“Secara kumulatif, penderita HIV/AIDS di Lamongan sampai saat ini telah mencapai 190 orang. Dari jumlah tersebut, 79 orang diantaranya telah meninggal dunia. Sementara di tahun 2010 ini, ditemukan 51 orang penderita baru, “ ujarnya. Fadeli mengungkapkan, pada umunya penderita HIV/AIDS di Lamongan adalah perantauan yang bekerja di luar Lamongan. Kemudian pulang ke kampung halaman dalam kondisi sudah parah, kemudian meninggal dunia.
“Saya percaya, pencegahan jauh lebih baik dari pada pengobatan pada kasus HIV/AIDS. Terlebih, fenomena HIV/AIDS di negara berkembang seperti Indonesia banyak menyerang generasi muda. Karena itu, hari ini saya mengajak para orang tua, pendidik, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk bersama-sama menyadarkan generasi muda dari bahaya yang sangat serius ini, “ kata dia.
Terkait perkembangan HIV/AID di Lamongan secara rinci disampaikan Kepala Dinas Kesehatan setempat, Mochammad Sochib. Disebutkan olehnya, dari 27 kecamatan di Lamongan, 26 diantaranya sudah terpapar HIV/AIDS. Hanya Kecamatan Sukorame yang belum ditemukan penderita diantara warganya. “Hari ini (kemarin, red) ada satu lagi penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia, “ ujarnya.
Disebutkan lebih lanjut oleh Sochib, Sukodadi dan Turi menjadi kecamatan yang paling banyak penduduknyab terpapar HIV/AIDS. Di kedua kecamatan yang memang dikenal penduduknya banyak merantau itu, masing-masing terdeteksi 17 penderita HIV/AIDS. Menurut Sochib, yang harus diberi perhatian bukan mereka yang waria. Karena dari data yang ada, hanya 5 persen penderita HIV/AIDS di Lamongan adalah waria.
“Lamongan sudah masuk fase 4 HIV/AIDS. Karena saat ini banyak ibu rumah tangga (IRT) yang menderita HIV/AIDS. Dari keseluruhan penderita, 44 orang diantaranya adalah pekerja swasta. Sementara 42 orang adalah IRT. Bahkan, tujuh orang balita ada yang tertular dari ibunya sejak di kandungan, “ papar dia.
Menyoroti terus naiknya penderita HIV/AIDS di Lamongan, Sochib menyebutkan hal itu terjadi karena penyakit tersebut saat ini bukan hanya terkait faktor kesehatan. Tapi juga sudah mjenyentuh masalah sosial. Mulai dari faktor agama, pendidikan, ekonomi, hingga adanya stigma negatif. Yakni stigma berlebihan pada penderita. “Padahal stigma negatif ini menurut saya melanggar HAM. Karena sejumlah penderita terpapar bukan karena perbuatan sendiri. Tapi tertular dari suami atau ibunya. Harus ada kesadaran bersama untuk mencegah penyakit ini semakin berkembang, “ ucapnya.