Farmakologi : adalah ilmu mengenai obat ( farmakon = obat; logos = ilmu ).
Farmakognosi : adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan alami lain yang merupakan sumber obat
Farmakologi klinik : adalah cabang ilmu farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia
Farmakoterapi : adalah ilmu yang berhubungan dengan penggunaan obat untuk pencegahan dan pengobatan penyakit
Di dalam farmakoterapi dipelajari dua aspek, yaitu Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Farmakokinetik : yaitu suatu imu yang mempelajari proses Absorrpsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekskresi ( ADME ) obat dalam tubuh
Farmakodinamik : adalah ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya.
Toksikologi : adalah ilmu yang mempelajari cara pencegahan , pengenalan dan penanggulangan keracunan zat kimia ( termasuk obat ) yang digunakan dalam rumah tangga, industri, maupun lingkungan hidup yang lain
B. Dasar-dasar Kerja Obat
Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam dua fase yaitu fase farmakokinetik dan fase farmakodinamik
Dalam terapi obat, obat yang masuk dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami ABSORPSI, DISTRIBUSI, dan pengikatan untuk sampai ke tempat kerja ( RESEPTOR ) dan menimbulkan EFEK , kemudian dengan atau tanpa BIOTRANSFORMASI ( METABOLISME ) lalu di EKSKRESI kan dari tubuh. Proses tersebut dinyatakan sebagai proses FARMAKOKINETIK ( digambarkan dalam gambar dibawah ini ). Farmakodinamik, menguraikan mengenai interaksi obat dengan reseptor obat; fase ini berperan dalam efek biologik obat pada tubuh.
FARMAKOKINETIK
Gambar : Proses Farmakokinetik Obat
ABSORPSI
Jumlah obat yang dapat diabsorbsi oleh tubuh, dinyatakan dengan bioavailalabilitas obat. Tingginya nilai bioavailabilitas obat tergantung pada banyak factor, yang menentu -kan bagaimana molekul obat melewati barier saluran gastrointestinal dan berhasil memasuki pembuluh darah dan diangkut sampai ke reseptornya.
Faktor-faktor tersebut antara lain :
1. cara preparasi dan bentuk sediaan
2. ukuran molekul
3. kelarutan molekul dalam lipid : yang lebih mudah larut dalam lipid, bioavailabilitasnya lebih tinggi
4. kelarutan dalam air dan lipid : yang larut dalam keduanya, bioavailabilitasnya sangat baik; yang larut hanya dalam air, bioavailabilitasnya rendah karena molekul mudah terdisosiasi.
5. transport aktif
6. interaksi dengan makanan
7. stabilitas di dalam usus
8. pengosongan lambung
9. adanya metabolisme dalam usus dan di dalam hati
10. factor individu pasien itu sendiri dan faktor keadaan patologik dari pasien
Beberapa faktor yang penting dibahas dibawah ini :
1. Dalam tubuh, obat harus menembus sawar ( barrier ) sel di berbagai jaringan ( transport lintas membran , dan sebagian kecil ada yang melewati celah antar sel atau melintasi endotel kapiler )
2. Membran sel terdiri dari :
a. dua lapis lemak yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membrane dan fase hidrofobik diantara fase hidrofilik.
b. molekul-molekul protein yang tertanam di kedua sisi membran atau menembus membrane, berupa mozaik pada membrane. Molekul molekul protein ini membentuk kanal hidrofilik untuk transport air dan melekul-molekul kecil lainnya yang larut dalam air.
3. Cara transport obat melintasi membran ( semiper4miabel ) : dapat melalui
a. Difusi pasif ( dari sisi yang kadarnya tinggi ke sisi yang kadarnya rendah ). Bentuk non ion umumnya larut dalam lemak sehingga mudah berdifusi melintasi membrane. Zat terlarut bukan ion yang mempunyai BM 100-200 (molekul-molekul kecil yang larut dalam air) dapat berdifusi atau mengalir melalui kanal hidrofilik akibat perbedaan tekanan di kedua sisi membrane
b. Transport aktif ( Bersifat selektif , melibatkan energi dan komponen-komponen membrane sel ), biasanya terjadi pada sel saraf, usus halus, hati dan tubuli ginjal
Karena adanya aktivitas dari membran itu sendiri dan adanya energi, zat dapat bergerak melawan perbedaan kadar atau perbedaan potensial listrik.
c. Pinositosis yaitu cara transport dengan membentuk vesikel, misalnya makromolekul protein
d. Difusi terfasilitasi, yaitu suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan suatu faktor pembawa ( carrier ) yang merupakan komponen membran sel tanpa menggunakan energi, sehingga tidak dapat melawan perbedaan kadar. Bersifat selektif dan terjadi pada zat endogen, misalnya penetrasi glukosa , asam amino dan asam lemak ke membrane sel darah yang akan ditransport ke sel-sel perifer.
