BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangSistem saraf dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem Saraf Pusat (SSP) terdiri atas otak dan sumsum tulang belakang yang fungsi utamanya adalah menafsirkan informasi sensorik yang masuk dan mengeluarkan minstruksi berdasarkan pengalaman terdahulu.sistem saraf tepi terdiri atas struktur-struktur sistem saraf selain SSP yang membawa impuls menuju dan dari otak sumsum tulang belakang. Saraf berfungsi sebagai jalur komunikasi.yaitu menghubungkan semua bagian tubuh dengan membawa impuls dari reseptor sensorik ke SSP dan mengaluarkan perintah dari SSP ke kelenjar atau otot yang tepat (Frank, 1995).
Fungsi SSP adalah mengolah informasi sensorik yang masuk sedemikian rupa sehingga menghasilkan respon motorik yang tepat.Setelah informasi sensorik penting dipilih, informasi tersebut disambungkan ke bagian yang tepat dari sistem saraf pusat untuk menimbulkan respon yang diinginkan (Effendy, 2009). Dengan demikian, jika tangan seseorang menyentuh kompor yang panas, maka respon yang ingin dimunculkan adalah mengangkat tangan tersebut (Akhyar, 2008).
Unit fungsional sistem saraf adalah neuron. Neuron merupakan sel yang terspesialisasikan yang mengatur atau mengirimkan pesan (impuls saraf) dari satu bagian ke bagian tubuh lain. Neuron memiliki serabut yang menjulur keluar badan sel yang disebut akson (Margawati,1985). Pesan dibawa di sepanjang akson menuju terminal prasinaptik, yang akan melepas zat kimia yang disebut neurotransmiter. Zat tersebut akan menyebrangi celah sinaptik untuk menimbulkan respons di dalam badan (soma) neuron atau serabut otot di sebelahnya. Kebanyakan akson diselubungi dengan materi berlemak yang disebut mielin.Mielin melindungi dan menyelubungi serabut dan mempercepat laju transmisi impuls saraf. Proses ini berlanjut dari satu neuron ke neuron sebelahnya atau ke sel-sel otot, sampai berhasil mengantarkan pesan dari satu area ke area lain (Frank, 1995).
Sistem saraf mengurangi pemaparan mereka terhadap zat kimia melalui barier otak untuk mengimbangi ketidakmampuannya dalam mengganti sel-sel yang rusak.Walaupun sistem saraf, seperti halnya bagian tubuh lainnya, membutuhkan suplay darah untuk bertahan.Otak, sumsum tulang belakang, dan saraf tepi dibungkus rapat oleh suatu lapisan sel terspesialisasi yang memungkinkan masuknya nutrien yang dibutuhkan, tetapi juga membatasi masuknya toksikan.Walaupun sudah dilengkapi dengan barier darah-otak, beberapa toksikan masih dapat merusak sistem saraf (Akhyar, 2008).
Otak, sumsum tulang belakang, dan saraf tepi dibungkus rapat oleh suatu lapisan sel terspesialisasi yang memungkinkan masuknya nutrien yang dibutuhkan, tetapi juga membatasi masuknya nutrien yang dibutuhkan toksikan.Walaupun sudah dilengkapi dengan barier darah-otak, beberapa toksikan masih dapat merusak sistem saraf (Margawati,1985).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana paparan merkuri terhadap manusia dapat mempengaruhi sistem saraf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Neurotoksisitas
Neurotoksisitas adalah kapasitas agen kimia, biologis, atau agen fisik yang dapat menimbulkan efek merugikan bagi sistem saraf. Beberapa senyawa yang spesifik bagi neuron (nurotoksikan) atau bagi beberapa bagian neuron dapat mengakibatkan cedera atau kematian neuron (nekrosis), dan neuron yang hilang itu tidak dapat diganti. Banyaknya fungsi yang hilang akibat kerusakan sistem saraf bergantung pada jumlah neuron yang rusak dan lokasi menetapnya. Beberapa neuron mungkin agak rusak tetapi kerusakannya tidak permanen, dan dapat kembali menjalankan fungsi normalnya (Frank, 1995). Kerusakan permanen dapat menyebabkan hilangnya sensasi dan kelumpuhan. Hal itu juga dapat menimbulkan efek seperti disorientasi karena sistem saraf mengendalikan banyak fungsi dalam tubuh, maka hampir semua fungsi seperti wicara, penglihatan, ingatan, kekuatan otot, dan koordinasi dapat dihambat oleh neurotoksikan (Akhyar, 2008). Beberapa zat kimia yang dapat merusak saraf antara lain :
