AYAM LOKAL INDONESIA


          Indonesia merupakan Negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, di antaranya adalah jenis-jenis ayam baik ayam lokal asli Indonesia maupun ayam lokal introduksi yang telah beradaptasi lama di Indonesia. Beberapa rumpun ayam di Indonesia merupakan plasma nutfah/sumber daya genetik yang masih perlu digali potensinya baik sebagai penghasil daging, telur, maupun hobi baik untuk suara, aduan maupun tampilan yang cantik.
          Pengertian ayam kampung adalah ayam-ayam lokal yang tersebar di wilayah Indonesia. Ayam-ayam kampung tersebut adalah hasil domestifikasi (tindakan yang menjinakkan unggas-unggas liar dengan program seleksi yang terarah).
          Secara genetis, ayam kampung yang banyak dipelihara sekarang ini diperkirakan berasal dari keturunan ayam hutan merah (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius). Perkiraan ini diperkuat adanya warna hijau yang dominan pada bulu ayam di sekitar leher dan warna kemerah-merahan di tubuhnya. Sekarang ini ayam kampung sudah tersebar luas di Indonesia dan di Malaysia.
          Hampir semua ayam kampung yang terdapat di Indonesia mempunyai tubuh yang kompak dan pertumbuhan dagingnya relatif baik. Pertumbuhan bulunya sempurna dan dan variasi warnanya juga cukup banyak                  
          Jenis ayam peliharaan memiliki penampilan yang beragam, dari ciri-ciri morfologis, warna, ukuran, daya roduksi, ketangkasan bertarung, hingga suara kokokannya yang khas. Ayam peliharaan yang terdapat di Indonesia sangat tinggi variasi genetisnya dan beragam penampilan fisiknya. Paparan secara lengkap jenis-jenis ayam kampung atau ayam lokal yang termasuk kelompok Gallus domesticus sebagai berikut:

a.             Ayam Kedu

          Ayam kedu adalah salah satu jenis ayam lokal yang berkembang di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Ayam ini banyak ditemukan di Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung atau di Desa Kalikoto, Kecamatan Grabak, Kabupaten Magelang. Sekarang penyebaran ayam kedu sudah meluas di luar kedua daerah tersebut. Berdasarkan warna bulunya, ayam kedu dibedakan menjadi empat macam:

1.        Ayam Kedu Hitam. 









Dilihat dari penampilan fisiknya, seolah ayam ini berwarna hitam legam. Namun, jika diamati lebih seksama ternyata bagian kulit, pantat dan jenggernya berwarna merah. Bobot ayam jantan dewasa sekitar 2-2,5 kg dan ayam betina sekitar 1,5 kg.
Ayam kedu yang berwarna hitam merupakan tipe petelur (Nataamijaya dan Diwyanto, 1994). Ayam kedu merupakan jenis petelur yang baik (Markens dan Mohede, 1941), dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa umur mulai bertelur 189 hari, produksi telur pada 12 bulan pertama adalah 123,9 butir dengan rataan bobot telur 50 g. Pada umumnya ayam Kedu mulai bertelur pada umur 6-7 bulan, dengan pemeliharaan secara intensif dapat mulai bertelur pada umur 4-4,5 bulan. Produksi telur selama satu tahun (umur 6-18 bulan) rata-rata 124 butir (Sunarto et al., 2004).
Produktivitas ayam kedu hitam yang diamati selama 20 mg seperti dikemukakan Nataamijaya dan Sitorus (1992) sebagai berikut: produksi telur 71 butir, bobot telur 42,4 butir, fertilitas 80,3%, daya tetas 79,6%, mortalitas 9,8%. Sementara itu produktivitas ayam kedu hitam yang dikemukakan                          
Creswell dan Gunawan (1982) adalah sebagai berikut: umur pertama bertelur 138 hari, umur 166 hari produksi 40%, puncak produksi 75%, produksi telur hen day 58,8%. Produksi telur 215 butir/tahun, produksi telur hen house 54,8%, rataan bobot telur 44,7 g, rataan konsumsi pakan 93 g/ekor dan konversi pakan 3,6. 