Cara transport tidak lewat membran:
Transport obat melintasi endotel kapiler, terutama melewati celah-celah antar sel. Molekul-molekul besar ( BM < 69.000 ) seperti albumin, dan semua obat bebas yang tidak larut dalam lemak dan obat bentuk ion dapat melewati.celah-celah antar sel. Proses ini berperan pada absorpsi obat setelah pemberian lewat parenteral
Faktor-faktor yang menentukan cara transport obat lintas membran yaitu :
Sifat fisiko-kimia obat : bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, kelarutan dalam lemak, derajat ionisasi
Bioavailabilitas : adalah ( ketersediaan hayati )
Jumlah obat ( dalam persen terhadap dosis ) yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif.
Ketersediaan hayati digunakan untuk memberi gambaran mengenai keadaan dan kecepatan obat diabsorpsi dari bentuk sediaan.
Ketersediaan hayati suatu obat dapat diukur pada pasien ( secara in vivo ) dengan menentukan kadar obat dalam plasma darah dengan interval setiap jam sampai diperoleh kadar puncak dan kadar obat minimum yang masih berefek
Obat yang menghasilkan kadar obat sama antara kadar dalam darah dan dalam jaringan, disebut mempunyai bioekivalensi . Bila tidak sama, disebut mempunyai bioinekivalensi. Bila bioinekivalensinya lebih dari 10 % menimbulkan inekivalensi terapi, terutama obat-obat yang indeks terapinya sempit ( dosis terapi hampir sama dengan dosis toksik )
Tidak semua jumlah obat yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Banyak faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat, terutama bila diberikan per oral, kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam lambung atau oleh enzim-enzim dari saluran gastrointestinal
CARA PEMBERIAN OBAT
a. Cara pemberian obat per oral :
Cara ini paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah. Namun untuk obat yang diberikan melalui oral, ada tiga faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas :
1. Faktor obatnya sendiri (larut dalam lipid, air atau keduanya)
2. Faktor penderita ( keadaan patologik organ-organ pencernaan dan metabolisme )
3. Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna. ( interksi dengan makanan )
( dapat dilihat dalam Tabel 1-1 halaman 4 , Ganiswara S.G . Farmakologi dan Terapi`)- sebagai tugas mandiri.
b. Cara pemberian obat melalui suntikan :
Keuntungan pemberian obat secara parenteral dibandingkan per oral, yaitu :
1. Efeknya timbul lebih cepat dan teratur
2. Dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah
3. Sangat berguna dalam keadaan darurat
Kelemahan cara pemberian obat melalui suntikan :
1. Dibutuhkan cara aseptis
2. Menyebabkan rasa nyeri
3. Kemungkinan terjadi penularan penyakit lewat suntikan
4. Tidak bisa dilakukan sendiri oleh penderita
5. Tidak ekonomis
c. Pemberian Obat Melalui Paru-paru :
Cara ini disebut cara inhalasi, hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap, misalnya anestetik umum dan obat dalam bentuk aerosol. Absorpsi melalui epitel paru dan mukosa saluran napas
Keuntungan :
1. Absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas
2. Terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati
3. Obat dapat diberikan langsung pada bronchus ( untuk asma bronchial )
Kelemahan :
1. Diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit ( obat semprot untuk asma)
2. Sukar mengukur dosis (karena ukurannya: berapa kali semprotan sekali pakai)
3. Obatnya sering mengiritasi epitel paru
d. Pemberian Topikal
Pada kulit : Jumlah obat yang diserap tergantung : - (1) pada luas permukaan kulit yang terpejan; - (2) kelarutan obat dalam lemak; -( 3 ) dapat ditingkatkan absorpsinya dengan membuat suspensi obat dalam lemak.
