Sastrawan Tandi Skober kembali menulis seputar keteruprukan manusia Indramayu dalam sebuah novel bertajuk "Seribu Sujud Seribu Masjid". Bila novel sebelumnya Pelacur Politik dan Hehehe uraikan tentang pembusukan politik di akar rumput, maka dalam novel setebal 277 halaman ini berkisah tentang ketidakberdayaan manusia Dermayu saat dilanda kemelut pembrontakan PKI tahun 1965.
Novel yang diterbitkan Salsabila Kautsar Utama ini bercerita tentang Sekober, Indramayu. Hingga 1965, Sekober adalah wilayah tidak tesentuh agama. Dalam novel tersebut diceritakan, tokoh Kasdi dan Zum –dua bocah cerdas— itu dibesarkan di kawasan Sekober. Zum adalah anak gundik Bah Ceh Nong tokoh Papoerki/PKI. Kasdi adalah anak seorang seniman tarling ulili wa u waing bernama Camang. Kedua anak itu besahabat dalam cahaya kinasih kultur pesisiran.
Hingga ketika prahara G30S/PKI merobek Sekober, alur nasib Zum berubah drastis. Menjadi dombret, pelacur hingga pencopet. Akan halnya Kasdi sempat menjadi copet bersama Zum, Zaki, Karman. Tapi warisan sebuah surau dari kakeknya menghantarkan Kasdi pada ruang ukhrawi yang menjanjikan. Kasdi yakin, suatu saat Camang—ayah Kasdi— yang dieksekusi tentara pada 1965 akan pulang dan sujud di surau itu. Keyakinan ini kian menebal ketika ia menjadi pekerja Allah SWT: dakwah dari rumah ke rumah agar mereka yang didatangi berkenan salat di suraunya.
Menurut Tandi, tokoh Camang ternyata bernasib baik. Saat dieksekusi ia melompat ke sungai Cimanuk. Dia berpura-pura menjadi gila. Dan memilih jalur itikaf bergerak dari masjid ke masjid untuk menghindari kejaran tentara. Ia menjadi gelandangan sekaligus sosok sufi khuruj fi sabillilah. Meski ia tidak bisa membaca huruf arab tapi ia selalu tunduk tertib mendengarkan orang membaca Alquran.
“Aku ingin telingaku, kolbuku, mataku, rongga dadaku, perutku, tulang-tulangku, nadiku dipenuhi ayat-ayat suci Alquran,” ucap Camang di sebuah teras masjid. ”Dan itu aku dapatkan pada 1000 sujud 1000 masjid.”
Masalah muncul ketika justru Zum besua Kasdi di surau. Zum disuruh Zaki mantan raja copet untuk merayu Kasdi agar Surau dan tanah warisannya itu dijual ke Zaki. Untuk apa? Surau itu akan dijadikan mall sekaligus pusat stasiun televisi terbesar se-asia tenggara. Di sini koflik muncul. Dan di sini pula esensi dari cerita seribu sujud di seribu masjid. (PR)
Hingga ketika prahara G30S/PKI merobek Sekober, alur nasib Zum berubah drastis. Menjadi dombret, pelacur hingga pencopet. Akan halnya Kasdi sempat menjadi copet bersama Zum, Zaki, Karman. Tapi warisan sebuah surau dari kakeknya menghantarkan Kasdi pada ruang ukhrawi yang menjanjikan. Kasdi yakin, suatu saat Camang—ayah Kasdi— yang dieksekusi tentara pada 1965 akan pulang dan sujud di surau itu. Keyakinan ini kian menebal ketika ia menjadi pekerja Allah SWT: dakwah dari rumah ke rumah agar mereka yang didatangi berkenan salat di suraunya.
Menurut Tandi, tokoh Camang ternyata bernasib baik. Saat dieksekusi ia melompat ke sungai Cimanuk. Dia berpura-pura menjadi gila. Dan memilih jalur itikaf bergerak dari masjid ke masjid untuk menghindari kejaran tentara. Ia menjadi gelandangan sekaligus sosok sufi khuruj fi sabillilah. Meski ia tidak bisa membaca huruf arab tapi ia selalu tunduk tertib mendengarkan orang membaca Alquran.
“Aku ingin telingaku, kolbuku, mataku, rongga dadaku, perutku, tulang-tulangku, nadiku dipenuhi ayat-ayat suci Alquran,” ucap Camang di sebuah teras masjid. ”Dan itu aku dapatkan pada 1000 sujud 1000 masjid.”
Masalah muncul ketika justru Zum besua Kasdi di surau. Zum disuruh Zaki mantan raja copet untuk merayu Kasdi agar Surau dan tanah warisannya itu dijual ke Zaki. Untuk apa? Surau itu akan dijadikan mall sekaligus pusat stasiun televisi terbesar se-asia tenggara. Di sini koflik muncul. Dan di sini pula esensi dari cerita seribu sujud di seribu masjid. (PR)