2.        Ayam Kedu Cemani.

          Tubuhnya hitam mulus, termasuk paruh, kuku,telapak kaki, lidah dan telak (langit-langit mulut). Daging dan tulangnya juga hitam (Rahmat, 2003). Bentuk fisik tubuhnya tinggi besar. Bobot ayam jantan 3-3,5 kg kg dan ayam betina sekitar 2-2,5 kg.
                 Bobot anak ayam Kedu Cemani umur sehari (DOC) berkisar 28-32 g/ekor, kemudian bobot ayam betina umur 5 bulan berkisar antara 1400-1500 g/ekor. Umur pertama bertelur berkisar 4,6-5 bulan dan produksi telur pada pemeliharaan diumbar dan semi intensif berkisar 56-77 butir/ekor/tahun, sementara yang dipelihara intensif dalam kandang batere dapat mencapai 215 butir/ekor/tahun. Bobot telur ayam berkisar antara 41-49 g/butir. Konsumsi ayam dewasa per hari mencapai 93 g per ekor (Iskandar, 2005). 


3.        Ayam Kedu Putih. 







                Warna bulunya putih mulus. Jengger dan kulit mukanya merah, warna kakinya putih atau kekuningan. Jengger berbentuk (bergerigi) dan posisinya tegak. Bobot ayam jantan dewasa sekitar 2,5 kg dan ayam betina sekitar 1,2-1,5 kg.
                 Bentuk badan besar dan berdaging tebal, ayam betina berumur 2 tahun mempunyai bobot rata-rata 2,5 kg dan ayam jantang dengan umur yang sama mempunyai bobot 3-3,5 kg (Sunarto et al., 2004). Hasil penelitian Creswell dan Gunawan (1982) pada pemeliharaan intensif dengan pemeliharaan standard sesuai dengan kebutuhannya, ayam Kedu Putih umur 1 hari (DOC), 4, 8, 12, 16, dan 20 minggu mempunyai bobot badan sebesar 25,5, 151, 550, 875, 1352 dan 1575 g. pada penelitian lainnya dengan kondisi yang sama (standar) menghasilkan bobot badan pada umur 4, 8, 12, 16 dan 20 sebesar 140, 404, 739, 950 dan 1320 g. Produktivitas sifat produksi telur ayam Kedu Putih sebagai berikut: umur pertama bertelur 170 hari, umur 40% produksi 202 hari, puncak produksi 72%, produksi telur Hen Day 54,0%. Produksi telur 197 butir/tahun, produksi telur Hen House 49,6%, rataan bobot telur 39,2 g, rataan konsumsi pakan 82 g/ekor/hari dan konversi pakan 3,8.

4.        Ayam Kedu Merah.

          Warna bulu hitam mulus, tetapi kulit muka berwarna putih dan jenggernya berwarna merah. Sosoknya tinggi besar. Bobot ayam jantan dewasa antara 3-3,5 kg dan bobot ayam betina 2-2,5 kg. menurut fungsinya, jenis ayam ini termasuk dwiguna, yakni sebagai ayam petelur dan ayam pedaging. Uniknya, setelah bertelur selama 40 butir baru menunjukkan tanda-tanda akan mengeram.

b.             Ayam Nunukan




 