DISTRIBUSI
Distribusi obat terjadi melalui dua fase berdasarkan penyebarannya. Yaitu :
1. Distribusi fase pertama : yaitu ke organ-organ yang perfusinya sangat baik ( jantung, hati, ginjal dan otak ), terjadi segera setelah penyerapan, selanjutnya
2. Distribusi fase kedua : yaitu ke organ-organ yang perfusinya tidak begitu baik ( otot, visera, kulit, dan jaringan lemak ).
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membrane sel dan terdistribusi ke dalam sel, obat yang tidak larut dalam lemak sulit menembus membrane sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi terbatasi oleh ikatan obat pada protein plasma. dan hanya obat bebas yang dapat berdifusi kedalam sel dan mencapai keseimbangan;
Obat dapat terakumulasi di dalam sel jaringan karena ditransport secara aktif atau lebih sering karena berikatan dengan konponen intrasel ( protein, fosfolipid, atau nukleoprotein )
Distribusi obat ke SSP sulit terjadi, karena obat harus menembus sawar khusus yaitu sawar darah –otak . Endotel kapiler otak tidak mempunyai ruang antar sel maupun vesikel pinositosik, karena itu kemampuan obat untuk menembus sawar darah-otak hanya ditentukan oleh dan sebanding dengan kelarutan bentuk non ion dalam lemak.
Obat yang seluruhnya atau hampir seluruhnya dalam bentuk ion, misalnya ammonium kuaterner atau penisilin, dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke otak dari darah.
Semua obat yang diterima oleh ibu hamil akan masuk ke sirkulasi janin melalui sawar uri yang memisahkan darah ibu dan darah janin, yang tidak berbeda dengan sawar saluran cerna
BIOTRANSFORMASI
Biotransformasi atau metabolisme obat, adalah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.
Pada proses biotransformasi :
(1) molekul obat diubah menjadi lebih polar sehingga mudah diekskresi melalui ginjal
(2) pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga proses biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat
(3) ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif atau lebih toksik
(4) ada obat yang merupakan calon obat ( pro drug ) yang baru aktif setelah mengalami biotransformasi oleh enzim tertentu menjadi metabolt aktif yang selanjutnya akan mengalami biotransformasi lebih lanjut atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir
Reaksi-reaksi biotransformasi yang terjadi dapat dibedakan atas :
(1) reaksi fase I dan ; (2) reaksi fase II
Reaksi fase I ialah : oksidasi, reduksi dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi metabolit lebih polar yang bersifat inaktif, kurang atau lebih aktif dari bentuk aslinya.
Reaksi fase II ( disebut reaksi sintetik ) : merupakan konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat asetat atau asam amino. Hasil konjugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi.
Kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa macam reaksi sekaligus atau secara berurutaan menjadi beberapa macam metabolit, tetapi ada obat yang hanya mengalami reaksi fase I atau Fase II saja.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya didalam sel, yaitu : (1) enzim mikrosom ( dalam reticulum endoplasma ) yang mengkatalisis reaksi konjugasi glukuronat, sebagian besar reaksi oksidasi obat, reaksi reduksi dan hidrolisis; (2) enzim nonmikrosom , yang mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya ( dengan asetat, sulfat, asam fosfat, gugus metal, glutation atau asam amino ), dan beberapa reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis.
Sebagian besar biotransformasi obat, asam-asam lemak, hormon-hormon steroid dikatalisis oleh enzim mikrosom hati. Untuk itu obat harus larut dalam lemak agar dapat melintasi membrane sel masuk kedalam reticulum endoplasma dan berikatan dengan enzim mikrosom hati.
Aktivitas enzim mikrosom maupun nonmikroson ditentukan oleh faktor genetik, sehingga kecepatan metabolisme obat antar individu bervariasi.
Metabolisme obat di hati terganggu bila terjadi kerusakaan parenkhim hati misalnya oleh adanya zat hepatotoksik atau sirosis hepatis. Dalam hal ini, dosis obat yang eliminasinya terutama melalui metabolisme di hati harus disesuaikan atau dosisnya dikurangi. Misalnya :Gangguan kardiovaskuler dan latihan fisik berat akan mengurangi metabolisme obat tertentu di hati.
Pada bayi, terutama bayi prematur, aktivitas enzim metabolismenya ( mikrosom maupun nonmikrosom ) masih rendah, fungsi ekskresi dan sawar darah-otak masih belum sempurna, maka sangat peka terhadap efek toksik obat.
