Mungkin tidak banyak yang tahu, Indonesia adalah negara penghasil rumput laut nomor satu di dunia. Luas daerah pesisir pantai di tanah air merupakan lahan subur untuk perkembangan rumput laut.
Sayangnya, rumput laut Indonesia itu lebih diminati oleh orang-orang di luar negeri ketimbang dalam negeri. Hal itu terlihat dari banyaknya varian olahan rumput laut mulai dari untuk masakan khas Jepang seperti Sushi, bahan baku kertas di Korea Selatan dan bahan baku kosmetik di sejumlah negara.
Menurut Ketua Umum DPP Asosiasi Petani & Pengelola Rumput Laut Indonesia (Aspperli), Arman Arfah dalam kurun waktu tahun 2009, produksi rumput laut nasional mencapai jumlah 160 ribu ton, 45 persen diantaranya disuplai dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
"Dengan luas itu, setiap tahun, para petani rumput laut bisa memanen sebanyak 5 sampai 6 kali, dari jenis Gracilaria 80 persen pasarnya di tanah air dan jenis Eucemacottoni, 80 persen untuk pasar luar negeri," ungkap Arman yang ditemui detikFinance dalam jumpa persnya terkait rencana pelaksanaan makan rumput laut massal, pada 29-30 Oktober 2010 mendatang, di kafe Gigi, jalan Pengayoman, Makassar.
Setiap 1 hektar hamparan laut pesisir yang menjadi tempat budidaya rumput laut, petaninya bisa memanen sekitar 1 ton. Hasil olahan rumput laut jenis Glacilaria ini menjadi bahan baku untuk makanan dan minuman, sementara jenis Eucemacottoni, bisa pula menjadi bahan baku kosmetik, obat-obatan dan kertas.
Arman menyebutkan, rumput laut jenis Glacilaria di bursa komoditi nasional, harganya bisa mencapai Rp 6 ribu sampai Rp 8 ribu perkilogram. Sedangkan jenis Eucemacottoni harganya rata-rata Rp 11 ribu sampai Rp 13 ribu perkilogram.
Namun demikian, Aspperli menyayangkan komoditi ini masih jauh dari perhatian pemerintah. Sekitar 15 ribu petani rumput laut di tanah air, lanjut Arman, belum bisa sepenuhnya lepas dari jerat utang para lintah darat dan pedagang tengkulak. Sektor perbankan tanah air belum melirik potensi penghasilan petani rumput laut. Selain itu, penyuluhan tata cara mengolah rumput laut yang berkualitas tinggi juga harus diperhatikan oleh pemerintah.
Aspperli berharap, lanjut Arman, komoditi rumput laut mampu menyokong kemandirian ekonomi bangsa, dengan membudidayakan, memproduksi dan mengelola sendiri hasil rumput laut hingga bisa dikonsumsi masyarakat Indonesia. Selain dapat menyejahterakan petani rumput laut, jika tingkat konsumsi rumput laut masyarakat sudah meningkat, lapangan kerja akan terbuka lebar di sektor industri pengolahan rumput laut.
"Kalau pemerintah masih menganggap hanya persoalan surplus beras yang perlu diperhatikan, sementara potensi rumput laut dikesampingkan, biar Aspperli yang bertugas mengkampanyekan pada masyarakat agar gemar mengonsumsi rumput laut," pungkas Arman.
Sumber : detik.com
Sayangnya, rumput laut Indonesia itu lebih diminati oleh orang-orang di luar negeri ketimbang dalam negeri. Hal itu terlihat dari banyaknya varian olahan rumput laut mulai dari untuk masakan khas Jepang seperti Sushi, bahan baku kertas di Korea Selatan dan bahan baku kosmetik di sejumlah negara.
Menurut Ketua Umum DPP Asosiasi Petani & Pengelola Rumput Laut Indonesia (Aspperli), Arman Arfah dalam kurun waktu tahun 2009, produksi rumput laut nasional mencapai jumlah 160 ribu ton, 45 persen diantaranya disuplai dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
"Dengan luas itu, setiap tahun, para petani rumput laut bisa memanen sebanyak 5 sampai 6 kali, dari jenis Gracilaria 80 persen pasarnya di tanah air dan jenis Eucemacottoni, 80 persen untuk pasar luar negeri," ungkap Arman yang ditemui detikFinance dalam jumpa persnya terkait rencana pelaksanaan makan rumput laut massal, pada 29-30 Oktober 2010 mendatang, di kafe Gigi, jalan Pengayoman, Makassar.
Setiap 1 hektar hamparan laut pesisir yang menjadi tempat budidaya rumput laut, petaninya bisa memanen sekitar 1 ton. Hasil olahan rumput laut jenis Glacilaria ini menjadi bahan baku untuk makanan dan minuman, sementara jenis Eucemacottoni, bisa pula menjadi bahan baku kosmetik, obat-obatan dan kertas.
Arman menyebutkan, rumput laut jenis Glacilaria di bursa komoditi nasional, harganya bisa mencapai Rp 6 ribu sampai Rp 8 ribu perkilogram. Sedangkan jenis Eucemacottoni harganya rata-rata Rp 11 ribu sampai Rp 13 ribu perkilogram.
Namun demikian, Aspperli menyayangkan komoditi ini masih jauh dari perhatian pemerintah. Sekitar 15 ribu petani rumput laut di tanah air, lanjut Arman, belum bisa sepenuhnya lepas dari jerat utang para lintah darat dan pedagang tengkulak. Sektor perbankan tanah air belum melirik potensi penghasilan petani rumput laut. Selain itu, penyuluhan tata cara mengolah rumput laut yang berkualitas tinggi juga harus diperhatikan oleh pemerintah.
Aspperli berharap, lanjut Arman, komoditi rumput laut mampu menyokong kemandirian ekonomi bangsa, dengan membudidayakan, memproduksi dan mengelola sendiri hasil rumput laut hingga bisa dikonsumsi masyarakat Indonesia. Selain dapat menyejahterakan petani rumput laut, jika tingkat konsumsi rumput laut masyarakat sudah meningkat, lapangan kerja akan terbuka lebar di sektor industri pengolahan rumput laut.
"Kalau pemerintah masih menganggap hanya persoalan surplus beras yang perlu diperhatikan, sementara potensi rumput laut dikesampingkan, biar Aspperli yang bertugas mengkampanyekan pada masyarakat agar gemar mengonsumsi rumput laut," pungkas Arman.