          Ayam nunukan adalah salah satu jenis ayam lokal yang berkembang di Pulau Tarakan, Provinsi Kalimantan timur. Ciri fisik ayam ini adalah warna bulunya merah kekuningan, paruh dan kakinya berwarna kuning atau putih kekuningan, pertumbuhan bulu sayap dan bulu ekor tidak sempurna, jengger dan pialnya (gelambir) berwarna merah. Jenggernya berbentuk wilah, dan bergerigi delapan. Anak ayam yang berumur dibawah 45 hari cenderung berbulu kapas (Disnak Kaltim, 1995).
Berat badan ayam jantan dewasa 3,4-4,2 kg dan ayam betina 1,6–1,9 kg. Ayam nunukan termasuk jenis ayam dwiguna (petelur dan pedaging). Produksi telur per tahun sekitar 120–130 butir atau 40 butir per periode bertelur. Bobot telur antara 40–60 gram/ butir. Creswell dan Gunawan (1982) menyatakan bahwa pada pemeliharaan intensif dengan pakan standar sesuai kebutuhan, ayam Nunukan umur 1 hari (DOC), 4, 8, 12, 16 dan 20 minggu mempunyai bobot badan berturut-turut 30,2, 168, 482, 843, 1304, dan 1507 g. Produksi telur per tahun sekitar 100-140 butir, bobot telur 45-55 g, prosentase penetasan 61,2% dan dewasa kelamin ayam Nunukan adalah 7 bulan (Disnak Kaltim, 1995). Kualitas telur ayam Nunukan cukup baik yaitu mempunyai bobot telur 47,1 g dan warna kerabang telur cokelat muda keputihan (Wafiatiningsih et al., 1995).

c.              Ayam Pelung




                                                                                                                                                                                                                                                 Ayam pelung banyak berkembang di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat. Ciri fisik ayam ini adalah tubuh berukuran besar, tegap dan temboloknya menonjol. Selain itu, kakinya panjang dan kokoh serta bagian pahanya berdaging tebal. Kepala ayam jantan memiliki jengger yang cukup besar dan berbantuk wilah, posisinya tegak, bergerigi nyata dan berwarna merah cerah. Jengger ayam betina tidak berkembang dengan baik. Warna bulu ayam pelung kuning bercampur merah dan sedikit semburat hitam. Ayam jantan memiliki suara kokok yang khas sehingga banyak dipelihara sebagai klangenan (binatang kesayangan). Ayam pelung dianggap berkualitas jika posisi leher saat berkokok tegak dan suara kokokannya tinggi terdengar sampai jauh.
          Bobot ayam jantan dewasa antara 3,5–5,5 kg dan ayam betina 2,5-3,5 kg. Produksi telurnya sekitar 39–68 butir pertahun atau 13–17 butir per periode bertelur. Berat telur sekitar 40–50 gram per butir. Ayam bertubuh bongsor ini mulai bertelur pada umur 6–7 bulan.

d.             Ayam Sentul




                                                                                                                                                                                                                                                              Ayam lokal ini berkembang didaerah Ciamis, Jawa Barat. Meskipun asalnya sebagai ayam aduan, sekarang banyak dipelihara sebagai ayam pedaging dan petelur. Berdasarkan warna bulunya, ayam sentul terdiri dari lima varietas, yakni Sentul Kelabu (berwarna abu-abu), Sentul Geni (berwarna abu-abu kemerahan), Sentul Jambe (berwarna merah jingga), Sentul Batu (berwarna abu-abu keputihan), Sentul Debu (berwarna debu), dan Sentul Emas (berwarna abu-abu kekuningan). Warna ayam sentul cukup menarik, polanya mirip sisik naga.
          Ayam sentul mempunyai produksi telur yang banyak. Satu periode peneluran dihasilkan 12-30 butir telur. Prosentase penetasan tinggi yaitu 90%.

e.              Ayam Banten

          Ditilik dari namanya, sudah barang tentu ayam ini berasal dari daerah Banten. Ayam jantan yang berpenampilan prima dipelihara sebagai ayam aduan, sedangkan ayam yang kurang prima dijual sebagai ayam potong. Bobot ayam jantan dewasa sekitar 2 kg dan ayam betina sekitar 1,2 kg. produksi telur sekitar 16 butir per periode bertelur.

