Malah, krisis ekonomi global yang saat ini sedang terjadi dan hampir membuat negara adidaya seperti Amerika Serikat ambruk lantaran hampir semua bank besar miliknya ambruk, dinilai oleh Suprayitno tidak memberi dampak yang terlalu signifikan bagi usahanya.
Saat krisis 98, Suprayitno yang memulai bisnis sepatu sejak tahun 1984 ini mengaku kesulitan untuk bertahan dibisnis ini.
"Krisis sekarang tidak separah waktu tahun 1998. Waktu itu langsung jatuh. Dari biasanya 300-400 pasang per hari, pesanannya langsung menurun menjadi 2-3 pasang sehari. Walaupun sedikit kita tetap layani agar bisa bertahan," kenang Ayah dari
Pengalaman tersebut, lanjut Suprayitno, telah membuat dirinya yakin kalau krisis ini bisa dilaluinya karena meskipun krisis namun pesanan sepatu terus mengalir.
"Sehari itu bisa dua puluh pasang, dan kadang ada borongan bisa sampai ratusan pasang. Yang penting kualitas kita tetap terjaga dan kita bisa memuaskan konsumen," ungkap pria asal
Sudah puluhan tahun Suprayitno dan menggantungkan hidupnya sebagai pengusaha sepatu buatan sendiri (home made shoes). Sejak tahun 1984, Suprayitno memulai usaha ini secara kebetulan."Pertamanya cuma iseng-iseng saja. Dulu saya dan istri saya jualan empek-empek dan asinan. Lalu ada tukang sepatu keliling yang menawarkan sepatu model injekan. Sepatu itu kemudian dipajang di warung, ternyata banyak mahasiswa yang beli dan pesan," ungkap suprayitno
Melihat potensi tersebut, maka insting bisnis bapak dari
"Dua tahun kemudian saya mulai bikin sendiri. Saya cari tukang pola dan tukang jahit sepatu. Waktu itu modal awalnya cuma Rp 25 ribu," jelasnya.
Langkah Suprayitno ini kemudian diikuti oleh para pengrajin sepatu lainnya yang membangun toko tidak jauh dari toko kecil bernama Pernas miliknya. Di Jakarta, sepatu buatan para pengrajin ini dikenal dengan dengan sepatu Perbanas karena lokasi toko mereka yang berada di Kampus STIE Perbanas.
Awalnya pasar yang menjadi target para pengrajin tersebut adalah mahasiswa, namun saat ini sepatu buatan Suprayitno dan kawan-kawan juga diminati oleh karyawan. "Sekarang pembelinya tidak hanya mahasiswa tapi pegawai," katanya.
Suprayitno menjelaskan harga jual sepatu yang diproduksinya bervariatif. Untuk sepatu yang dibuat dari kulit berkisar Rp 110.000 hingga 600.000, sedangkan yang dibuat dari bahan sintetis harganya lebih murah yaitu sekitar Rp 75.000-225.000.
"Harganya tergantung bahan digunakan, model dan ukuran kaki. Semakin besar ukuran kaki
Untuk mengurangi resiko dalam menjalan bisnisnya, Suprayitno mengaku sengaja tidak menyediakan stok sepatu di tokonya. Ia hanya melayani sepatu pesanan. "Habis kalau yang mencari stok, cuma satu dua orang."
Namun, suprayitno tidak memungkiri banyak juga pembeli yang tidak mengambil pesanannya dan ia mengaku kesulitan untuk menjualnya. "Habis bagaimana lagi dijual susah, model lain, warna lain, ukuran juga lain. Kemarin saja ada 5 karung sepatu yang tidak diambil, alhasil saya dibagi-bagikan saja ke pegawai saya," ungkapnya.
Sumber : detik.com