EKSKRESI
Obat dkeluarkan dari tubuh melalui barbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya.
Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat dari pada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi lewat paru ( tergantung koefisien partisi darah / udara , bila koefisien partisinya kecil, lebih cepat diekskresi)
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting , ekskresi di ginjal merupakan proses filtrasi glomerulus. Glomerulus merupakan jaringan kapiler yang dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui celah antarsel endotelnya. Semua obat yang tidak terikat oleh protein plasma mengalami fitrasi di glomerulus.
. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal, sehingga dosis perlu diturunkan atau interval pemberian diperpanjang
Ekskresi melalui empedu : Obat dengan BM lebih kecil dari 150 dan obat yang telah dimetabolisme menjadi obat yang lebih polar, dapat diekskresikan dari hati lewat empedu menuju ke usus dengan mekanisme transport aktif ( dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam sufat atau glisin ). Di usus, obat bentuk konjugat dapat langsung diekskresi atau mengalami hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang bersifat nopolar sehingga dapat diabsorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati , dimetabolisisr, dikeluarkan kembali melalui empedu menuju ke usus, demikian seterusnya sehingga merupakan siklus yang disebut siklus enterohepatik. Siklus enterohepatik menyebabkan kerja obat menjadi lebih panjang.
Ekskresi obat juga bisa melalui keringat, air liur, air mata, air susu, dan rambut tetapi dalam jumlah relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Maka dari itu, air liur digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu; rambut juga dapat digunakan untuk menentukan logam toksik, atau arsen
FARMAKODINAMIK
Cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya disebut farmakodinamik. ( pengaruh obat terhadap organ-organ tubuh )
Mekanisme kerja obat yaitu :
(1) Obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal ( fisiologi ) tubuh
(2) Obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada ( ini tidak berlaku bagi terapi gen )
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk :
1. meneliti efek utama obat
2. mengetahui interaksi obat dengan sel
3. mengetahui respon khas yang terjadi
Interaksi Obat Dengan Biopolimer
Semua molekul obat yang masuk dalam tubuh, kemungkinan besar berikatan dengan konstituen jaringan atau biopolimer seperti protein, lemak, asan nukleat, mukopolisakari -da, enzim biotransformasi dan reseptor. Pengikatan obat oleh biopolimer dipengaruhi oleh bentuk konformasi molekul obat dan pengaturan ruang dari gugus-gugus fungsional senyawa obat. Interaksi obat dapat berupa:(1) Interaksi tidak khas dan ;(2) Interaksi khas.
1. Interaksi tidak khas adalah interaksi yang hasilnya tidak menghasilkan efek yang berlangsung lama dan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul obat maupun biopolimer. Interaksi ini bersifat reversibel ( terpulihkan ) dan tidak menghasilkan respons biologis. Contohnya : Interaksi obat yang hanya merubah lingkungan fisika-kimia dari struktur badan ( protein jaringan, asam nukleat, mukopolisakarida, air dan lemak ), misalnya : anestetik umum merubah struktur air didalam otak; diuretik osmotik merubah tekanan osmotik dalam ginjal.
2. Interaksi khas :adalah interaksi yang menyebabkan perubahan struktur makromolekul reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis normal yang dapat diamati sebagai respons biologis. Interaksi dengan reseptor dan interaksi dengan enzim biotransformasi, merupakan interaksi khas.
KERJA OBAT
Kerja obat dapat digolongkan menjadi dua yaitu : (A) Kerja obat yang diperantarai reseptor dan : (B) Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor.
A. KERJA OBAT YANG DIPERANTARAI OLEH RESEPTOR
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya, mencetuskan perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respons biologis yang khas untuk obat tersebut. Interaksi antara obat dengan enzim biotransformasi juga merupakan interaksi yang khas karena mengakibatkan perubahan struktur makromolekul reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis yang dapat diamati sebagai respons biologis
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional, yaitu tempat terikatnya obat untuk menimbulkan respons. Sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen ( hormon dan neurotransmitor. Komponen yang paling penting dalam reseptor obat adalah protein ( misalnya : asetilkolinesterase, Na+ -, K+ -ATP ase dsb ). Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat , contohnya untuk obat sitostatika ( pembunuh sel kanker ).