f.              Ayam Gaok






Ayam lokal ini berasal dari Pulau Puteran, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Keistimewaannya adalah suara kokoknya yang cukup panjang mirip ayam Pelung. Bentuk fisik ayam Gaok jantan besar, tegap, dan gagah. Ukuran jengger dan pialnya besar dan berwarna merah. Warna kuning kehijauan mendominasi bulu-bulunya, ditambah lagi semburat merah dan hitam pada beberapa bagian. Kaki berwarna kuning.
Berat ayam jantan dewasa sekitar 4 kg dan ayam betina sekitar 4 kg dan ayam betina sekitar 2-2,5 kg. ayam Gaok yang dipelihara secara intensif selama pengamatan 12 minggu dapat menghasilkan produksi telur sebanyak 30,2 butir, bobot telurnya 46,7 g, fertilitas 80,1%, daya tetas 79,4%, mortalitas 15,3% dan bobot badan pada umur 8 minggu sebesar 515,8 g (Nataamijaya dan Sitorus, 1992).

g.             Ayam Ciparage

Ayam lokal ini berkembang di daerah Karawang, Jawa Barat. Ciri fisiknya mirip ayam Bangkok, tetapi ukuran tubuhnya sedikit lebih kecil. Sosoknya ideal, tinggi tubuh dan ukuran tubuhnya tampak serasi. Jenggernya berwilah. Memiliki pial tunggal yang menjadi satu dengan cuping telinga. Berat ayam jantan dewasa sekitar 2,5 kg dan ayam betina dewasa sekitar 1,5 kg. Jumlah telur rata-rata 14 butir setiap periode bertelur.

h.             Ayam Bali

          Sesuai denan namanya, ayam ini berkembang pasat di Pulau Bali. Pejantannya di pelihara sebagai ayam sabug (aduan). Pertumbuhan bulu badannya cukup sempurna. Penampilan fisiknya tergolong prima, yakni besar, padat dan jika berdiri tegak membentuk sudut 60O. sayangnya bagian lehernya pendek dan kepalanya sedikit kecil. Ukuran jengger relatif kecil dan warnanya merah pucat. Ayam jantan dewasa beratnya sekitar 2,5 kg. jumlah telur rata-rata 14 butir setiap periode bertelur.

 i.               Ayam Wareng




         

Daerah penyebaran ayam lokal ini meliputi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ayam yang suara kokoknya cukup nyaring ini sangat lincah dan dan agak sulit ditangkap. Umur kawinnya tergolong muda, yakni empat  bulan . ukuran kepala dan leher si pejantan kecil. Kakinya ramping dan panjang. Warna bulunya ada tiga yakni hitam, blorok (belang–belang putih dan hitam), dan putih.
          Berat tubuh ayam pejantan dewasa rata-rata 1,5 kg dan ayam betina sekitar 1 kg dan produksi telurnya berkisar 15 butir per periode bertelur. Apabila dipelihara secara intensif produksi telurnya dapat mencapai 24-28 butir per periode bertelur, dikarenakan induk betina tidak memiliki sifat mengeram. Turunan ayam ini dapat direkomendasikan untuk jenis produksi telur seperti ayam Kedu (Kartiko, 1995).

 j.               Ayam Ayunai




 
                                                                                                                             Jenis ayam lokal ini berasal dari Merauke, Papua. Ciri fisiknya sangat khas, yakni bagian kepala dan temboloknya tidak ditumbuhi bulu alias gundul. Bagian lehernya sedikit ditumbuhi bulu, tepatnya di atas tenbolok. Berat tubuh ayam jantan dewasa berkisar 3,4-4 kg dan ayam betina berkisar 1,5-2 kg.
          Ayam Ayunai merupakan jenis petelur dan pedaging. Produksi telur 10-14 butir per periode peneluran. Dalam satu tahun produksi telur sebanyak 40-60 butir. Bobot telur 6-75 g. Prosentase karkas 75-80%. Umur siap kawin 8 bulan (jantan) dan 7 bulan (betina). Umur mulai fase produksi 6 bulan, lama produksi bertelur 30 bulan. Jarak antara masa bertelur 10-14 hari. Masa rontok bulu antar masa bertelur 6 minggu (Diwyanto dan Prijono, 2007).

