Hutan Kita Terus Digerogoti


Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, tampak dari udara, Jumat (17/12/2010). Keindahan kawasan yang vegetasi hutannya sangat rapat ini serta keragaman hayati di dalamnya beragam itu kini terancam hilang jika alih fungsi hutan terus terjadi.

Oleh Irma Tambunan Sekitar satu jam melintasi bumi Jambi dari ketinggian 3.048 meter di udara, pesawat jenis caravan project milik Susi Air yang kami tumpangi tiba di atas Taman Nasional Kerinci Seblat, wilayah Kabupaten Merangin, Jambi, Jumat (17/12/2010) sore. Semua mata penumpang langsung tertuju pada satu titik di bawah sana: penggundulan dan pembakaran hutan.
Atas instruksi Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi Tri Siswo, pesawat segera merendahkan ketinggian jelajahnya menjadi 1.828,8 meter saja sehingga pandangan kami ke bawah semakin jelas. Wajah taman nasional itu terlihat berbeda, menyisakan bukit-bukit gundul berwarna kecoklatan.
Tampak ratusan batang pohon bergeletak di tanah setelah baru ditebangi. Tak jauh dari situ, asap kebakaran mengepul ke langit, menyatu dengan asap dari titik pembakaran lain di sekitarnya. Kami memperkirakan ada lebih dari 20 titik pembakaran lahan di sepanjang kawasan tersebut.
Kita mungkin tidak akan menyangka, bagaimana kawasan hutan yang terjal dan berbukit-bukit serta jauh dari pusat kota ternyata begitu ramai dirambah pendatang dari Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan.
Pada satu kesempatan berbeda, saya mengunjungi kawasan itu melalui jalur darat. Salah seorang teman mengatakan, selama ini belasan angkutan umum ilegal dari Bengkulu dan Sumsel datang melewati ibu kota Merangin, Bangko, setiap harinya untuk membawa perambah masuk. Para perambah inilah yang membuka Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan hutan penyangga menjadi perkebunan kopi.
Sentra kopi
Rentang waktu 10 tahun lebih telah mengubah wajah kawasan ini: menjadi hamparan kebun kopi yang berbuah lebat. Aktivitas ekonomi masyarakat setempat begitu hidup dan bahkan telah mengangkat nama daerah Merangin sebagai salah satu sentra penghasil utama kopi di Sumatera.
Salah satu daerah penghasil kopi, Kecamatan Lembah Masurai, memproduksi kopi kering 8.000 ton tahun 2005 dan terus meningkat menjadi 15.000 ton tahun 2006. Tahun 2007, volume produksi kopi naik dua kali lipat menjadi 30.000 ton seiring kian meluasnya area penanaman. Sementara itu, ada enam kecamatan lainnya yang juga menghasilkan kopi, yaitu Sungai Manau, Lembah Masurai, Tabir Barat, Pangkalan Jambu, Jangkat, dan Sungai Tenang.
Di satu sisi, perekonomian masyarakat setempat begitu hidup. Bersamaan dengan itu, laju perusakan hutan juga kian mengerikan. Sangat ironis, ketika TNKS tengah didaftarkan ke UNESCO untuk masuk sebagai salah satu warisan dunia, kekayaan alamnya justru terus digerogoti.
Tidak hanya untuk pembukaan kebun kopi, perambahan liar juga marak untuk kebun sawit. Itu terlihat, antara lain, di sejumlah titik di Taman Nasional Bukit Duabelas dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Pinggiran taman-taman nasional ini juga jadi lokasi perambahan para pendatang.
Berdasarkan data Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, penyusutan hutan di Jambi, yang sebagian besar berada pada sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, terjadi paling drastis dari tahun 1995 hingga 2000. Tutupan hutan menyusut 1 juta hektar dari sebelumnya 2 juta hektar.
Lalu, tahun 2000-2005, penyusutan terus berlangsung sehingga luas hutan tersisa sekitar 700.000 hektar. Pada saat itu, DAS Sungai Batanghari dinyatakan masuk dalam 10 sungai paling kritis di negeri ini.
Demi HTI dan sawit
Menurut Rudi Syaf, Direktur Komunikasi KKI Warsi, faktor terbesar penyebab kerusakan itu adalah pembukaan hutan alam untuk kepentingan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit. Pembangunan ini membutuhkan pembukaan hutan yang masif. Akibatnya, fungsi kawasan itu untuk menyerap air merosot drastis. Banjir menjadi kerap terjadi pada musim hujan, lalu diikuti bencana kekeringan pada musim kemarau.
Dalam kurun satu setengah tahun terakhir, ada empat lokasi hutan alam di Jambi yang beralih fungsi untuk memenuhi kebutuhan tanaman industri akasia, pertukangan, dan karet. Empat perusahaan yang memperoleh izin HTI adalah PT Lestari Asri Jaya (LAJ) seluas 61.000 hektar, PT Mugi Triman (37.500 hektar), PT Malaka Agro Perkasa (24.485 hektar), dan PT Bukit Kausar (33.310 hektar).
Salah satu kawasan HTI, yaitu yang dikelola PT LAJ, merupakan habitat inti satwa kunci, seperti gajah sumatera, harimau sumatera, dan tapir. Sekitar 90 persen populasi gajah di wilayah tengah Sumatera berada di kawasan ini. Sementara jejak harimau masih kerap ditemui di dalam hutan.
Bersamaan dengan terjadinya konversi hutan alam menjadi tanaman industri, merebak pula konflik antara satwa liar dan penduduk di sembilan desa di tiga kecamatan sekitar hutan yang merupakan ekosistem Bukit Tigapuluh ini. Konflik ini bahkan berdampak dengan tewasnya seorang warga akibat terinjak gajah yang mengamuk saat diusir keluar dari perkebunan setempat.
Saat ini tersisa 220.000 hektar hutan produksi. Itu berarti hutan alam Jambi makin habis apabila areal untuk HTI terus dikonversi. Hutan juga akan kian habis jika aktivitas perambahan liar dibiarkan begitu saja, menjadi persoalan besar di kemudian hari. Sedikit demi sedikit, perambah dan pembalak terus menggerogoti kekayaan hutan alam Jambi.
Tanpa kita sadari, nyaris tak ada lagi hutan yang tersisa. Tidak heran apabila bencana kian menyatu dengan manusia.