Ikatan antara obat dengan reseptor, berupa ikatan ion, ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, ikatan van der Walls atau ikatan kovalen ( jarang ). Umumnya merupakan campuran berbagai ikatan tersebut diatas. Ikatan antara obat daengan reseptor, misalnya ikatan antara substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah ( ikatan ion, ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, ikatan van der Walls ) dan jarang berupa ikatan kovalen. Hubungannya dengan efek obat dapat digambarkan sebagai berikut :
Hubungan Struktur dan Aktifitas Biologik :
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan aktifitasnya terhadap reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat (misal : perubahan stereoisomer ) dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur dan aktifitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru.
B. KERJA OBAT YANG TIDAK DIPERANTARAI RESEPTOR
Beberapa obat tertentu dapat menimbulkan efek tanpa berikatan dengan reseptor. Mekanismenya ada berbagai cara yaitu :
1. Mengubah atau mempengaruhi sifat cairan tubuh
2. Berinteraksi dengan ion atau molekul kecil
3. Masuk kedalam komponen sel
1. Mekanisme Kerja Obat : Mengubah atau mempengaruhi sifat cairan tubuh :
a. Pengubahan sifat osmotik, contoh : (1) obat-obat diuretik osmotik ( manitol ) yang meningkatkan osmolaritas filtrat glomerulus sehingga terjadi efek diuretk; (2) obat-obat katartik osmotik atau pencahar ( Mg SO4 ); (3) gliserol untuk mengurangi udema serebral
b. Pengubahan sifat asam-basa , contoh (1) obat-obat antasida untuk menetralkan asam lambung; (2) NH4CL untuk mengasamkan urin; (3) Natrium bikarbonat untuk membasakan urin; Asam-asam organik sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai spermisida topical dalam saluran vagina.
c. Perusakan nonspesifik membran sel ( sebagai antiseptik dan desinfektan ), contoh : (1) detergen, merusak integritas membran lipoprotein; (2) halogen, peroksida dan oksidator lain ( merusak zat organik ); (3) denaturan, merusak integritas dan kapasitas fungsional membran sel, partikel subseluler dan protein.
d. Gangguan fungsi membran, contoh : anestesi umum dengan eter, halotan atau metoksifluran, bekerja dengan melarut dalam lemak membran sel di SSP sehingga eksitabilitas menurun
2. Mekanisme Kerja : Interaksi dengan molekul kecil atau ion
Dengan Molekul pengkhelat ( chelating agent ), contoh : (1) CaNa2 EDTA. yang mengikat logam Pb menjadi khelat yang inaktif, misal pemberian larutan CaNa2 -EDTA pada keracunan Pb; (2) Penisilamin, mengikat Cu 2+ bebas ; (3) Dimerkasol untuk keracunan logam-logam berat. Khelat yang terbentuk larut dalam air sehingga mudah dikeluarkan lewat ginjal .
3. Mekanisme Kerja : Masuk ke dalam komponen sel
Obat-obat analog purin atau pirimidin, dapat bergabung dengan asam nukleat, sehingga mengganggu fungsinya ( obat-obat antimetabolit ), cotohnya : 6-merkaptopurin, 5-fluorourasil, flusitosin yang merupakan obat-obat anti kanker.
TERMINOLOGI MENGENAI EFEK OBAT
* Spesifisitas dan Selektifitas :
Obat yang ideal adalah yang bersifat spesifik dan selektif.
Obat yang spesifik . bila bekerjanya hanya pada satu jenis reseptor
Obat yang selektif , bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan pada dosis lebih tinggi baru timbul efek yang lain.
Contoh : Klorpromasin, bukan obat yang spesifik karena bekerja pada berbagai jebis reseptor.
Atropin adalah bloker spesifik untuk reseptor muskarinik, tetapi tidak selektif karena reseptor muskarinik terdapat di berbagai organ
Salbutamol adalah agonis ß-adrenergik yang spesifik dan relatif selektif karena memblok reseptor ß2 dan pada dosis terai hanya berefek dibronkhus.
Selain tergantung pada dosis, selektifitas juga tergantung cara pemberian obat, contoh: Salbutamol ( pada dosis terapi hanya berefek di bronkhus, memblok reseptor ß-2 ), bila diberikan sebagai obat semprot langsung ke saluran napas, maka selektifitasnya akan meningkat.
Sesungguhnya tidak ada obat yang menghasilkan satu efek saja, dan makin banyak efek obat, makin banyak efek sampingnya. Dengan demikian, selektifitas merupakan sifat obat yang penting dalam terapi.