k.             Ayam Tolaki


                                                                                                                                                                          Sulawesi tenggara adalah daerah asalnya. Warna bulu ayam jantan dewasa mirip ayam hutan merah (Gallus gallus). Bulu pelana dan leher berwarna merah keemasan. Gerakannya lincah dan terkesan liar. Badan tampak langsing, kekar dan berotot, punggung agak panjang, sayap menempel rapat di sisi badan.betuk kepala kecil, bulat, berparuh pendek kuat dan melengkung pada ujungnya. Mata berukuran sedang dan tajam dengan ekspresi berani. Bulu ekor panjang melengkung dan cukup lebat. Bentuk kaki langsing, panjang dan kokoh dengan telapak kaki seimbang. warna bulu pada ayam betina bervariasi mulai warna cokelat dengan kombinasi kuning, hitam serta campuran dari beberapa warna. Warna paruh kuning gelap atau kekuningan. Jengger kecil bergerigi berbentuk pea (single/kacang kapri), cuping telinga dan pial juga kecil dan menempel rapat pada kepala. Leher panjang, tegak dan kokoh terteutup bulu yang menempel  ketat (Nataamijaya et al., 1995).

          Berat ayam dewasa sekitar 2 kg dan ayam betina sekitar 1.5 kg. Produksi telur rata-rata 20 butir per periode bertelur (Rahmat, 2003).

l.               Ayam Delona

          Jenis ayam petelur ini berasal dari Kecamatan Delangu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tubuhnya langsing dan berbulu putih bersih. Bagian jengger, gelambir, dan kulit mukanya berwarna merah. Warna kakinya putih, kadangkala ada yang kuning keputiih-putihan. Sosoknya sekilas mirip ayam ras petelur leghorn strain hyline.
          Berat ayam jantan dewasa sekitar 2 kg dan ayam betina sekitar 1 kg. rata-rata produksi telurnya per tahun sebanyak 200 butir. Berat telur yang kerabangnya (cangkang) berwarna cokelat ini antara 40-45 gram per butir.

m.           Ayam Merawang/Bangka





                                                                                                                             Ayam merwang disebut juga ayam Bangka. Nama tersebut didasarkan pada penyebaran dari ayam ini yang terkonsentrasi di kecamatan Merawang di daerah Sumatera bagian selatan khususnya di Pula Bangka.
          Warna bulu dominan ayam Merawang adalah cokelat, merah dan kuning keemasan, dengan bulu-bulu columbian (warna bagian ujung sayap dan ekor berwarna hitam). Warna kulit paruh dan ceker (shank) putih atau kekuningan, sedangkan warna mata kuning. Jengger jantan berukuran besar, tegak, dan bergerigi bagian atasnya dengan ukuran pial juga besar. Bobot badan dewasa jantan sekitar 1,8-2,7 kg dan betinanya sekitar 1,2-1,7 kg. Keunggulan ayam ini adalah sebagai produksi telur dan daging.
          Ayam Merwang mempunyai potensi ekonomi yang cukup tinggi. Menurut Iman (2002) bibit ayam Merawang dapat diusahakan sendiri serta perawatannya tidak sulit karena sudah beradaptasi dengan lingkungan Indonesia. Bila dipelihara secara intensif pertumbuhannya relatif cepat. Ayam Merawang betina bertelur pertama kali pada umur 5,5 bulan. Bobot telur berkisar antara 38-45 g. produksi telur dapat mencapai 120-125 butir/ekor/tahun.