1. Metyl Mercury (CH3Hg)
2. Karbon Disulfida (CS2)
3. Carbon Monoksida (CO)
4. Sianida
5. Kanamisin
6. Methanol
7. Mangan (Darmono, 1995).
B. Toksisitas Metil Merkuri terhadap Sistem Saraf
Biotransformasi
Unsur Hg yang diabsorbsi dengan cepat dioksidasi menjadi ion Hg2+, yang mempunyai afinitas terhadap gugus sulfidril(-SH), serta berikatan dengan substrat-substrat yang kaya gugus tersebut. Hg dapat melewati barier darah otak dan plasenta. Metil merkuri mempunyai afinitas yang kuat terhadap otak. Sekitar 90% Hg darah terdapat dalam eritrosiy. Metabolisme senyawa metil merkuri serupa dengan metabolisme logam Hg atau senyawa anorganiknya. Senyawa fenil dan metoksietil merkuri dengan cepat diubah menjadi Hg anorganik, sementara metil merkuri di metabolisme sangat lambat.
Eksresi
Unsur Hg dan senyawa anorganiknya dieliminasi lebih banyak melalui kemih daripada feses, senyawa Hg organik terutama di ekskresi dalam feses(sampai 90%). Waktu paruh biologis Hg anorganik mendekati 6 minggu. Paparan senyawa organik (metil merkuri) hendaknya diukur kadar senyawa-senyawa tersebut dalam eritrosit dan plasma (WHO, 1993).
Berdasarkan daya hantar panas dan listriknya merkuri (Hg) termasuk dalam golongan logam, dan berdasarkan densitasnya termasuk golongan logam berat. Merkuri memiliki sifat-sifat kimia yang stabil terutama di lingkungan sedimen, mudah menguap dan mudah mengemisi atau melepaskan uap. Merkuri beracun walaupun pada suhu ruang, pada fase padat berwarna abu-abu dan pada fase cair berwarna putih perak. Merkuri mempunyai sifat yang sangat beracun. U.S.Food and Administration(FDA) menentukan pembakuan kadar merkuri pada jaringan dalam air yaitu sebesar 0,005 ppm (Akhyar, 2008).
Metil-merkuri di dalam air dan sedimen dimakan oleh bakteri, binatang kecil dan tumbuhan kecil yang dikenal sebagai plankton, Ikan besar kemudian memakan ikan kecil tersebut, dan terjadilah akumulasi metil-merkuri di dalam jaringan. Ikan yang lebih tua dan besar mempunyai potensi yang lebih besar untuk terjadinya akumulasi kadar merkuri yang tinggi di dalam tubuhnya. Demikian pula yang terjadi pada manusia, yang mengkonsumsi ikan-ikan tersebut (Darmono, 1995).
Merkuri masuk ke dalam tubuh biasanya dalam bentuk senyawa organik, yaitu Metyl Merkuri, melalui inhalasi maupun melalui saluran pencernaan. Menurut Fahy(1987) dalam Margawati (1985), Toksisitas merkuri tergantung pada bentuk kimianya yaitu, murni(elemen) anorganik dan organik. Bentuk murni merkuri mudah menguap dan beracun bila terhisap tetapi tidak beracun jika termakan, merkuri bentuk murni sering mencemari udara dan erat hubungannya dengan bahan kimia di laboratorium. Bentuk garam merkuri diabsorbsi seluruhnya dalam paru-paru dan mudah sekali didistribusikan ke otak melalui darah yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat(Akhyar, 2008).
Mekanisme patofisiologi
Perubahan-perubahan metabolik pada jaringan saraf baik yang disebabkan oleh kerja langsung zat kimia yang tidak dikehendaki atau gangguan suplai oksigen merupakan faktor-faktor utama yang bertanggung jawab atas timbulnya neuropati. Sejumlah agen industri yang secara kimiawi tidak berhubungan, dapat bekerja dengan cara mengganggu enzim-enzim glikolitik dengan gugus sulfidril, yaitu gliseroldehid-3-fosfat dehidrogenase dan fosofofruktokinase (WHO, 1993).
