Tumbuh-tumbuhan memiliki manfaat yang tak terkira bagi kehidupan. Antara lain dapat menghasilkan oksigen, menyimpan air, menyediakan kebutuhan pangan, dan berfungsi dalam proses daur ulang. Karena itu, sangat besar peran tanaman dan pohon dalam mengurangi efek global warming. (pemanasan global).
Umumnya taman dibuat bersandar pada segi visual dan estetika untuk membantu menonjolkan tampilan rumah. Tanaman pengisinya biasanya mahal. Kalangan yang mampu menghadirkan taman ini kebanyakan dari golongan menengah atas, dan yang memiliki lahan luas. Kita yang memiliki lahan terbatas, umumnya memanfaatkan lahan semaksimal mungkin. Jadi, tak ada lagi sisa untuk taman.
Sekarang, pola pikir itu mulai bergeser. Kata Nirwono Yoga, seorang arsitek lansekap, taman tak cukup sekadar luas dan lebat, tapi harus ada makna ekologis di dalamnya. Membuat taman pun tidak harus di lahan yang luas, di lahan terbatas pun bisa. Bahkan jika kita kreatif, sekecil apapun lahan yang tak dijadikan ruang, bisa menjadi area hijau.
Apa itu makna ekologis? “Intinya adalah taman dengan makna hijau yang berkelanjutan. Misalnya, taman itu bisa berfungsi membantu mendaur ulang dan meresapkan air melalui sumur biopori. Pohonnya produktif, dengan sayuran atau buah-buahan. Tamannya mengundang burung, kupu-kupu, dan kumbang, sehingga proses alam bisa berlangsung,” ujar Nirwono, yang telah membuat sejumlah buku ini.
Desain dari Awal
Pekarangan tempat bermain anak atau carport tidak lagi ditutup penuh oleh perkerasan, seperti lapisan semen atau keramik. Perkerasan tersebut hanya dipasang pada bagian roda kendaraan, selebihnya tanah yang ditaburi koral, misalnya. Boleh juga perkerasan itu diganti dengan grass block agar resapan di area rumah makin besar. Upaya-upaya tersebut dapat menciptakan bangunan tinggal yang lebih menyokong Bumi.
Sayangnya, kita masih belum terbiasa untuk merancang taman dari awal pembangunan rumah. Kita biasanya membuat taman di “area terbuang”; lahan kosong sisa ruang-ruang yang telah terbangun. Taman dibuat ala kadarnya --yang penting ada taman. Kita masih menganggap, tanpa taman pun rumah tak bermasalah.
Kerjasama dengan Arsitek
Seperti diuraikan di atas, sangat penting merancang taman bersamaan dengan mendesain bangunan. Untuk merealisasikannya, pada tahap awal, arsitek bangunan, arsitek lansekap atau konsultan taman, dan pemilik rumah, bisa berdialog bersama. Pembicaraan antarketiga pihak itu untuk mendapatkan persepsi yang sama tentang kebutuhan bangunan dan taman.
Sebagai contoh, rumah didesain dengan banyak bukaan --jendela dan pintu-- diperlukan pohon yang rindang untuk menghalau terik matahari. Jadi, kurang tepat jika taman diisi dengan tanaman berbunga yang rendah.
Biasanya, karena komunikasi antara arsitek bangunan dan arsitek lansekap tidak ada, selera pemilik yang dominan. Masalah akan muncul jika pemilik rumah tidak memahami kebutuhan bangunan dan kondisi alam. Untuk kondisi tadi, jika sang pemilik penyuka taman berbunga, terjadilah ketidaktepatan pemanfaatan taman.
Membuat desain rumah dan taman bersamaan dari awal, yang melibatkan arsitek bangunan dan lansekap, apalagi ditambah desainer interior, termasuk pemilik, bisa menghasilkan solusi-solusi desain yang jauh lebih baik. Perancangan dan komunikasi antara pihak-pihak tadi akan menghasilkan rancangan yang tepat. Bangunan dan taman jadi saling mendukung dan memiliki makna lebih bagi kenyamanan, termasuk ekologi, ekonomi, dan lingkungan.
Foto: iDEA/Dean Martin Saerang