Perkembangan Ayam Lokal

          Keunikan dan keanekaragaman ayam lokal dapat disebabkan oleh keanekaragamn genetik yang dimiliki. Pemeliharaan ayam lokal secara tradisional dilingkungan pedesaan hanya dapat menghasilkan produksi telur 60 butir/tahun dengan bobot badan 1,2 kg pada umur 20 minggu. Perbaikan cara pemeliharaan dari tradisional menjadi intensif dapat meningkatkan produksi telur 151 butir/tahun dengan bobot badan pada umur 20 minggu sebesar 1,75 kg. ini berarti bahwa tekanan lingkungan pemeliharaan yang tradisional dapat menekan kemampuan genetik produksi ayam lokal itu sendiri, sehingga dengan perbaikan lingkungan secara optimal memunculkan kemampuan produksi yang optimal pula (Supraptini dan Martoyo, 1977; Creswell dan Gunawan, 1982).
          Tingkat produksi ayam lokal dapat diperbaiki melalui perbaikan sistem pemeliharaan, dan hasil perbaikan tersebut menyebabkan variasi yang sangat besar. Perbaikan sistem pemeliharaan dari tradisional menjadi intensif dapat meningkatkan produksi telur ayam lokal dari sekitar 58-78 butir per tahun menjadi sekitar 120-151 butir per tahun. Hal yang sama dapat terjadi pula pada peningkatan bobot badan pada umur 20 minggu dari sekitar 950-1200 g menjadi 1400-1750 g (Astuti et al., 1980; Wihandoyo et al., 1981; Wiloeto dan Rozani, 1986).

Kinerja ayam kampung petelur dipelihara secara ekstensif, semi intensif dan intensif
Uraian
Cara Pemeliharaan
Ekstensif
Semi Intensif
Intensif
Produksi telur (butir/induk/tahun)
Produksi telur (%)
Frekuensi bertelur (kali/tahun)
Daya tetas telur (%)
Bobot telur (g/butir)
Konsumsi pakan (g/ekor/h)
Konversi pakan
Mortalitas s/d 6 minggu (%)
Mortalitas mulai produktif s/d afkir (%)
47
13
3
74
39-48
< 60
> 10
50-56%
>15
59
29
6
79
39-48
60-68
8-10
34-42
15
146
40
7
84
39-43
80-100
4,9-6,4
<27
<6
Sumber; Diwyanto et al. (1996).

          Potensi ayam lokal adalah sangat besar apabila dikembangkan dengan sungguh-sungguh dan benar sesuai dengan keunikan sifat yang dimilikinya. Misalnya dalam pembentukan galur murni, atau pembentukan bangsa baru ayam lokal. Pengenalan ayam lokal melalui program pemurnian dan pemuliaan sifat unik tertentu yang dimiliki dengan seleksi yang terarah akan memberikan arti ekonomis yang tinggi dalam pemanfaatan ayam lokal.
          Walaupun perkembangan populasinya tidak secepat ayam ras yang dapat di produksi missal, ayam lokal Indonesia tetap berperan menjadi bagian dari penyumbang protein asal unggas seperti bebek, puyuh dan ayam ras. Pertumbuhan ayam lokal tidak lebih dari 15% per tahun. Pasar ayam lokal sangat terbuka lebar, ini ditunjukkan dengan belum terpenuhinya permintaan pasar ayam lokal yang berkisar 25% dari kebutuhan nasional.
          Pengembangan ayam lokal sampai saat ini masih terdapat banyak hambatan. Ketersediaan bibit yang belum mencukupi dari aspek kualitas dan kuantitas, belum optimalnya pemanfaatan sumber daya pakan lokal, kurangnya modal usaha dan terbatasnya akses kepada kelembagaan keuangan menjadikan usaha beternak ini kurang berkembang. Dalam perkembangan ayam ras semua kegiatan mulai dari pembibitan sampai dengan pasca panen hamper semuanya di fasilitasi oleh swasta, tetapi dalam usaha aym lokal ini belum banyak yang melakukannya sebagaimana ayam ras. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan.