Bentuk toksik merkuri anorganik hanya dalam jumlah kecil yang dapat didistribuskan ke otak. Gejala yang menonjol pada keracunan merkuri anorganik adalah adanya rasa sakit pada saluran pencernaan dan ginjal. Bentuk merkuri organik yang paling toksik dan berbahaya adalah bentuk alkil merkuri yaitu etil dan metil merkuri. Kedua bentuk senyawa telah banyak digunakan dalam bidang pertanian untuk mencegah tumbuhnya jamur, alkil merkuri ini biasanya diserap secara sempurna pada dinding saluran pencernaan dan terikat dalam sel darah merah. Bentuk ini kemudian didistribusikan ke dalam sistem saraf pusat yang menyebabkan kerusakan saraf permanen. Gejala akan timbul bebrapa hari atau minggu setelah memakan bahan toksik tersebut, gejala yang terlihat berupa gangguan saraf yaitu ataksia, hiperestese(peka), konvulsi, kebutaan dan kematian (Margawati,1985).
Toksisitas yang disebabkan oleh merkuri organik, misalnya metil merkuri, merupakan peristiwa keracunan tragis yang terjadi di Jepang dan Irak. Penduduk pantai Minamata di Jepang, yang makanan kesehariannya trutama ikan dari panatai itu, terpapar metilmerkuri dalam dosis yang sangat besar akibat limbah merkuri berkadar tingi dibuang ke laut.Tetapi, korban yang cedera akibat paparan metilmerkuri justru lebih banyak di Irak. Lebih dari 400orang meninggal sementara 6000 lainnya dirawat akibat mengkonsumsi biji-bijian (gandum yang dilapisi merkuri terjadi di London. Pada abad 19, merkuri digunakan di industri topi sebagai zat pencegah pertumbuhan jamur pada topi.Paparan berulang terhadap merkuri menyebabkan pekerjapabrik mengalami tremor dan kerusakan otak sehingga mendapat sebutan “as mad as a hatter”.Pemaparan berulang merkuri pada orang dewasa pada awalnya mengakibatkan hilangnya koordinasi, kemudian tremor, masalah pendengaran, kelemahan otot, dan bahkan ganguan mental (Darmono, 1995).
Endotelium dalam otak tidak dapat ditembus oleh zat berberat molekul menengah karena sususnan sel ini sangat rapat. Akan tetapi zat-zat yang sangat larut dalam lipid dan fraksi non ion sangat mudah melintasi barier darah otak. Merkuri dapat merusak sel endotel dan merusak permeabilitasnya (Frank, 1995).
Metil merkuri bersifat lipofilik dan berat molekul kecil sehingga dengan mudah dapat melewati barier darah otak dan dapat merusak otak (dalam ganglia radiks dorsal serta neuron SSP) (Effendy, 2009). Efek neurotoksik dibedakan berdasar tempat kerjanya. Metil Merkuri merupakan suatu senyawa yang berefek neurotoksik pada neuron/ badan sel (neuronopati). Metil merkuri pada awalnya menyebabkan hilangnya ribosom setempat, kemudian disintegrasi dan hilangnya zat-zat Nissl terutama di sel-sel kecil. Proses ini diikuti oleh perubahan inti dan sekitarnya. Selanjutnya, proses ini mengakibatkan hilangnya seluruh neuron terutama aksonnya (Jacobs dkk, 1977 dalam Darmono, 1995) .
Manifestasi klinis awal intoksikasi mercuri didapatkan gangguan tidur, perubahan mood (perasaan) yang dikenal sebagai "erethism", kesemutan mulai dari daerah sekitar mulut hingga jari dan tangan, pengurangan pendengaran atau penglihatan dan pengurangan daya ingat. Pada intoksikasi berat penderita menunjukkan gejala klinis tremor, gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan, jalan sempoyongan (Ataxia ) yang menyebabkan orang takut berjalan. Hal ini diakibatkan terjadi kerusakan pada jaringan otak kecil (serebellum). Pemaparan dalam waktu singkat pada kadar merkuri yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan paru-paru, muntah-muntah, peningkatan tekanan darah atau denyut jantung, kerusakan kulit, dan iritasi mata (Frank, 1995).