Keep Our Forests encroached
About an hour across the earth from a height of 3048 meters Jambi in the air, the aircraft type owned by Susi Air caravan project that we were riding arrives at the top of the National Park Kerinci Seblat, Merangin regency, Jambi, on Friday (12/17/2010) afternoon. All passengers eyes fixed on a point directly below: deforestation and forest burning.
Under the instructions of the Head of the Natural Resources Conservation Center (KSDA) Jambi Tri Siswo, immediately degrading the aircraft altitude of 1828.8 meters home range becomes so our view is becoming increasingly clear downward. The face that looks different national parks, leaving a barren hills lightly browned.
Looks hundreds bergeletak tree trunks on the ground after just cleared. Not far from there, fire smoke billowing into the sky, one with the smoke from burning another point in the vicinity. We estimate there are more than 20 points of land along the combustion region.
We may not be surprised, how steep forested areas and hilly and far from downtown was so crowded encroached upon immigrants from Bengkulu, Lampung and South Sumatra. On a different occasion, I visited the area by land. One friend said, so far dozens of illegal public transport come from Bengkulu and South Sumatra through the capital Merangin, Bangko, every day to bring the browser entry. The browser is what opened the Kerinci Seblat National Park (TNKS) and buffer forests into plantations of coffee.
Coffee Centers Span of 10 years has changed the face of this region: a stretch of lush coffee plantations that bear fruit. Local economic activity so alive and has even picked a name Merangin area as one of the major production centers in Sumatra coffee. One of the coffee producing areas, District Masurai Valley, producing 8,000 tons of dried coffee in 2005 and continued to increase to 15,000 tons in 2006. In 2007, the volume of coffee production doubled to 30,000 tons as the increasingly widespread planting area. Meanwhile, there are six other districts that also produce coffee, the River manau, Masurai Valley, Western Veil, Pangkalan Jambu, ford, and the Quiet River.
On the one hand, the economies of local communities so alive. Simultaneously, the rate of forest destruction is also increasingly dire. Very ironic, when the middle TNKS registered to UNESCO for entry as one of the heritage world, they continue to be undermined its natural wealth. Not only for the opening of the coffee plantations, logging is also rampant encroachment for palm plantations. It looks, among other things, at some point in the Park Hill and Park Hill Twelve Thirty. Periphery of national parks has also become the location of encroachment by settlers. Based on data from the Community Conservation Indonesia (KKI) Warsi, shrinking forests in Jambi, which are mostly located in the watershed (DAS) Batanghari, occurred most dramatically from 1995 to 2000. Shrinking forest cover 1 million hectares from the previous 2 million hectares. Then, from 2000-2005, continuing depreciation so that the remaining forest area of about 700,000 hectares. At the time, otherwise Batanghari River watershed in the top 10 most critical river in the country. For the sake of oil palm plantations and
According to Rudi Syaf, Communications Director KKI Warsi, the biggest factors causing damage to it is the opening of natural forests for the benefit of industrial plants (HTI) and oil palm plantations. This development requires a massive forest clearing. As a result, the region functions to absorb water dropped drastically. Flooding became often occur during the rainy season, followed by drought in the dry season.
Within the last year and a half, there are four locations of natural forests in Jambi the switching function to meet the needs of industrial plants acacia, carpentry, and rubber. Four companies are licensed HTI PT Asri Lestari Jaya (LAJ) covering 61,000 hectares, PT Mugi Triman (37,500 hectares), PT Malacca Agro Perkasa (24,485 ha), and PT Bukit Kausar (33,310 hectares).
One of the plantation area, which is managed by PT LAJ, is a core habitat for key species, such as Sumatran elephants, Sumatran tigers and tapirs. About 90 percent of the population in the central Sumatran elephants in this region. While traces of the tiger is still frequently encountered in the forest.
Along with the conversion of natural forest into plantations, also broke the conflict between wildlife and people in nine villages in three districts around the forest which is the Bukit Tigapuluh this ecosystem. This conflict is even affected by the death of a resident from being walked on a rampage when an elephant kicked out of the local estates.\
Currently, the remaining 220,000 hectares of production forests. That means the natural forests in Jambi increasingly exhausted if the area continues to be converted to plantations. Forest will also increasingly run out if the activity of wild encroachment unpunished, a major problem in the future. Little by little, encroachers and loggers continue to undermine the wealth of natural forests in Jambi.
No we know, hardly any more forest left. No wonder if the increasingly integrated with the human disaster.

◄ Newer Post Older Post ►