DAFTAR PUSTAKA
Astuti, J. M.,H. Mulyadi dan J. H. P. Sidadolog. 1980. Pengukuran Parameter Genetik Ayam Lokal. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Creswell, DC dan B. Gunawan. 1982. Ayam-Ayam Lokal di Indonesia: Sifat-Sifat Produksi pada Lingkungan yang Baik. Balai Penelitian Ternak.

Disnak. Dinas Peternakan Kalimantan Timur. 1995. Pengembangan Ayam Buras Nunukan dalam Rangka Mendukung Program Inpres Desa Tertinggal di Kalimantan Timur. Disnak Prop, Dati I Kaltim, Samarinda.

Diwyanto, K dan S. N. Prijono, 2007. Keanekaragaman Sumber Daya Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Diwyanto, K., D. Zainuddin, T. Sartika, S. Rahayu, Djufri, C. Arifin dan Cholil. 1996. Model Pengembangan Peternakan Rakyat Terpadu Berorientasi Agribisnis. Komoditi Ternak Buras. Laporan, Dirjennak bekerjasama dengan Balitnak.

Iman, R. 2002. Ayam Merawang Ayam Lokal pedaging dan Petelur. Penebar Swadaya, Bogor.

Iswanto, H. 2002. Ayam Kampung Pedaging. AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Iskandar, S. 2005. Strategi Pengembangan Ayam Lokal. Wartazoa, 16(4): 191-197.

Markens dan Mohede. 1941. Sumbangan Pengetahuan Tentang Ayam Kedu (Bijdrage Tot De Kennis Van De Kedoe-Kip) dalam Ned. Ind. Bladen v, Diergeneesk, Vol., 53: 436-457.

Nataamijaya, AG, K. Diwyanto, SN. Jarmani dan haryono. 1995. Konservasi Ayam Buras Langka (Pelung, Nunukan, Gaok, Kedu Putih, Sentul dan Jenis Ayam Buras lainnya). Laporan Penelitian, Balai Penelitian Ternak Bekerjasama dengan Proyek P4NP Badan Litbang Pertanian.

Nataamijaya, AG dan K. Diwyanto. 1994. Konservasi Ayam Buras Langka, Koleksi dan Karakterisasi Plasma Nutfah Pertanian. Prosiding Review Hasil dan Program Penelitian Plasma Nutfah Pertanian.

Nataamijaya, AG dan P. Sitorus. 1992. Program Konservasi Ayam Buras Langka. Laporan Penelitian. Proyek Penelitian Pemanfaatan dan Pelestarian Plasma Nutfah Pertanian. Badan Litbang, Deptan.

Rahmat, R. 2003. Ayam Buras. Intensifikasi dan Kiat Pengembangan. Kanisius, Yogyakarta.

Sunarto., Hesty N., Delly N., dan Dwi SY. 2004. Petunjuk Pengembangan Ayam buras di BPTU Sembawa, Dep. Tan. Dir Jen, Bina Produksi Peternakan Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Dwiguna dan Ayam, Sembawa, Palembang.

Wafiatiningsih, I, Sulistyono, dan RA Saptati. 1995. Performans dan Karakteristik Ayam Nunukan. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Kartiko, M. 1995. Ayam Wareng Tangerang, Trubus. Th XXVI, Oktober 1005. Hal: 38-39.

Supraptini, M. S. dan H. Martoyo, 1977. Productivity of Natife Chicken and Rhode Island Red in a Confinement System. Proc. First Poult, Sci and Industry Seminar, Bogor.

Wihandoyo, H. Mulyadi dan Triyuwanto. 1981. Studi Tentang Produktivitas Ayam Kampung yang Dipelihara Rakyat di Pedesaan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wiloeto, D dan H. R. Rozani. 1986. Beberapa Aspek yang Mempengaruhi Produktivitas Ayam Buras dalam Pengembangan Ayam Buras di Jawa Tengah. Temu Tugas Subsektor Peternakan No. 1, Penelitian Ternak Klepu.



◄ Newer Post Older Post ►