Kadar yang berbahaya dalam darah adalah melebihi 200 nmol/ L, dalam urine melebihi 500 nmol/L, umumnya inorganik mercuri ini merupakan limbah dari perusahaan/pabrik produksi misalnya: kertas, kloralkali yang terbuang kesungai/danau/ laut yang bereaksi dengan methylat menjadi organicmercuri (metil merkuri). Pernah dilaporkan tahun 1971 di Irak, didapatkan 10.000 penderita keracunan metil merkuri yang berasal dari fungisida, dengan tanda klinis: parestesi (kesemutan), gangguan kordinasi, gangguan keseimbangan, gangguan lapang pandang, kesemutan dimulai sekitar mulut dan keseluruh anggota gerak (Darmono, 1995).
Keracunan pada ibu hamil dapat menyebabkan terjadinya mental retardasi pada bayi atau kebodohan, kekakuan (spastik). (MARSH et al, 1987 dalam Darmono, 1995). Konsentrasi mercuri pada rambut bila lebih dari 1 nmol/g menunjukkan intoksikasi mercuri. Beberapa penelitian oleh Cavanagh dan Chen 1971, pada tikus yang keracunan metil merkuri didapatkan degenerasi serabut saraf sensorik perifer. Oleh Aschner et al, 1986, menemukan gangguan transportasi axonal pada saraf tepi. Oleh Hunter dan Russell 1954, menemukan degenerasi selektif sel granula serebellum (Effendy, 2009). Degenerasi pada kortek calcarine yang menyebabkan gangguan lapang pandang. Mengingat dampak buruknya bila manusia terkontaminasi merkuri, serta mencegah korban berjatuhan lebih banyak lagi seperti pada warga Teluk Buyat, dan demi pengamanan lingkungan, pemerintah sebaiknya segeralah berupaya mencegah pencemaran, dengan peraturan dan pemberian sangsi yang tegas pada pihak yang telah mencemari lingkungan. Pengujian rutin juga dapat dilakukan untuk mengawasi keadaan di lapangan (Margawati,1985).
Perubahan Patologi akibat pajanan merkuri dapat diketahui dari pemeriksaan secara mikroskopik pascamati perubahan menonjol terlihat pada otak yaitu pada otak yaitu dalam serebelum dan daerah korteks. Perubahan mikroskopik dalam serebelum, terlihat adanya atrofi pada sel (Darmono, 1995).
BAB III
PENUTUP
Sistem saraf dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.Sistem Senyawa yang berkaitan dengan cedera neuronal : Metil merkuri, Karbon disulfida, Karbon monoksida, Sianida, Kanamisin, Metanol, Mangan.Merkuri masuk ke dalam tubuh biasanya dalam bentuk senyawa organik, yaitu Metyl Merkuri, melalui inhalasi maupun melalui saluran pencernaan. Metil merkuri bersifat lipofilik dan berat molekul kecil sehingga dengan mudah dapat melewati barier darah otak dan dapat merusak otak (dalam ganglia radiks dorsal serta neuron SSP). Metil merkuri pada awalnya menyebabkan hilangnya ribosom setempat, kemudian disintegrasi dan hilangnya zat-zat Nissl terutama di sel-sel kecil. Proses ini diikuti oleh perubahan inti dan sekitarnya. Selanjutnya, proses ini mengakibatkan hilangnya seluruh neuron terutama aksonnya.
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar.2008.http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2008/11/investigasi-kematian-dengan-toksikologi-forensik-files-of-drsmed.pdf.Diakses tanggal 19 September 2010.
Darmono.1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup.UI Press, Jakarta
Effendy.2009.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3604/1/farmasi-effendy.pdf. Diakses tanggal 18 September 2010.
Frank C.Lu.1995.Toksikologi Dasar.Asas, organ sasaran, dan Penilaian Risiko.UI Press, Jakarta.
http://etd.eprints.ums.ac.id/2328/1/K100040201.pdf
http://www.pom.go.id/public/siker/desc/produk/RacunKarMon.pdf
Margawati.1985.CerminDuniaKedokteran.http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/03_ObatyangMenyebabkanKetulian.pdf/03_ObatyangMenyebabkanKetulian.html.Diakses tanggal 18 September 2010.
WHO. 1993. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. EGC. Jakarta.