu Ibu kalian!” ajak sang Ayah.
“Tapi,  kasihan Ibu, Ayah! Kalau ikan pangggang ini kita habiskan, nanti Ibu  makan apa? Ibu pasti kelaparan sepulang dari laut nanti,” kata si  Sulung.
“Diam  kamu Sulung! Kamu tidak udah merasa kasihan kepada Ibumu. Bukankah dia  juga tidak kasihan kepada Ayah, karena telah memberikan semua sisa ikan  sarapan kemarin kepada si Bungsu,” bentak sang Ayah.
           Mendengar  bentakan itu, si Sulung dan kedua adiknya pun tidak berani membantah  dan terpaksa mematuhi perintah sang Ayah. Dengan perasaan berat hati,  ketiga anak itu pun terpaksa ikut menghabiskan ikan panggang itu bersama  sang Ayah. Hingga mereka selesai makan siang, sang Ibu belum juga  datang. Hati ketiga anak itu pun mulai cemas kalau-kalau terjadi sesuatu  terhadap ibu mereka. Hati mereka semakin cemas saat hari menjelang  sore, karena ibu mereka tidak juga kunjung pulang. Mereka pun tidak  berani menyusul ibu mereka ke laut, karena hari sudah semakin gelap. 
            Keesokan  harinya, barulah ketiga anak itu kembali ke laut menemui ibu mereka.  Sesampainya di laut, mereka tidak melihat ibu mereka. Mereka pun  memanggil sang Ibu sambil bernyanyi:
Ibu pulanglah Ibu...
Ibu pulanglah Ibu...
Si Bungsun ingin menyusu...
Ibu pulanglah Ibu...
Si Bungsun ingin menyusu...
            Setelah  tiga kali mereka bernyanyi, barulah ibu mereka baru muncul dari laut.  Betapa terkejutnya ketiga kakak beradik itu ketika melihat tubuh ibu  mereka dipenuhi dengan sisik ikan. Mereka sangat ketakutan dan tidak  percaya bahwa perempuan yang bersisik seperti ikan itu adalah ibu  mereka. Si Bungsu pun enggan untuk menyusu kepadanya. 
“Mendekatlah kemari, anak-anakku! Aku ini ibu kalian!”  bujuk sang Ibu.
“Tidak! Ibu kami tidak bersisik seperti ikan,” jawab  ketiga anak itu serentak.
             Setelah  berkata begitu, ketiga anak tersebut langsung pergi meninggalkan  perempuan bersisik itu. Mereka menyusuri pantai tanpa arah dan tujuan  yang jelas. Sementara sang Ibu yang telah menjelma menjadi ikan duyung  kembali ke laut. 
* * *
            Demikian cerita Asal Mula Ikan Duyung  dari daerah Sulawesi Tengah, Indonesia. Cerita di atas tergolong  dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman  dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik  adalah akibat buruk dari sifat kasar langgar. Sifat ini ditunjukkan oleh  perilaku sang Suami yang telah bersikap kasar kepada istrinya. Sikap  kasar yang ditunjukkan sang Suami itu menyebabkan istrinya minggat dari  rumah. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu  
Sumber:
- Isi cerita diadaptasi dari Muhammad Jaruki Atisah. 2001. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tengah. Jakarta: Grasindo.
 - Anonim. “Sulawesi Tengah,” http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Tengah, diakses tanggal 16 Februari 2009.
 - Effendy Tenas. 1994/1995. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru. BAPPEDA Tingkat I Riau.