Selektifitas dapat dinyatakan sebagai hubungan antara dosis terapi ( ED ) dengan dosis obat yang menimbulkan efek toksik ( TD ).Hubungan ini disebut juga indeks terapi atau batas keamanan obat ( margin of safety ).
Obat yang ideal, menimbulkan efek terapi pada semua penderita, tanpa menimbulkan efek toksik pada satu orang penderita pun. Oleh karena itu indeks terapinya dinyatakan sebagai berikut :
TD 1
Indeks terapi = ______ = ≥ 1
ED 99
Dapat dinyatakan bahwa untuk obat yang ideal, dosis toksiknya harus lebih besar dari dosis terapinya dan dosis toksisnya paling banyak hanya boleh menimbulkan kematian 1 % dari responden.
Pada umumnya, indeks terapi obat dinyatakan dalam rasio berikut:
TD 50 LD 50
Indeks Terapi = -------- = ---------
ED 50 ED 50
Indeks terapi hanya berlaku untuk satu efek, maka obat yang mempunyai beberapa efek terapi juga mempunyai beberapa indeks terapi. Contoh : Aspirin mempunyai efek analgetik dan antirheumatik. Indeks terapi atau batas keamanan obat aspirin sebagai analgetik lebih besar dibandingkan dengan indeks terapi sebagai antireumatik karena dosis terapi antireumatik lebih besar dari dosis analgetik.
Meskipun perbandingan dosis terapi dan dosis toksik sangat bermanfaat untuk suatu obat, namun data demikian sulit diperoleh dari penelitian klinik.( sulit mendapatkan responden yang bersedia untuk uji klinik ). Maka dari itu selektifitas obat dinyatakan secara tidak langsung yaitu diperhitungkan dari data : (1) pola dan insiden efek samping yang ditimbulkan obat dalam dosis terapi, dan (2) persentase penderita yang menghentikan obat atau menurunkan dosis obat akibat efek samping.
Harus diingat bahwa gambaran atau pernyataan bahwa obat cukup aman untuk kebanyakan penderita, tetapi tidak menjamin keamanan untuk setiap penderita karena selalu ada kemungkinan timbul respons yang menyimpang. Contohnya : penisilin dapat dinyatakan aman untuk sebagian besar penderita tetapi dapat menyebabkan kematian untuk penderita yang alergi terhadap obat tersebut.
-
Respons individu terhadap obat sangat bervariasi, yaitu dapat berupa : (1) Hiperaktif ( dosis rendah sekali sudah dapat memberikan efek ); (2) Hiporeaktif ( untuk mendapatkan efek, memerlukan dosis yang tinggi sekali ); (3) Hipersensitif ( orang alergi terhadap obat tertentu ); (4) Toleransi ( untuk mendapatkan efek obat yang pernah di konsumsi sebelumnya, memerlukan dosis yang lebih tinggi ); (5) Resistensi ( efek obat berkurang karena pembentukan genetik ); (6) Idiosikrasi ( efek obat yang aneh , yang merupaka reaksi alergi obat atau akibat perbedaan genetik )
Aksi Obat Dapat Melalui Beberapa Cara :
1. Mengadakan stimulasi atau depresi fungsi spesifik dari sel
2. Mengadakan campur tangan aktifitas seluler dari sel asing terhadap sel tuan rumah, misalnya pemberian antibiotik untuk membunuh sel bakteri; pemberian obat untuk membunuh sel kanker.( obat-obat kemoterapi )
3. Merupakan terapi pengganti, misalnya pemberian suplemen Kalium, pemberian hormon atau vitamin untuk mencapai dosis fisiologis sehingga diperoleh aksi.
Penggunaan Obat dapat menghasilkan lebih dari satu efek, yaitu :
1. Efek terapi ( utama ).
Terapi obat dapat bertujuan untuk : (a) terapi kausal ; (2) terapi simtomatik dan (3) terapi substitusi
2. Efek samping : adalah efek yang tidak diinginkan, atau efek obat yang tidak termasuk kegunaan terapi, misalnya : Efek terapi pemberian morfin adalah sebagai analgesik, tapi mempunyai efek samping depresi pernapasan dan konstipasi..
