Pembungkus yang Mengawetkan

Pembungkus sekaligus berfungsi mengawetkan makanan olahan dari Institut Pertanian Bogor ini menginovasi sistem pengawetan konvensional. Bahan pengawet kimia ataupun nonkimia tak perlu lagi dilarutkan ke dalam makanan hingga bisa terakumulasi ke tubuh kita. 
Inovasi ini muncul karena konsumen makin menghendaki makanan sehat tanpa zat aditif,” kata Endang Warsiki, dosen dan periset pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Kamis (29/7).
Selama tiga tahun terakhir ini, Endang mengembangkan riset itu bersama Titi Candra Sunarti (Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB) dan Rizal Damanik (Departemen Gizi Masyarakat IPB). Inovasi pembungkus yang sekaligus mengawetkan itu disebut sebagai Kemasan AM (Antimikroba).
”Kemasan AM pada prinsipnya menghambat pertumbuhan mikroba pada lapisan makanan paling luar,” kata Endang.
Pengamanan makanan pada lapisan luar dengan Kemasan AM punya alasan tersendiri. Endang membuktikannya dengan membelah butir bakso basi dan mengandung mikroba (kapang atau bakteri) yang bisa mengakibatkan sakit pencernaan. Bakso basi itu ternyata hanya pada lapisan permukaan. Di bagian dalam masih sempurna.

Agen antimikroba
Fungsi mengawetkan pada Kemasan AM tidak terlepas dari kinerja agen antimikroba. Endang mengambil zat aktif agen antimikroba dari bahan-bahan alami yang mudah didapat, antara lain kunyit, daun sirih, dan bawang putih. Ketiganya agen antimikroba yang telah teruji.
”Kunyit terbukti bisa membuat makanan olahan tahan lama. Kita biasa menemui masakan padang yang bisa tahan lama itu karena banyak mengandung kunyit,” kata Endang.
Selebihnya, daun sirih kerap dipakai untuk berkumur, membunuh kuman atau mikroba di dalam mulut. Bawang putih juga memiliki zat aktif yang menghambat pertumbuhan mikroba.
Agen-agen antimikroba itulah yang kemudian dilekatkan pada bahan pembungkus Kemasan AM. Kemasan AM menggunakan bahan pembungkus dari bubuk kitosan.
Kitosan merupakan bahan tepung yang dimurnikan dari cangkang udang atau rajungan dengan metode tersendiri. Kitosan inilah yang kemudian dibuat menjadi lembaran seperti lembaran plastik.
Cara membuat lembaran kitosan itu sederhana. Larutkan kitosan ke dalam air. Campurkan ke dalamnya asam asetat atau asam cuka kandungan 1 persen. Penghomogenan atau metode pencampuradukan larutan kitosan dengan asam asetat dilakukan selama 10 menit.
Setelah tercampur dengan baik, atau homogen, segera dipanaskan. Tidak dibutuhkan api besar untuk memanaskannya karena suhu yang diinginkan hanya 50 derajat celsius selama 60 menit atau satu jam.
Setelah pemanasan, campurkan larutan gliserol 0,5 persen. Gliserol memiliki bahan dasar minyak sawit sehingga aman dikonsumsi. Pada akhirnya, semua bahan yang digunakan memang aman untuk dikonsumsi.
Larutan kitosan, asam asetat, dan gliserol akhirnya sudah menjadi larutan film. Film itu lapisan tipis seperti plastik.
Dinginkan larutan tersebut selama 24 jam. Setelah itu, larutan kental siap dituangkan ke atas permukaan rata, misalnya kaca. Tujuannya untuk membentuk lembaran yang akan digunakan sebagai pembungkus makanan.
Setelah larutan dituangkan di atas permukaan kaca, segera keringkan. Pengeringannya lebih baik menggunakan oven dengan pengaturan suhu 40 derajat celsius selama beberapa menit hingga terlihat menjadi lembaran yang kering dan kuat. Jadilah Kemasan AM.

Zona bening
Lembaran yang kemudian disebut Kemasan AM ini diuji dan menghasilkan zona bening. Caranya, sepotong Kemasan AM diletakkan di atas cawan petri yang sudah ditebari inokulum bakteri. Selama 48 jam dibiarkan. Kemudian terjadilah penyingkiran jasad renik tersebut.
”Zona bening dimaksudkan sebagai area Kemasan AM dan sekelilingnya yang bening atau tidak terdapat bakteri,” ujar Endang.
Uji coba memperoleh zona bening sekaligus menunjukkan Kemasan AM efektif menghalau atau menghambat mikroba. Jika produk makanan kemudian dibungkus dengan Kemasan AM, mikroba pun tak bisa menembus kemasan ini.
Bakso ikan kemudian digunakan untuk uji coba pengemasan dengan cara lain. Caranya larutan berisi kitosan, asam asetat, gliserol, dan agen antimikroba (kunyit, daun sirih, atau bawang putih), tidak perlu dijadikan sebagai lembaran. Larutan tersebut cukup sebagai cairan kental yang akan berfungsi melapisi bakso ikan.
”Bakso ikan tinggal dicelupkan ke dalam larutan selama lima menit,” kata Endang.
Hasilnya kemudian dibandingkan dengan bakso ikan biasa. Menurut Endang, pada suhu refrigerator atau pendingin sampai 5 derajat celsius, bakso ikan biasa tidak bisa bertahan lebih dari 21 hari, sedangkan bakso ikan yang dilapisi larutan antimikroba itu bisa bertahan dan masih enak dikonsumsi lebih dari 21 hari.
”Jika diuji coba pada suhu ruang atau sekitar 27 derajat celsius, bakso ikan biasa hanya tahan sampai 1,5 hari, sedangkan bakso ikan dilapisi dengan larutan antimikroba dua kali lipat lebih tahan lama,” kata Endang.
Endang beserta rekan-rekannya belum berencana mematenkan metode pengawetan dengan Kemasan AM ini. Industri yang ingin mengaplikasikannya, menurut Endang, harus mengejar nilai keekonomisannya.
”Kalau menggunakan kitosan, masih belum bisa ekonomis. Jatuhnya akan mahal,” kata Endang.
Salah satu cara mencapai nilai keekonomisan dengan cara melekatkan larutan antimikroba ke dalam produk kemasan konvensional, seperti plastik atau kertas. Makanan olahan yang ingin dibungkus tidak perlu lagi ditambah zat pengawet.
Konsumen pun lebih tenang mengonsumsinya. Tidak ada lagi risiko mengakumulasikan bahan pengawet di dalam tubuh kita.

Sumber: Nawa Tunggal, Kompas.com (30 Juli 2010)
◄ Newer Post Older Post ►