3. Efek teratogen :
Adalah efek obat yang pada dosis terapetik untuk ibu hamil, mengakibatkan cacat pada janin, misalnya : tangan dan kaki seperti kepunyaan anjing laut atau bentuk-bentuk lain yang tidak normal.
4. Efek toksik :
Adalah aksi tambahan dari obat yang lebih berat dari efek samping dan merupakan efek yang tidak diinginkan. Efek ini disebabkan oleh dosis yang berlebih
5. Idiosinkrasi :
Efek obat yang secara kualitatif berlainan sekali dengan efek terapi normalnya.
6. Fotosensitisasi :
Adalah efek kepekaan yang berlebihan terhadap cahaya yang timbul akibat penggunaan obat, misalnya penggunaan obat Bithionol sebagai antiseptika lokal.
EFEK OBAT PENGULANGAN ATAU PENGGUNAAN OBAT YANG LAMA
1. Hipersensitif :
Adalah suatu reaksi alergik yang merupakan respons abnormal terhadap obat dimana pasien sebelumnya telah kontak dengan obat tersebut hingga berkembang timbul antibodi.
2. Kumulasi :
Suatu fenomena pengumpulan obat dalam badan akibat pengulangan penggunaan obat, dimana obat diekskresi lebih lambat dibanding kecepatan absorpsinya.
3. Toleransi :
Suatu fenomena berkurangnya respon terhadap dosis obat yang sama, sehingga untuk memperoleh respon yang sama , dosis harus diperbesar
4. Takhifilaksis :
Adalah fenomena berkurangnya kecepatan respons terhadap aksi obat pada pengulangan penggunaan dosis yang sama (kurang sensitif). Respon semula tidak terulang meskipun dengan dosis yang lebih besar.
5. Habituasi :
Suatu gejala ketergantungan psikhologik terhadap suatu obat. Kriterianya : (a) selalu ingin menggunakan obat; (b) tanpa atau hanya sedikit kecenderungan untuk menaikkan dosis; (c). memberikan efek yang merugikan pada suatu individu.
5. Adiksi :
Adalah suatu gejala ketergantungan psikhologik dan fisik terhadap obat. Kriteria : (a) ada dorongan untuk selalu menggunakan obat; (b). ada kecenderungan untuk menaikkan dosis; (c). timbul ketergantungan psikhik dan biasanya diikuti ketergantungan fisik.; (d) merugikan terhadap individu maupun masyarakat.
6. Resistensi terhadap bakteri :
Pada penggunaan antibiotik untuk infeksi oleh bakteri, dapat terjadi obat tidak mampu bekerja lagi untuk membunuh atau menghambat perkembangan bakteri tertentu.
EFEK PENGGUNAAN OBAT CAMPURAN
Penggunaan obat campuran dapat nenyebabkan efek : (1) Adisi; (2) Sinergis; (3) Potensiasi; (4) Antagonis dan (5) Interaksi.
1. Adisi :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama memberikan efek yang merupakan penjumlahan dari efek masing-masing obat bila diberikan secara terpisah
2. Sinergis :
Beberapa obat mempunyai aksi yang hampir sama, bila diberikan bersama-sama ,memberikan efek yang lebih besar dari efek masing-masing obat yang diberikan secara terpisah
3. Potensiasi :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama dengan aksi-aksi yang tidak sama, memberikan efek yang lebih besar pada pasien, dari pada efek masing-masing secara terpisah.
4. Antagonis :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama, salah satu obat mengurangi efek dari obat yang lain
5. Interaksi obat :
Interaksi obat berlangsung dengan beberapa cara, yaitu : (a) Interaksi kimia ; (b) Kompetisi untuk mengikat protein ( mendesak obat lain pada protein ); (c) Induksi enzim ( menstimulasi pembentukan enzim di hati sehingga obat cepat dibiotransformasi dan dieliminasi ); (d) Inhibisi enzim ( mengganggu fungsi hepar dan enzim-enzimnya, sehingga memperkuat kerja obat lain ).
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSI OBAT : yaitu
1. Berat badan
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Kondisi patologik pasien
5. Genetik ( Idiosinkrasi )
6. Cara pemberian obat :
(a) yang memberikan efek sistemik : - oral; sublingual; bukal;-parenteral;- implantasi subkutan; rektal;
(b) yang memberikan efek lokal :- inhalasi; -topikal ( pada kulit ) : salep, krim , lotion ; - obat-obat pada mukosa : tetes mata, tetes telinga,